Opini  

Menyelamatkan Anak dari Ancaman Predator

Menelisik Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Meminimalisir Kasus Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

MRON HADI, S.H.I, M.H.I.

Oleh: IMRON HADI, S.H.I., M.H.I.
(Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah UIN Mataram)

Pada prinsipnya anak merupakan buah hati sekaligus merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Mahasa Esa yang untuk senantiasa dijaga dipelihara dan dilindungi dengan baik oleh kedau orang tuanya, karena dalam dirinya melekat harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan dan generasi penerus kehidupan bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan, dikriminasi, dan pelecehan seksual yang tidak kungjung selesai terjadi di negara ini.

Meskipun dalam hukum Islam (Qur’an, hadits dan fatwa ulama’), Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur hak-dan kewajiban orang tua terhadap anak yang disebut hadlanah, serta Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi PBB tentang perlindungan Hak-Hak Anak, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mencantumkan hak-hak anak, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan terhadap Anak, yang secara yuridis-formal menjamin pelaksanan pemeliharaan dan perlindungan terhadap anak beserta sanksi pidananya. Akan tetapi banyaknya aturan dan undang-undang tersebut ternyata tidak serta merta dapat mengurangi dan menghentikan kasus kekerasan terhadap anak, malah jumlah kasus kekerasan terhadap semakin meningkat serta jenis dan modus oprandi yang dipakai semakin canggih dan menghawatirkan masyarakat luas.

Seperti beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap murid Jakarta International School (JIS), kasus penganiayaan terhadap bocah Iqbal oleh pacar ibu kandungnya yang membuatnya trauma dan cacat fisik permanen, pembunuhan Engelin oleh ibu angkatnya di Bali, penelantaran dan penyekapan anak yang dilakukan orang tua kandung yang berprofesi sebagai dosen di Jakarta, pemerkosaan terhadap santeriwati di sebuah pondok pesanteren oleh okum ustaz di Jawa Timur, dan sejumlah pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang dilakkan oknum guru di sekolah, serta banyak lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang luput dari pantauan media. Realitas tersebut menggambarkan bahwa saat ini anak dalam kondisi tidak aman-aman saja. Dunia anak seolah-olah sedang terancam dan selalu diintip oleh predator yang setiap saat siap menerkam anak-anak, pada hal dalam hukum Islam dan hukum positif dengan tegas mengutuk dan melarang kerasa tindakan kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun, karena dampaknya tidak hanya melukai fisik, akan tetapi traumatik psikis yang panjang yang diderita anak yang berdampak negatif pada kehidupan anak di masa depan.

Perspektif Hukum Islam Tentang Perlindungan Anak

Dalam Islam terdapat banyak aturan dan norma hukum yang mengatur tentang pemeliharaan dan perlindungan terhadap anak. Jika merujuk pada otoritas sumber hukum Islam yang absolut yakni al-Qur’an, dengan tegas termaktub dalam surat at-Taḥrȋm ayat 6, Allah SWT berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Menurut Ibnu Katsir makna pemeliharaan terhadap keluarga dalam ayat di atas meliputi perlindungan terhadap anak-anak, karena anak merupakan bagian dari keluarga dan merupakan harapan orang tua di masa mendatang. Perlindungan terhadap anak juga terdapat dalam surat an-Nisā’ (4):9. Allah SWT berfirman “Dan hendaklah kalian takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwalah kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang benar”. Menurut Ibnu Qoyim Az-Zaujiyah bahwa makna kata “anak-anak yang lemah” adalah lemah iman, lemah ekonomi dan lemah dalam hal pemeliharaan atau perlindungan yang dapat membahayakan diri mereka. Dalam surat at-Taghābūn ayat 15. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)”. Ibnu Rusyd mendefinisikan makna “cobaan bagi mu” lebih kepada tanggung jawab orang tua dalam memlihara dan melindungi anak sejak kecil hingga dewasa dari hal-hal negatif yang dapat merugikannya di masa mendatang.

Terkait dengan perlindungan anak, Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya ”kewajiban orang tua kepada anaknya ialah memberikan nama yang baik, mengajarkan akhlakul karimah, mengajarkan baca tulis, berenang (olah raga), memanah, dan tidak memberikan makan kecuali yang baik-baik, dan menikahkannya kalau sudah dewasa”. Sebagian ulama berpendapat bahwa pesan hadits tersebut
lebih kepada kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya, namun menurut, Ibnu Rusyd bahwa hadits tersebut mendeskripkan bentuk-bentuk pemeliharaan dan perlindungan terhadap anak yang konkrit. Para ulama’ memiliki pandangan tersendiri tentang perlindungan anak, menurut Sayyȋd Sābiq bahwa kegiatan memelihara atau melindungi anak baik laki-laki maupun perempuan sejatinya merupakan tugas orang tua, menjaga kepentingan si anak yang belum dapat berdiri sendiri, serta melindunginya dari segala yang membahayakan hidupnya. Sementara itu, menurut Ahamd Rofiq, memelihara atau perlindungan seorang anak sejatinya merupakan upaya mendidik dan memliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepadanya saat ini dan di masa depan.

