Oleh: IMRON HADI, M.H.I.
(Dosen Prodi HKI Fakultas Syari’ah UIN Mataram)
Pada esensinya Ibadah puasa yang sudah dilaksanakan oleh ummat Islam selama sebulan penuh dengan menahan lapar, dahaga dan menjauhkan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa, pada prinsipnya memiliki tujuan atau maqosid yang sangat mulia, yakni untuk membentuk pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi: “Hai orang orang yang beriman diwajibkan kepadamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Menurut Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya “Zaad al-Mashir Fil Ilmi Tafsir” menjelaskan, secara etimologi, puasa dalam bahasa arab disebut dengan shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu. Sementara itu, menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah menjelaskan kata puasa berasal dari bahasa Sansekerta yakni upawasa yang berarti pengendalian diri dari Nafsu.
Menurut Imam Adz-Zahabi dalam Kitab “At-Taarikhul Islam” menjelaskan, Secara historis, puasa tidak hanya dipraktikkan dalam agama Islam saja, namun juga agama-agama lain memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Hampir semua bangsa di dunia ini sudah mengenal praktik berpuasa sejak dulu kala, seperti bangsa Mesir Kuno, bangsa Tibet, bangsa Yunani, bangsa Suryani dan bangsa Sumeria. Bahkan agama-agama seperti, Yahudi, Nasrani, Hindu dan Budha, mewajibkan ummatnya untuk berpuasa, walaupun dengan cara, motivasi dan tujuan yang berbeda-beda, yang tujuan utamanya adalah untuk mengasah kepekaan sosial dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha Esa.
Yusuf Qardawi dalam kitabnya “Al-Ibadah Fil Islam” menjelaskan, Pada prinsipnya, tujuan utama ibadah puasa adalah untuk meningkatkan kepedulian sosial dan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, yakni Lallakum Tattaqqun. Lalu, apa sebenarnya makna taqwa? Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali Dalam Kitab “Minhaajul Abidiin” mengutip pandangan Imam Ali memberikan definisi bahwa taqwa yakni “Imtisaalul Awamiri Wajtinabun Nawahi” mengerjakan segala yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi semua larangannya.
Sementara itu Imam Ali bin Abi Thalib, memberikan definisi taqwa yang lebih teknis dan mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Muhaqiq al-Habib Zain Bin Ibrahim Bin Smith yang dikutip dalam kitabnya “Al-Manhaajus Saawi”, bahwa pengertian taqwa adalah Takut kepada Allah SWT yang maha Jalil, beramal sesuai dengan perintah al-Qur’an, hidup qana’ah terhadap rizki yang sedikit dan mempersiapkan diri menghadapi hari kematian. Dalam Pandangan Ali bin Abi Thalib, Orang yang bertaqwa minimal memiliki empat sifat kebiasaan yakni:
Pertama, adalah: Khaufu Minal Jalil. Orang yang bertaqwa akan selalu merasa takut kepada Allah SWT yang maha jalil, takut dalam artian bukan lari menjauhi Allah SWT, melainkan takut melanggar hukum-hukum Allah SWT yang telah digariskan dalam al-Qur’an. Orang yang bertaqwa pasti takut berbuat dosa karena semua perbuatannya dipantau langsung oleh Allah SWT. Lidahnya tidak berani digunakan untuk mengumpat, mencaci maki, menfitnah, membicarakan aib orang lain, dan menebar hoax. Mulutnya tidak berani digunakan untuk memakan makanan yang haram, tangannya berani tidak digunakan untuk mencuri barang orang lain yang bukan miliknya dan kakinya tidak berani digunakan untuk melangkah ke tempat-tempat maksiat.
