Opini  

Kurban, Nilai-nilai Kemanusiaan dan Kesalehan Sosial

Mengurai Nilai-Nilai Kemanusiaan, Kesalehan Sosial Dan Pembebasan Dari Tradisi Hegemonik pada Ibadah Kurban

IMRON HADI, M.H.I. Dosen Prodi HKI Fakultas Syari’ah UIN Mataram

Oleh: IMRON HADI, S.H.I., M.H.I.

(Dosen Tetap Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syar’ah UIN Mataram)

 Ibadah kurban merupakan ibadah tahunan dalam Islam yang dilaksanakan pada bulan dzulhijjah, tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah. Pada prinsipnya ibadah qurban tidak hanya bernilai ritualistik belaka, namun jika diteliti secara mendalam, ibadah qurban kaya akan pesan dan nilai-nilai moral dan kemanusiaan serta memiliki dimensi kesalihan individual maupun sosial. 

Dalam konteks sejarah kurban, Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “Qashasal Anbiya’” menjelaskan bahwa, Ibadah qurban sesungguhnya telah dimulai sejak Zaman Nabi Adam AS. Dimana Allah SWT memerintahkan untuk menikahkan anak kembarnya dengan cara silang, Qabil dinikahkan dengan Lubuda’, sementara Habil dinikahkan dengan Iqlima. Namun Qabil menolak perintah ayahnya. Kemudian Nabi Adam menyuruh mereka berdua berkurban. Habil berkurban dengan satu ekor kambing putih yang gemuk dan sehat, namun Qabil berkurban dengan sayur mayur dan buah-buahan yang busuk. Singkatnya kurban Habil diterima Allah, dengan cara disambar api dari langit, semetara kurban Qabil ditolak allah SWT.

Dalam rangkaian sejarah perintah berkurban, Prof. Dr. Ahmad Salaby, dalam kitabnya “At-Tarikhil Islam, Wal Hadhoroh Islamiyah” menjelaskan, perintah berkurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibarhim AS, dimana beliau adalah penyebar agama tauhid yang sangat disegani, yang berhasil menghancurkan patung berhala terbesar sesembahan Raja Namruz, kala itu, yakni Marduk dan Nabu. Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan, murah hati dan selalu memberi kepada mereka yang membutuhkan. Beliau sering mengorbakan ratusan ekor unta dan kambingnya, diberikan kepada fakir miskin dan anak yatim yang kelaparan kala itu. Sampai-sampai ada orang bertanya kepadanya “Wahai Ibrahim kenapa engkau begitu pemurah, dengan mengorbankan ratusan hewan ternakmu”, Nabi Ibrahim dengan tegas menjawab “jangankan harta benda dan hewan ternakku, seandainya aku memiliki anak, anakku pun siap ku kurbankan hanya untuk Allah SWT”. Kalimat nazar inilah yang kelak ditagih Allah SWT sebagai ujian, ketika Nabi Ibrahim dikaruniai seorang anak dan diperintahkan untuk mengorbankannya, yang menjadi dasar diperintahkan berkurban dalam islam.

Kemudian tibalah saatnya Allah SWT menguji kesabaran dan keihklasan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan puteranya Ismail, dengan cara menyembelihnya. Menurut riwayat, setelah Nabi Ibrahim bermimpi supaya menyembelih puteranya, keesokan harinya beliau segera menyembelih seratus ekor kambing terbaiknya. Tapi malam kedua Nabi Ibrahim masih bermimpi sama, dan keesokan harinya ia menyembelih seratus ekor unta terbaiknya, namun malam ketiga mimpi itu datang lagi seolah-olah ia mendengar suara “Allah memerintahmu untuk menyembelih anakmu Ismail, bukan kambing dan untamu”.

