Oleh Imron Hadi, S.HI.,M.HI.
(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Mataram)
Ernst Haeckel adalah seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman yang pertama kali menggunakan istilah “ekologi” pada tahun 1866 yang didefinisikan sebagai ilmu yang membahas mengenai hubungan antara organisme dan alam sekitarnya. Ekologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu yang membahas tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan alam sekitarnya. Jadi ekologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. “Kesalehan” ekologi yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah perilaku “baik” atau “saleh” manusia terhadap alam atau lingkungannya dengan tetap eksis menjaga kelestarian, keberlangsungan dan tidak merusaknya.
Dewasa ini banyak permasalahan besar dan kompleks yang dihadapi manusia, di antara masalah besar yang menghantui manusia adalah problem kerusakan alam dan lingkungan hidup. Seriusnya masalah tersebut ditunjukan dengan lahirnya berbagai macam kesepakatan tentang penyelamatan lingkungan hidup seperti kesepakatan Global KTT Bumi (Earth Summit) secara periodik, kemudian dicantumkannya isu lingkungan hidup sebagai salah satu butir utama MDGs (Millenium Development Goals) oleh PBB, penyelenggaraan Konferensi Internasional Global Warming, penyelenggaraan World Ocean Conference, pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup di semua Negara dan munculnya kelompok-kelompok masyarakat peduli lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Greenpeace. Lahirnya kesepakatan dan gerakan moral penyelamatan lingkungan hidup tersebut merupakan respon konkrit atas semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup yang melanda di seluruh belahan bumi. Konsekuensinya, masyarakat semakin merasakan dampak buruk akibat terjadinya kerusakan dan kesalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena penggunaan produk teknologi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan standar, serta eksploitasi sumber sumber daya alam yang yang tidak berwawasan lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lapisan ozon (O3), pemanasan global, munculnya jenis penyakit baru yang sulit dicari obatnya, kelainan genetic, tanah longsor, banjir bandang dan lain sebagainya. Kondisi tersebut tentunya tidak diharapkan oleh siapapun karena akan dapat mengancam kehidupan manusia.
Namun bencana alam sering terjadi disebabkan oleh tangan jahil dan rakus manusia yang selalu merusak alam dan tidak peduli terhadap kelestarian alam dan lingkungan. Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dunia untuk menanggulangi dampak bencana alam secara integratif dan massif, namun hasilnya tidak maksimal dan jauh dari harapan. Bencana demi bencana terus terjadi di berbagai belahan negeri termasuk di Indonesia, khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat tepatnya di Kabupaten Bima dan Lombok Tengah. Dua daerah tersebut sering terjadi banjir bandang tahunan yang merusak sejumlah fasilitas umum dan menelan korban jiwa. Tentunya hal tersebut tidak diharapkan oleh siapapun, namun jika upaya penanggulangan bencana dalam bentuk program riil pemerintah belum bisa mengatasi dampak bencana alam tersebut, perlu kiranya mencari solusi lain yang berdimensi religius. Artinya perlu gerakan massif merubahan perilaku hidup manusia berdasarkan pendekatan doktrin teologi agama. Mungkin tawaran solusi ini kelihatannya agak “menggelikan” dan tidak rasional. Namuan sejarah mencatat bahwa bangsa-bangsa terdahulu yang melaksanakan ajaran teologi agamanya dengan baik dan benar seperti tetap eksis menjaga alam dan lingkungannya dari berbagai macam kerusakan, selalu terhindar dari berbagai macam bencana alam.Sementara negeri-negeri yang tidak menjaga alam bahkan merusaknya selalu berakhir tragis ditimpa berbagai bencana alam yang dahsyat, baik dalam bentuk erosi, banjir bandang dan merebaknya virus penyakit yang mematikan.
Pesan ekologis agama yang terlupakan
Sesungguhnya semua agama di dunia tidak mengajarkan pengikutnya untuk merusak alam, bahkan sebaliknya memerintahkan pemeluknya untuk menjaga alam dan kelestarian lingkungan sekitar. Dalam teologi agama Islam dikenal istilah hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam, menjaga hubungan baik tidak hanya dengan Tuhan dan manusia saja, tetapi juga dengan alam dan lingkungan sekitar. Selama ini kerusakan alam diakibatkan karena sudut pandang manusia yang antroposentris, yakni manusia sebagai pusat alam semesta sehingga alam dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitasi untuk memuaskan nafsu serakah manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah perbuatan tangan serakah manusia”..(Ar-Rum:41).
Sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan untuk melestarikan, memakmurkan alam dan lingkungan tanpa diskriminasi dan dominasi. Kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup memiliki hak untuk hidup, dilindungi dan dipelihara secara baik, sebagaimana disinyalir dalam hadits Nabi “tidak seorangpun muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedekah untuknya. Dalam hadits lain juga dijelaskan“barangsiapa yang menghidupkan suatu bumi yang mati, maka bumi itu baginya”, artinya untuk keberlangsungan hidup, manusia wajib memelihara lingkungan alam sekitar tempat mereka tinggal. Jika kondisi lingkungan baik, maka baiklah kondisi manusia, namun jika kondisi lingkungan buruk dan rusak maka keburukan atau bencana yang didapati oleh manusia.