Kedua, adalah: Wal Amalu Bi Tanzil, bahwa orang yang bertaqwa senantiasa beramal dan berbuat sesuai dengan hukum yang telah diturukan oleh Allah SWT yakni al-Qur’an. Seluruh amal dan perbuatan orang yang bertaqwa didasarkan pada perintah al-Qur’an yang diturunkan sebagai pedoman hidup bagi ummat Islam, baik yang mencakup aspek ubuduyah maupun muamallah. Seorang yang bertaqwa kepada Allah SWT tidak akan berani melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum al-Qur’an, orang yang bertaqwa senantiasa menebar kebaikan, menghormati perbedaan dan membantu sesama, orang yang bertaqwa senantiasa berperilaku Qur’ani sesuai dengan ajaran Rasululllah SAW yakni Takhallaku bi akhlakil Qur’an.
Ketiga, adalah Wal-Qana’atul Bil Qaliil, Orang bertaqwa memiliki sifat dan pola hidup qana’ah atau sederhana. Bahwasanya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang diberikan Allah SWT walupun hanya sedikit. Hidup qana’ah dan bersyukur merupakan sifat utama orang yang bertaqwa, sebagaimana pola hidup Rasulullah SAW yang selalu hidup sederhana walaupun Rasulullah memiliki harta kekayaan yang banyak pada saat itu. Hidup qana’ah sesuai dengan tujuan utama berpuasa yakni untuk meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial, agar merasakan penderitaan para fakir miskin dan anak yatim yang terkadang sering merasakan pahit getirnya kelaparan karena tidak memiliki makanan yang cukup. Hidup qan’aah bukan berarti seorang dilarang memiliki harta, namun harta yang dimilikinya tidak membuatnya bermewah-mewahan, bermegah-megahan dan pamer. Akan tetapi harta tersebut lebih digunakan untuk membantu sesama, terumata para fakir, miskin dan anak yatim yang sangat membutuhkan.
Keempat, adalah Isti’daadul li Yaumil Rohiil, yakni mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kematian. Orang yang bertaqwa selalu mempersiapkan diri sedini mungkin akan datangnya hari kematian, Ketika Rasulullah SAW ditanya siapakah manusia yang paling cerdas dihadapan Allah SWT? Beliau menjawab. mereka yang paling banyak ingat kematian dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya,
Ingat kematian merupakan cara terbaik bagi manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, karena dengan ingat kematianlah, manusia bisa menghindari sifat-sifat kesombongan, keangkuhan kerakusan, kemunafikan, ketamakan, egoisme dan permusuhan antar sesama. Dengan ingat kematianlah seorang akan tersadar, bahwa semua harta benda, pangkat jabatan, keluarga dan popularitas yang dimilikinya selama ini hanyalah sementara dan tidak akan dibawa mati, hanyalah amal saleh yang akan yang setia menemani di alam barzah nanti.
Keempat sifat orang bertaqwa tersebut jika dihubungkan dengan puasa Ramadahan maka dapat ditarik kesimpulan sebagaiamana dikatakan oleh Syaikh Muhammad Bin Aly Bin Abdil Qadir Al-Makki dalam kitabnya Kanzun Najaah Was Surur, bahwa orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh karena keimanan, keikhlasan dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, pasti mengalami peningkatan ketaatan dan kesolehan, baik kesolehan individual maupun kesolehan sosial setelah Iedul Fitri. Sebab sejatinya Iedul Fitri adalah bukan momentun untuk bermegah-megahan dan pamer pakaian atau perhiasan baru, melainkan momentun untuk meningkatkan kesolehan dan ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan “laisal Ied Liman Libasul Jadid, Walakin al-Ied Liman Toatil Tazid, artinya “Bukanlah dikatakan Iedul Fitri jika hanya menunjukan pakain dan perhiasan baru, akan tetapi dikatakan Iedul Fitri jika meningkatnya ketaatan yang bermutu”. Semoga momentun idul fitri tahun ini membawa kita kembali ke fitrah asal kita sebagai manusia yang baik, manusia yang bertaqwa dan berakhlak mulia. Wallahu Al’lam bi Showab.