Muhammad Said
(Penulis Isu Sosial-budaya dan Keagamaan)
Di akhir pekan pertengahan bulan Juni, saya menepi di Tetebatu. Sebuah perkampungan kecil di Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Terletak pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Tetebatu memiliki bentang alam yang masih sangat asri. Hamparan sawah hijau, hembusan udara segar, mata-air melimpah, ditambah air terjun dan suguhan view Rinjani yang indah. Suhu udara siang hari di tempat ini mencapai 29 derajat, dan pada malam hari mencapai 23 derajat. Dengan hawa yang sesejuk itu, Tetebatu menghadirkan suasana tenang, hening dan damai. Karena itu, tempat ini amat cocok untuk melepas penat, terutama bagi kaum urban yang sedang jenuh dengan segala kebisingan perkotaan.
Saya tiba di lokasi menjelang sore, saat rintis sedang turun dengan amat ritmis. Udaranya terasa semakin dingin. Saya bergegas memasuki kamar wisma, kemudian menyeduh kopi untuk menghangatkan badan. Lalu saya duduk santai di teras wisma, menikmati tiap seruput demi seruput kopi hitam brand lokal. Tak terasa hari mulai gelap, hujan tak jua reda. Tampak semakin awet. Suasana semakin hening dan dingin. Saya masih saja duduk termenung dan larut dalam dimensi “Hujan Bulan Juni”, seperti lirik sajak Sapardi. Entah kenapa, hujan dan kampung kerap menjadi lorong waktu; yang membawa kembali ingatan-ingatan di masa lalu yang jauh.
Tetebatu punya riwayat panjang. Tempat ini telah dikenal sebagai objek wisata sejak zaman kolonial. Adalah Dokter Soedjono sosok yang mula-mula merintis pariwisata di tempat ini. Ia seorang bangsawan Yogya alumni Sekolah dokter STOVIA Batavia (Jakarta). Pada tahun 1911, ia mendapat penugasan ke Lombok, tepatnya di Selong, dari pemerintah Kolonial. Dalam laporan koran Bataviaasch nieuwsblad, Soedjono ditugaskan ke Lombok dalam misi melawan wabah pandemi kolera yang dialami masyarakat Sasak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-03-1911). Sebelumnya, ia juga pernah bertugas di Soerabaja dan Sumatera Barat (lihat De locomotief, 26-09-1910)
Laporan De Preangerbode juga menuturkan, selama 21-31 Januari 1913 di distrik Praja en Djonggat (Praya-Jonggat) sekitar 277 orang terjangkit kolera. Dari jumlah itu, sekitar 173 orang meninggal (De Preangerbode, 18-04-1913). Epidemi cacar itu dengan segera menyebar ke sebagian besar pulau Lombok. Termasuk Lombok Timur. Karena itu, pemerintah kolonial yang berpusat di Selong, mengeluarkan maklumat untuk menutup pusat-pusat perbelanjaan seperti pasar Selong, Masbagik dan Sakra. Di masa amuk epidemi itulah, Seojdono hadir di Lombok menjadi juru selamat bagi rakyat Sasak. Selama masa tugasnya di Lombok, ia mendedikasikan separuh hidupnya untuk mengobati masyarakat. Dalam catatan Roro Neni Kurnia, Soedjono purna-tugas pada tahun 1925. Artinya sejak kedatangannya pertama kali tahun 1911, Sedjono telah mengabdikan dirinya selama 14 tahun di Lombok Timur.
Setelah purna tugas, Soejdono tidak kembali ke Jawa. Ia memilih menetap di Selong, Lombok Timur. Kemudian ia membeli sebidang tanah di Tetebatu, untuk mengisi hari-hari senjanya sambil menikmati hobi bertani. Soedjono kerap mendapat kiriman berbagai jenis bibit unggul dari temannya di Bogor. Ia membagikan bibit-bibit itu kepada penduduk setempat untuk ditanam. Hari-harinya yang panjang menjalani aktivitas bertani, membuat Soedjono semakin betah menetap di Tetebatu. Karena itu, ia kemudian membangun rumah, semacam pesanggrahan (rumah singgah) di tempat itu. Rumah itu memiliki empat bilik kamar. Dua kamar digunakan untuk dokter Soedjono dan keluarganya. Dua kamar lainnya digunakan untuk tamu-tamunya yang hendak menginap. Bagunan itu kini dikenal dengan Wisma Soedjono.
Lambat laun, semakin banyak tamu-tamu yang singgah ke wisma Seoedjono. Mereka merasa betah menikmati keindahan alam Desa Tetebatu. Bahkan orang-orang Belanda dan Jepang menjadikan Desa Tetebatu sebagai tempat berlibur. Begitulah riwayat cikal-bakal Tetebatu dikenal sebagai desa wisata. Bahkan jauh sebelum keluarnya SK pemerintah Provinsi tahun 2019 tentang penetapan desa wisata.