Sementara itu agama Budha juga mengajarkan pesan spirit kesalehan ekologi yang sama, bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta ini saling mempengaruhi satu sama lain dan berinteraksi berdasarkan hukum sebab-akibat yang disebut dengan istilah “paticcasamuppada”. Artinya setiap sebab yang dilakukan oleh manusia, hewan atau alam, akan berdampak kembali kepada manusia, hewan atau alam atersebut. Sang Budha secara tersirat juga menyampaikan pesan akan pentingnya kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup manusia. Artinya teologi agama Budha sangat menekankan untuk memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan alam sekitar karena manusia hidup memerlukan alam.
Begitu juga dalam ajaran agama Kristen, dalam teologi Kristen menjaga lingkungan hidup sangat dianjurkan, dalam al-Kitab Perjanjian Baru mencatat “bahwa Allah yang maha kasih mengasihi dunia ciptaan Nya sehingga ia mengutus anaknya ke dunia yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yohanes, 3:16). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Apa yang diajarkan dalam kitab Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan makhluk termaktub dalam (yes.11:6-9;65:17:66; Hos.2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam keyakinan teologi Kristen, hungan baik manisia dengan alam bukan sekedar “domino” atau menguasai tetapi juga “communio” atau persekutuan. Itu sebabnya Tuhan Yesus beringkarnasi menggunakan unsur-unsur alam yakni air, anggur dan roti dalam sakramen yang menjadi tanda hubungan manusia dengan Allah. Artinya hubungan baik antara manusia dengan Allah harus tercermin dalam hubungan baik antar manusia dengan alam.
Begitu juga dengan ajaran agama Hindu selalau menekankan untuk menjaga dan memelihara alam kepada ummat sedarma. Dalam teologi agama hindu terdapat istilah Tri Hita Karana, yang merupakan konsep religius dan filosofi hidup bagi umat hindu. Hubungan harmonis dengan Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk bakti kepadanya. Dalam keyakinan teologi Hindu, agama merupakan pedoman pemujaan kepada Tuhan, bukan sekadar mengajarkan manusia menyembah kepadanya tetapi juga mengajarkan manusia agar selalu menjaga lingkuangnnya. Ini dibuktikan dengan lima dasar pengorbanan agama hindu (Panca Yadnya) yang salah satunya adalah Butha Yajna. Dalam Isa Upanishad menyatakan “segala sesuatu di muka bumi ini adalah kepunyaan brahman, oleh karena itu ambillah apa yang kamu butuhkan dan jangan pernah ambil yang lainnya atas milik siapa semua ini”. Seloka ini mengajarkan agar manusia tidak bersifat rakus dan serakah, karena dengan mengkonsumsi secara berlebihan manusia telah berkontribusi merusak alam, teologi ajaran hindu mengajarkan manusia agar bersahabat dengan alam dan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Pada prinsipnya seluruh teologi agama di dunia ini melarang keras pengikutnya merusak alam dan lingkungan sekitar. Jika demikian kenyataannya maka sudah saatnya diijtihadkan fatwa “haram” dan “dosa besar” bagi manusia yang merusak alam dan lingkungan sekitar. Fatwa tersebut perlu diformulasikan agar manusia memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga alam dan melestarikan lingkungan serta agar manusia jera merusak dan mengeksploitasi alam dan lingkungannya secara berlebihan, karena dampak buruknya berakibat fatal dan massal bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, berdosa besar jika manusia mengeksploitasi, menjarah, dan merusak alam secara massif, hukuman dosa dari Tuhan dalam bentuk azab di hari kiamat nanti, sementara hukuman dosa dari alam dalam bentuk bencana alam, banjir bandang, gempa bumi, pemanasan global (global warming), munculnya virus atau penyakit baru yang mematikan secara masal dan akibat buruk lainnya.
Oleh karena itu, mari kita sadari bersama, taubat nasuha secara massal dan kembali kepada ajaran agama, imani dan praktikkanlah teologi agama yang kita yakini karena sesunggunya ajaran agama datang dari Tuhan yang bertujuan untuk menyelamatkan dan mensejahterakan manusia. Kesalehan ekologis dalam teologi agama merupakan pesan yang sering dilupakan, malah sengaja dilupakan oleh manusia karena dianggap tidak ada korelasinya dengan bencana yang terjadi, dan tidak ada relevansinya dalam penanggulangan bencana apalagi menjadikannya sebagai perisai untuk terhindar dari berbagai macam wabah dan bencana. Pemahaman seperti itu perlu diubah dan diperbaiki mulai saat ini, tidak ada salahnya jika kita menengok kembali kepada pesan-pesan universal teologi agama yang diyakini, karena pesan-pesan suci Tuhan selalu memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran rasional yang ilmiah. Oleh karena itu, perlu digagas dan disosialisasikan istilah kesalehan ekologis berbasis teologis secara massal dan massif kepada semua lapisan masyarakat, sebagai upaya sadar untuk meminimalisir eksploitasi alam dan lingkungan secara berlebihan dan untuk menghindari dari dampak bencana alam yang fatal dan massal yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia kini dan akan datang.
Wallahu a’lam bishowab.