Ketika Nabi Ibrahim secara perlahan dan berat hati, mulai membaringkan tubuh ismail di atas batu, kemudian beliau menutup kedua mata anaknya dengan sehelai kain, dengan penuh kesedihan dan kucuran air mata, Nabi Ibrahim memejamkan kedua matanya, seraya berdo’a dan mulai menggesekan pisaunya yang mengkilat dan tajam itu di leher anaknya Ismail. Maka dengan kekuasaan dan pertolongan Allah SWT, tiba-tiba Ismail diganti dengan seekor kibas atau domba, dan Ismail diselamatkan oleh Allah dari penyembelihan itu. Kemudian dengan rasa haru Nabi Ibrahim merangkul puteranya, bahwasanya mereka telah lulus dari ujian Allah SWT. Nabi Ibrahim tidak pernah membayangkan sedikitpun, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor kibas atau domba, sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an surat assafat.

Dalam peristiwa qurban tersebut, terdapat hikmah yang sangat luas yang dapat disimpulkan menjadi empat aspek utama sebagai pelajaran penting dan pedoman hidup dalam kehidupan yang penuh dengan kompleksitas ini, yakni:

Pertama: Aspek Ibadah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, dalam kitab “Majmu’ Al-Fatawa” menjelaskan, dalam beribadah seorang hamba harus menaati dan mencintai Allah SWT diatas segalanya. Ibadah kurban merupakan simbolisasi untuk mengorbankan dan membunuh rasa “cinta yang berlebihan” terhadap dunia, terhadap anak keturunan, harta benda, pangkat dan jabatan. Tujuannya adalah agar manusia tidak lalai dalam menjalankan perintah Allah dan beribadah kepada Allah SWT.

Kedua, Aspek Tradisi atau kebiasaan, menurut Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “al-Qashasal Anbiya” menegaskan, perintah berkurban kepada Nabi Ibrahim dengan menyembelih anaknya Ismail, merupakan suatu simbol gambaran fakta realitas kehidupan buruk masyarakat jahiliyah, yang kala itu yang suka menyembelih anaknya atau manusia, untuk disembahkan darah dan dagingnya kepada patung dan berhala, yang jelas-jelas menyesatkan, tidak menghargai dan mendegradasi derajat manusia.

Ketiga, aspek Nilai Kemanusiaan, menurut Dr. Ja’far Subhani dalam kitabnya “Ar-Risalah fi Tarikhil Islam”, menegaskan, dengan diselamatkannya Ismail dari penyembelihan tersebut dan digantikannya dengan seekor kibas, ini menandakan bahwa ada intervensi atau campur tangan Allah SWT, untuk menegur dan “menampar” secara keras tradisi kebiasaan buruk masyarakat jahiliyah yang hegemonik-destruktif yang kala itu sering mengorbankan dan menyembelih anak manusia. Dengan teguran keras itu, Allah bermaksud mengangkat harkat martabat manusia. Seolah-olah Allah ingin mengatakan bahwa, manusia tidak boleh disakiti, tidak boleh dizalimi, tidak boleh dibunuh, tidak boleh dikorbankan, apalagi disembelih, yang boleh dikurbankan atau disembelih itu adalah hewan ternak, bukan manusia, karena manusia memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Keempat, aspek sosial, menurut Quraish Shihab dalam kitabnya “Tasfsir Al-Misbah” menegaskan bahwa, diperintahkannya berkurban dalam islam, tidak sekedar berdimensi kesalihan individual, melainkan juga kesalehan sosial. Berkurban bukan berarti menyembelih hewan, dimana darah dan dagingnya disembahkan untuk Allah SWT. Namun Berkurban pada hakikatnya semata-mata untuk berbagi kelebihan rezeki dengan sesama, bersedekah kepada fakir-miskin, anak yatim agar mereka dapat menikmati daging kurban sebagai asupan gizi agar sehat dan kuat beribadah kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ibadah qurban yang dilaksanakan setiap tahun tidak hanya memiliki nilai-nilai ritualistik belaka. Namun, ibadah qurban memiliki nilai-nilai dan pesan moral yang universal, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (human right) yang selama ini didegradasi oleh tradisi kuno yang “jahil”. Selain itu, ibadah qurban juga memiliki nilai-nilai pembebasan terhadap manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat dari segala bentuk cengkraman hegemoni kekuasaan absolut yang paragratis dan destruktif. Wallahu a’lam bishawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *