Opini  

Membaca Falsafah dan Etika Pendidikan Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid

Refleksi Hardiknas

Muhammad Said

Oeh: Muhammad Said

Dosen STAI Darul Kamal Kembang Kerang. Juga Aktif sebagai peneliti di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) dan TGB Institute.

Saban kali kita merayakan hari pendidikan nasional dan atau hari santri, imajinasi kita “dipaksa” melompat jauh kepada tokoh-tokoh yang tumbuh dan berperan nun jauh di tanah Jawa. Kita kerap alfa membaca dan mengapresiasi tokoh kita sendiri. Yakni figur yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, dan ilmunya mengalir ke dalam diri kita melalui madrasah yang dirintisnya. Figur itu adalah Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. 

Perlu ditegaskan, esai ini tidak hendak mengajak pembaca untuk anti terhadap tokoh-tokoh nasional lainnya. Tetapi, sebagai bangsa Sasak–sub etnis dari “Nation Indonesia”, kita perlu membaca dan memaknai wawasan dan pemikiran tokoh lokal kita, sebagai upaya menggali khazanah kedirian kita. Pada konteks ini, termasuk soal pemikiran pendidikan yang terkait dengan Hardiknas. 

Peringatan hardiknas tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Taman Siswa (3 Juli 1922) di Yogyakarta. Sebuah organisasi pendidikan alternatif yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau lebih populer disebut Ki Hadjar Dewantara. Visi utama Taman Siswa adalah memperjuangkan nasionalisme dan kemerdekaan dalam pendidikan. Robert Van Niel dalam “Munculnya Elite Modern Indonesia” (2009), menjelaskan bahwa pada masa Politik Etis (1901-1916), Belanda menerapkan sistem kebijakan pendidikan berdasarkan status sosial. Kaum pribumi (rakyat jelata) hanya diberikan akses pendidikan setingkat Sekolah Dasar, sementara kaum priyayi dan bangsawan Eropa diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Dalam situasi semacam itulah, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, sebagai sarana perjuangan di jalur pendidikan terhadap tirani kolonialisme Belanda.

Satu dasawarsa kemudian, di tempat yang jauh dari jangkauan taman Siswa, yakni di bagian Timur Indonesia, Lombok, muncul semangat yang sama. Pelopornya adalah Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid (selanjutnya disebut Maulana Syaikh). Maulana Syaikh membangun lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah pada tahun 1937 M sebagai alat perjuangannya.

Belakangan ini, saya kerap memutar lagu-lagu ciptaan Maulana Syaikh via kanal youtube, sambil merenungkan lirik-liriknya agar mendapatkan zeitgeist–semangat zaman saat lagu itu diciptakan. Jika kita hayati lebih mendalam lirik-lirik lagu karya Maulana Syaikh, maka kita akan merasakan spirit perjuangan Maulana syaikh dalam bandul sejarah gerakan anti kolonialisme di jalur pendidikan (madrasah).

Oleh karena itu, untuk membuka perbincangan kita tentang falsafah dan etika pendidikan Tuan Guru Zainuddin di momen Hardiknas, mari kita simak sebuah ungkapan Maulana Syaikh yang digubah menjadi sebuah lirik lagu:

“Bangsaku pacu pacu beguru, kaumku Sasak bejulu”  

“Bangsaku ndak te bemudi, peta sangu jelo mudi”

Lirik  tersebut tentu begitu akrab di telinga kita. Namun, kadang kita menikmati alunan notasinya hanya sebagai sebuah nyanyian, dan lalu lewat begitu saja. Padahal, jika lirik tersebut kita analisa dengan perangkat ilmu sosial dan wawasan sejarah Lombok, maka kita akan mendapatkan makna yang penting dalam pemikiran falsafah pendidikan versi Maulana Syaikh. Secara hermeneutis, lirik tersebut mesti ditafsir dalam bingkai “ma haulan nash”—yakni menggali latar sosio-historis (asbabul wurud) kemunculan teks (lirik).  Menurut hemat penulis, teks lagu ini muncul pasca Maulana Syaikh pulang dari Makkah, dan menyaksikan realitas kehidupan orang Sasak yang masih terpuruk secara pendidikan dan ekonomi-politik akibat penjajahan berlapis: penaklukan oleh Bali, Belanda dan Jepang.

Sebagai alumni Madrasah Shaulatiyyah, basis epistemologi Maulana tentu tidak bisa dilepaskan dari Qur’anic values—nilai nilai Qur’ani. Ia paham bahwa Islam menempatkan isu pendidikan pada posisi yang amat sentral dalam kehidupan. Bahkan, kata pertama dalam wahyu Al-Quran adalah iqra’— sebuah diksi yang memiliki korelasi amat lekat dengan literasi dasar dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, Maulana Syaikh berinisiatif melakukan perubahan sosial dan perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur pendidikan. Komitmen itu diwujudkan dalam  merintis madrasah NWDI 1937 dan NBDI 1946 (Noor, 2019).

Kepeloporan Maulana Syaikh dalam menggerakan pendidikan di Lombok melalui sistem Madrasah membuatnya populer disebut Abul madaris—the Godfather of Madrasa. Fokus Maulana Syaikh mengambil perjuangan di jalur pendidikan bukan tanpa alasan.  Ia memahami bahwa kegemilangan sejarah Islam sebagai pemimpin peradaban pada masa keemasan Islam (the golden age of Islam), yakni ketika kaum muslim memberi perhatian besar kepada bidang pendidikan. Misalnya membangun perpustakaan besar nan megah dan mendirikan pusat-pusat pembelajaran seperti di Bagdad, Cordova, dan Kairo (Makdisi, 1981). Sejarah mencatat, bahwa kaum muslimin telah menciptakan lompatan besar dalam menyumbang ilmu pengetahuan, dan menjadi jembatan peradaban dari masa klasik ke modern (Makdisi, 1981).

Selain itu, sebagai alumni haramain, spirit Madrasah Shaulatiyyah amat kental dalam visi perjuangan Maulana Syaikh. Shaulatiyyah, merupakan madrasah legendaris yang didirikan di tanah Hijaz oleh Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi—seorang Diaspora India, alumni Madrasah Dār al-ʿulūm atau “Deoband School” (berdiri tahun 1867). Secara politis, Madrasah Deoband merupakan lembaga pendidikan yang memiliki resistensi kuat terhadap kolonial Inggris di India. Syaikh Rahmatullah merupakan salah satu figur yang turut dalam arus perlawanan terhadap kolonial inggris saat itu. Oleh karenanya, DNA ideologi Shaulatiyyah yang anti kolonialisme mengalir pada spirit dan visi Maulana Syaikh sebagai salah satu alumni terbaik Madrasah Sahulatiyyah. Hal  ini dapat dilihat, terutama ketika Maulana Syaikh mulai merintis madrasah NWDI di pulau Lombok. Madrasah NWDI menjadi media pendidikan rakyat, sekaligus sebagai basis perlawanan terhadap Kolonialisme (Belanda dan Jepang).

Dalam konteks yang lebih makro, pengaruh Deoband School (Madrasah-madrasah di kawasan  Deoband, India) juga mengalir ke Indonesia melalui Fazlurrahman, seorang pemikir asal Pakistan-India yang berkarir sebagai dosen di  Chicago University, Amerika. Fazlurrahman adalah putra dari Maulana Syihab ad-Din, alumni Dar al-‘Ulum, Deoband. Yakni Madrasah yang sama dengan Syaikh Rahmatullah, pendiri Shaulatiyyah-Makkah. Fazlurrhaman kemudian memiliki tiga murid asal Indonesia—Gus Dur menyebutnya “Tiga Pendekar Chicago”—yakni  Nurcholis Madjid, Buya Syafi’i Maarif,  dan Amien Rais.  Melalui  tiga muridnya itu,  percikan ideologi anti kolonialisme Deoband mengalir dalam bentuk wajah yang agak lain, yakni modernisme Islam. Sementara alumni Shaulatiyyah seperti maulana Syaikh  mengusung tradisionalisme Islam.

Lalu apa yang perlu direfleksikan tentang Maulana Syaikh di momen Hardiknas? jawabannya adalah bagaimana kita mencerna, bahwa falsafah pendidikan Maulana Syaikh merupakan sebuah cita-cita besar untuk membebaskan bangsa Sasak dari kebodohan dan ketertinggalan. Sebab kebodohan bagi Maulana Syaikh adalah penyakit peradaban yang harus disembuhkan. Maulana Syaikh dalam lirik lagunya menyebut “Sakit Jahil ndek arak oat ne, selainan si’ te beguru ngaji”. Bahkan lebih jauh, dalam lirik lain ia menyebutkan “Bangsaku pacu beguru, Kaumku Sasak Bejulu”. Dari lirik-lirik tersebut kita bisa memaknai bagaimana komitmen dan spirit pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan  yang perjuangkan Maulana Syaikh terhadap bangsa Sasak.

Maulana Syaikh menyeru segenap bangsa Sasak dengan panggilan “kaum” agar melangkah ke masa depan yang cemerlang.  Tidak hanya berorientasi duniawi, melainkan yang utama adalah visi akhirati.  Sebagaimana dalam lanjutan  lirik: Bangsaku ndak te bemudi, pete sangu jelo mudi.