Perspektif Hukum Positif Tentang Perlindungan Anak

Dalam perspektif hukum positif, sesungguhnya telah banyak Undang-Undang yang mengatur masalah perlindungan dan kewajiban orang tua terhadap anak, di antaranya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 45 ayat 1 berbunyi bahwa “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Memelihara juga memiliki makna menjaga dan melindungi anak dari segala bentuk tindakan negatif yang secara sengaja maupun tidak dapat merugikan baik fisik maupun psikis. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014tentang Perlindungan Anak, menjelaskan tujuan utama perlindungan terhadap anak terdapat pada pasal 3 berbunyi “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlakul karimah dan sejahtera”. Sesunggunya tujuan utama yang ingin dicapai oleh undang-undang tersebut sangatlah mulia yakni untuk melindungi dan membebaskan anak dari segala macam bentuk tindakan kekerasan, kekejaman dan diskriminasi dan pelecehan seksual yang selama ini diderita oleh anak-anak Indonesia. Perlindungan terhadap anak memang selama ini selalu dilekatkan kepada kedua orang tua, karena bagaimanapun juga merekalah yang melahirkannya ke dunia ini maka otomatis merekalah yang memiliki tanggung jawab pertama dan utama dalam hal perlindungan anak, sebagaimana terdapat pada pasal 26 ayat 1 bahwa:
“Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya”. Selanjutnya orang tua juga berkewajiban melindungi anak dari segala sesuatu yang dapat merugikannya serta untuk mendapatkan perlindungan dari segala macam bentuk kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana disebutkan pada pasal 13 ayat 1 “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi, sesksual, penelantaraan, kekejaman, kekarasan dan penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya”.

Jika merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Anak, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia yang mencantumkan hak-hak anak, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014tentang Perlindungan terhadap Anak, Bahwa perlindungan terhadap anak ternyata tidak hanya merupakan tugas yang dibebankan kepada kedua orang tua saja, tetapi juga tugas pemerintah (stake holder) dan seluruh komponen masyarakat, karena untuk menjamin efektifitas pelaksanaan perlindungan dan pemeliharaan anak, pemerintah juga memiliki tanggung jawab atas hal itu. Sebagaiamana tertuang dalam Pasal 20 UU Nomor 23 tahun 2002 bahwa “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelanggaraan perlindungan anak.” Upaya tersebut harus dilaksanakan secara kolektif, konsisten dan terintegrasi agar perlindungan terhdap anak dapat dilakasanakan secara maksimal dan tercapai sasarannya.

Dalam konteks perlindungan terhadap anak, dibutuhkan suatu kerangka hukum yang mengatur sanksi perdata dan pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut sebagai wujud konkrit konsistensi penegakkan hukum sebagaimana terdapat pada pasal 77 Undang-Undang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa.

Setiap orang tua dan orang lain yang dengan sengaja melakukan tindakan:

  • diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik material maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, atau
  • penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisk, mental maupun sosial.
  • dipidana dengan pidanan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    Adanya sanksi pidana diharapkan mampu membuat pelaku jera dan bagi calon pelaku agar tidak meneruskan niat buruknya agar sanksi pidana ini sedikit dapat menekan jumlah kekerasan terhadap anak.

Upaya Meminimalisir Kekerasan Terhadap Anak

Jika ditinjau dari dua aspek hukum yakni Hukum Islam dan hukum positif, semestinya segala macam bentuk kekerasan terhadap anak kecil kemungkinan dapat terjadi, karena secara normatif perbuatan tersebut dilarang menurut hukum agama dan hukum positif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, perintah memelihara dan melindungi anak merupakan tugas orang tua dalam rumah tangga sebagai bagian organisasi terkecil dari unsur bangsa dan negera. Malah Islam tidak hanya membebankan perkara perlindungan terhadap anak ini kepada kedua orang tua saja, tetapi juga kepada semua pihak terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Maraknya terjadi kasus kekerasan terhadap anak di daerah Nusa Tenggara Barat menurut hasil penelitian disebabkan oleh beberapa faktor yakni adanya niat sengaja dilakukan dan adanya waktu atau kesempatan. Artinya, kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi terhadap anak selama ini merupakan tindakan sadar yang sengaja dilakukan karena adanya kesempatan bagi pelaku. Dengan demikian harus ada upaya sadar dan antisipasi dari orang tua, pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa melindungi anak dari berbagai ancaman kekerasan dan pelecehan seksual yang selama ini mengancam dunia anak.

Pemerintah dalam hal ini memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dengan cara menegakkan hukum bagi setiap pelaku tanpa pandang bulu. Untuk mengurangi jumlah kekerasan terhadap anak di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Barat, pemerintah daerah harus mampu menggalang gerakan perlindungan anak secara masif dan terpadu dengan mengintegrasikan seluruh komponen aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPAI dan penegak hukum lainnya, serta dilengkapi dengan perangkat hukum yang jelas agar upaya perlindungan terhadap anak dapat dilaksanakan secara maksimal dan konsisten.

Orang tua juga harus lebih ekstra hati-hati dalam memelihara dan melindungi anak, jangan sampai anak dibesarkan oleh orang lain, dititip tanpa pengawasan yang ketat karena alasan kesibukan dan alasan lainnya. Ingatlah bahwa anak adalah anugrah dan amanat dari Tuhan yang wajib dijaga, berapa banyak orang yang ingin punya anak tetapi belum diberikan oleh Tuhan, dan ketika amanah itu diberikan kepada anda sebagai orang tua, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya karena akan dipertanggung jawabkan di hadapan hukum dunia dan hukum Tuhan di pengadilan abadi di Akhirat kelak. Wallahu a’lamu bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *