Oleh: Agus Khairi, M.Pd
Guru, Pegiat Literasi, dan Pandu Digital Kemenkominfo (Badge Merah)
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia ini memasuki tahun kedua di tahun 2021. Dampak yang ditimbulkan di berbagai bidang kehidupan sangat dirasakan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Ancaman pelambatan ekonomi menjadi momok menakutkan bagi seluruh Negara yang tengah berjuang mengatasi pandemi dan dampaknya sekaligus. Namun, di balik dampak buruk yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 ini ada peluang yang dapat diambil. Salah satunya di bidang pendidikan.
Pada saat pandemi melanda, kita dihadapkan pada situasi di mana segala aktivitas di luar ruangan serba dibatasi. Bahkan di berbagai Negara dihentikan sama sekali. Demikian juga dengan aktivitas pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Semua aktivitas pembelajaran tatap muka dihentikan dan berpindah ke ruang maya melalui aplikasi pertemuan daring. Sedangkan, baik guru maupun siswa, dosen maupun mahasiswa, dipaksa untuk bisa memanfaatkan aplikasi yang ada yang tersambung ke internet untuk melaksanakan pembelajaran. Sehingga muncul istilah Belajar dari Rumah (BDR). Sebanyak 190 negara telah memberlakukan penutupan sekolah yang berdampak kepada hampir 1,6 miliar orang di seluruh dunia (Sigma Research, 2021). Sedangkan di Indonesia sendiri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat sebanyak 68 juta peserta didik terdampak Corona (cnnindonesia.com).
Setelah satu tahun berlangsung, kebiasaan menggunakan aplikasi pembelajaran daring melekat pada sebagian besar siswa dan guru, maupun dosen dan mahasiswa. Sehingga sampai sekarang ini pembelajaran jarak jauh masih tetap dilaksanakan oleh sekolah maupun perguruan tinggi. Banyak institusi atau lembaga pelatihan juga menerapkan hal yang sama.
Sigma Research mengeluarkan data tentang tren bisnis 2021. Salah satunya adalah e-learning atau Kelas Daring. Hal ini tentunya mengacu kepada apa yang disampaikan penulis di atas bahwa kelas daring sudah menjadi kebiasaan walaupun pandemi berakhir nantinya. Sehingga ke depan direkomendasikan bahwa sebagian kurikulum yang ada di sekolah maupun perguruan tinggi dapat diakses secara online.
Perubahan pola pembelajaran dari langsung (luring) ke daring sejatinya bukan dimulai saat pandemi, namun sebelum itu hal ini sudah diramalkan oleh pakar. Bahwa perkembangan teknologi digital akan merubah pola bahkan menggantikan sama sekali cara sesuatu bekerja atau dikerjakan. Perubahan atau penggantian ini dinamakan disrupsi. Disrupsi yang dikemukakan oleh Christensen kini semakin menjadi nyata. Dan perlu diingat bahwa disrupsi ini destruktif dan kreatif. Masa pandemi yang terjadi ini justru mempercepat proses disrupsi di dunia pendidikan kita. Tidak hanya di Negara maju, namun di Negara berkembang pun seperti Indonesia terkena disrupsi pendidikan ini.
Melihat tren bisnis ke depan yang disampaikan oleh Sigma Research di atas maka bisa menjadi pijakan bagi guru untuk mulai berbenah. Bagi yang sudah terbiasa dengan aplikasi pembelajaran daring tinggal meningkatkan kemampuan membuat materi dalam bentuk digital. Bagi yang belum terbiasa karena intenistas pembelajaran daring saat BDR kemarin kurang, maka harus segera meningkatkan kemampuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan terkini dan ke depan. Sudah saatnya guru-guru go online.
Setidaknya ada dua hal yang menurut penulis bisa menjadi pertimbangan utama mengapa guru saat ini harus segera go online. Kesatu, para guru sekarang dan ke depan akan menghadapi generasi Z, generasi yang lahir antara tahun 1997-2012, yang mana sudah akrab dengan digital. Bahkan bisa dikatakan sebagai digital native. Selain Generasi Z, juga terdapat penduduk Post Gen Z yang lahir tahun 2013-sekarang. Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan penduduk Indonesia yang tergolong dalam Generasi Z sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94%). Sedangkan yang tergolong dalam Post Gen Z sebanyak 29,17 juta jiwa (10,88%). Jumlah yang besar ini tentunya akan butuh penanganan sesuai dengan zamannya.
Kedua, infrastruktur yang ada sudah memadai baik dari segi pemerataan maupun ketersediaan akses jaringan internet. Walaupun memang masih membutuhkan perbaikan dan penambahan bagi daerah yang terpencil. Keberadaan internet ini tentu akan terus berkembang seiring dengan jumlah penggunanya. Menurut data yang dikeluarkan oleh layanan manajemen konten HootSuite, jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Pengguna ini berusia 16-64 tahun dan diketahui menggunakan lebih dari satu perangkat untuk mengakses internet.
Dari dua pertimbangan yang dikemukakan penulis di atas bahwa guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran sudah harus mulai menyesuaikan diri dengan tren pembelajaran daring ke depan walaupun pandemi sudah berakhir. Baik itu sekolah maupun madrasah harus mempersiapkan pendidik dan tenaga kependidikannya untuk bisa membuat konten digital dan melaksanakan pembelajaran daring. Yang tidak hanya terbatas pada ujian berbasis komputer (UBK) seperti yang sudah dijalankan sebelumnya. Tentunya dengan tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku.
Sekedar saran, kalau bisa ukuran font nya diperbesar sedikit, karena font yg kecil membuat penugunjung tidak betah membaca.
Kedua, paragraf yg pendek akan lebih disukai pembaca karena selain efektivitas memaknai isi bacaan juga akan mempengaruhi kecepatan membaca.
Paragraf yg ideal cukup 2-3 kalimat untuk bacaan digital.
Terima masih atas sarannya, redaksi akan pertimbangkan bersama bagian IT.
ulasannya sudah bagus sekali pak ketua, tapi ada yang belum terulas dengan mendalam yaitu perbedaan kecepatan pemahaman antara siswa kota dan desa mengingat indonesia adalah negara dengan ribuan pulau juga ragam adat budaya yang sangat mempengaruhi keadaan IQ masing2 siswa, kalo pendapat sy sih indonesia saat ini belum siap pembelajaran dengan mode daring.
Menarik untuk dikaji leboh mendalam lagi perbedaan IQ ini