Nama Tetebatu mengingatkan kita pada cerita rakyat Skotlandia, yakni Brigadoon. Brigadoon adalah sebuah desa kecil di dataran tinggi Bonnie, Skotlandia. Desa ini selalu tertutup kabut tebal, dan hanya muncul (bisa dilihat) satu hari dalam 100 tahun. Ketika desa Brigadoon terlihat, hari itu menjadi hari bahagia dan dirayakan oleh penduduk setempat. Kini, setiap tahun, masyarakat menggelar parade pertunjukan seni dan tarian untuk melestarikan legenda Brigadoon. Secara harfiah, Brigadoon bermakna jembatan batu melewati sungai Doon. Semacam jembatan (titian) batu. Versi cerita lisan masyarakat lokal Tetebatu, bahwa muasal nama Tetebatu berasal dari titian (dalam bahasa Sasak: tete) yang tesusun dari batu, yang berfungsi sebagai jembatan kecil untuk melintasi parit. Namun kini, jejak titian batu itu telah hilang.
Tetebatu kini sudah semakin moncer sebagai desa wisata. Tempat ini menjadi spot andalan wisata alam di kawasan Lombok Timur. Tetebatu bahkan pernah mewakili Indonesia dalam ajang lomba Desa Wisata Terbaik (Best Tourism-Village) yang diselenggarakan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO). Namun entah bagaimana ceritanya, Tetebatu gagal mendapat nominasi apapun dalam ajang itu. Mungkin nasib sedang tidak mujur. Atau boleh jadi, para pawang wisata yang mengurus promosi Tetebatu kurang manjur. Mungkin!!
Belakangan, Tetebatu batu juga dibranding sebagai Kampung inggris. Sukiman Azmy, saat menjabat selaku Bupati Lombok Timur, merajut mimpi ambisiusnya agar Kampung Inggris Tetebatu setara dengan Kampung Inggris Pare, Jawa Timur. Sejak 2019, mimpi itu mulai dirintis. Pemerintah Lombok Timur rela mengalokasikan sejumlah anggaran untuk mewujudkan mimpi itu. Pada tahun 2021, Sukiman Azmy meresmikan Kampung Inggris Tete Batu. Pemerintah Lombok Timur bekerjasama dengan masyarakat setempat menyiapkan tutor, homestay, aula, dan rumah-rumah sewa untuk para pembelajar bahasa Inggris. Dengan itu, kampung Inggris Tetebatu diharapkan mampu menarik pasar wilayah Indonesia Timur, seperti Kalimantan, Sulawesi, NTT dan Papua.
Namun, sepertinya mimpi itu jauh panggang dari api. Sejak diresmikan, kampung Inggris Tetebatu tidak menunjukkan progres yang berarti. Bahkan kini peminatnya sepi. Pun programnya berhenti. Entah apa dan siapa yang salah. Saya tak punya kredensi untuk mengurai hal itu lebih dalam. Tetapi, sebagai rakyat biasa yang awam, tentu saya boleh sekadar menyampaikan opini. Potensi alam Tetebatu sebetulnya jauh lebih indah dari Pare. Di sini terdapat hutan black monkey (lutung). Ada tiga belas air terjun. Dan memiliki dua jalur pendakian ke Gunung Rinjani, yakni jalur Perompongan dan jalur Ulem-ulem. Namun, nyatanya potensi ini tak cukup mampu menopang branding Kampung Inggris Tetebatu.
Kini menjelang musim Pilkada tiba, tampaknya para calon pemimpin punya banyak pekerjaan rumah. Dari sekian banyak sektor yang mesti dibenahi, salah satunya adalah me-rebranding Tetebatu sebagai ikon wisata alam Lombok Timur. Tetebatu mesti dijadikan sentrum “edutour”; yang menyuguhkan perpaduan wisata alam, kegiatan edukasi-literasi dan festival budaya. Calon pemimpin Lombok Timur punya tanggung jawab untuk mewujudkan hal itu. Namun, apa yang saya sampaikan ini hanya selintas amatan kecil. Tak perlu dibesar-besarkan. Mana tahu ada gunanya di masa mendatang. Jika tidak berguna, silahkan diabaikan saja.
Catatan kecil ini saya tulis iseng-iseng saat menepi selama lima hari di Tetebatu. Yakni di sela-sela kegiatan Training Center menuju MTQ Provinsi NTB yang akan diselenggarakan di Kabupaten Sumbawa Barat. Kebetulan saja, saya ditugaskan mendampingi adik adik pada cabang Musabaqah Makalah Ilmiah Alqur’an. Saat menulis catatan ini, saya teringat kawan saya kader MTQ asal Aceh. Kami selalu berbincang tentang kenangan menjadi peserta MTQ di masa remaja. Ia selalu mengenang dengan penuh hikmat, lamat-lamat lantunan mars MTQ di dalam memorinya. Kami juga berbincang perihal MTQ sebagai sebuah festival keagamaan dalam kultur masyarakat muslim Indonesia. Yakni bagaimana MTQ sebagai sebuah perpaduan antara dogma, ritual, kesalehan, pementasan dan estetika. MTQ bagi kami adalah peristiwa kebudayaan yang lahir dari resepsi estetis masyarakat terhadap Al-Qur’an. Lalu dipatenkan oleh negara sebagai event tahunan sejak tahun 1940. Bagi teman saya Qori’ MTQ Aceh itu, MTQ telah melahirkan legenda hidup: Muammar ZA, seperti sepakbola yang telah melahirkan Maradona!