Seruan itu tidak hanya slogan, tetapi sebuah komitmen moral yang diaktualisasikan dalam perjuangan nyata. Yakni melalui NWDI sebagai sarana pendidikan bagi kaum laki-laki, dan NBDI sebagai sarana pendidikan bagi kaum perempuan. Sebagaimana ungkapan Maulana: “inaq ama’ku si deman lek agame, serah gamak anakde beguru agame lek madrasah si ara due. Nahdlatul Wathan taok mun ne mame, nina le Nahdaltul Banat, agen ndek pade nyesal lek akhirat”. Lirik ini menggambarkan, seruan Maulana Syaikh yang mengandung elan vital perjuangan dalam pemerataan akses pendidikan bagi rakyat, baik laki-laki ataupun perempuan. Melalui dua madrasah itu, Maulana Syaikh meneguhkan komitmennya sebagai bapak pendidikan modern kaum Sasak (abul madaris), yang setia dan sedia membangunkan bangsa Sasak yang masih terlelap dalam kebodohan dan ketertinggalan: “Nahdlatul Wathan setia, Nahdlatul Banat sedia. Ngurasang batur si pidem, ndek ne ngase leat kelem”.

Bagi Maulana Syaikh, kita tidak boleh membiarkan  keterjajahan, kebodohan, dan ketertinggalan sebagai takdir sejarah bangsa Sasak yang permanen. Realitas sejarah itu harus diubah dengan perjuangan. Salah satu alat utama perjuangan itu adalah pendidikan. Dalam sebuah lirik, Maulana Syaikh mengatakan:  nahnu fityanul ulum, kullu yaumin la nanum, amaluna fawqan nujum, jihaduna lil muslimin. Lirik ini bertujuan membangkitan daya juang kita untuk keluar dari kubangan kebodohan dan nista ketertinggalan bangsa Sasak. Kita harus menjadi fityanul ulum (kaum intelektual, ulama, cendekia) yang mengurangi jatah tidur demi cita-cita tinggi fauqan nujum untuk kemajuan umat Islam.

Gerakan Pendidikan yang dirintis Maulana Syaikh memberikan dampak signifikan bagi penguatan literasi bangsa Sasak.  Dalam dalam kurun waktu 16 tahun (1937-1953), lembaga Pendidikan madrasah NWDI berkembang menjadi 68 buah madrasah cabang yang tersebar di seluruh Pulau Lombok (Nahdi, 2013). Pencapaian ini harus diakui dengan jujur, sebagai sebuah pencapaian di bidang pendidikan di pulau Lombok yang tidak bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh lain yang sezaman.  

Falsafah pendidikan Maulana Syaikh juga meletakkan landasan etik, yakni melalui kritik sosial terhadap gurita feodalisme masyarakat Sasak saat itu.  Ia menghendaki kesetaraan dalam sistem sosial masyarakat. Seperti yang ditulis dalam lirik “Ndek te perlu bangse-bangse, Mun Agama ndek te rase”. Lirik ini menjelaskan, Maulana Syaikh menghendaki bahwa sebuah struktur sosial masyarakat harus diletakan dalam bingkai egalitarianisme-religius. Bukan nobility alias kebangsawanan. Dalam arti, meritokrasi (kapasitas ilmu agama) lebih utama ketimbang aristokrasi yang given dari sistem budaya. Bahkan dalam konteks yang lebih tegas, Maulana Syaikh mengegser paradigma materialistisme ke religiusisme: “Ilmu Agame Begune, Doe Bande Ndek Ne Gune”. Lirik ini menekankan, materi bukanlah indikator utama yang menentukan kualitas manusia, melainkan kapasitas keilmuannya (ilmu agama). Dalam lanjutan  petikan lirik lagu itu disebutkan: ”inak amak-ku, semeton jaringku pade, ndek narak ita gin kekal lek dunia. Daka’ te sugih daka’ te bangsa mulia, ndk narak guna, mun ndk narak agama”.

Dari uraian singkat ini, pada momen Hardiknas 2023 kita dapat memetik pelajaran, bahwa Maulana Syaikh telah memberikan teladan atas komitmennya mengembangkan pendidikan dan pembebasan bagi fata Sasak Dari kebodohan dan ketertinggalan. Maulana Syaikh adalah figur yang mesti diteladani dalam bidang pendidikan. Jasanya begitu nyata dalam melahirkan betapa banyak para sarjana, cerdik cendekia, ulama, dan birokrat di pulau Lombok yang telah ditempa dan belajar di madrasah-madrasah yang telah dirintisnya. Semua perjuangannya itu tidak lepas dari perhatiannya terhadap dunia pendidikan, sebagaimana dikatakan: “Buka Madrasah Desa dan Dasan, Agar tersebar ajaran Tuhan, Ikatan pelajar, PG (persatuan guru) aktifkan….”

Seluruh akumulasi perjuangan Maulana Syaikh dalam dunia pendidikan bagi bangsa Sasak bermuara pada perjuangan nasionalismenya untuk Indonesia. Ia menyerukan kepada kita semua:  

Hayya ghanu nasyidana (mari pekikkan lagu perjuangan kita), Ya fata sasak bi indonesia (wahai pemuda Sasak Indonesia), Ballighil ayama wallayaliya, (sampaikan siang dan malam), Nahnu ikhwanusshafa (kita adalah suadara)… Indonesia anti romzul ittihadi (Indonesia engkau lambang persatuan), lakil fidaya ittihadi (NKRI jiwa kami tebusan bagimu).

Selamat Hardiknas!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *