Oleh: Imron Hadi, S.HI., M.HI.
(Dosen Tetap FS UIN Mataram, Pengurus L-FAS NW dan ISNW Pusat)
ALI SYARI’ATI seorang cendikiawan muslim ternama berkebangsaan Iran mengatakan bahwa Islam adalah agama monoteisme (tauhid) yang sederhana dan gampang dicerna oleh para penganutnya. Ia tetap merupakan ajaran yang mampu dicerna oleh akal sehat manusia dalam tahapan-tahapan tertentu. Namun, bukan berarti bahwa Islam merupakan agama yang menggunakan prinsip rasionalisme an sich. Sebagai agama samawi, ajaran Islam diturunkan dengan proses pewahyuan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian ditulis dan dikodifikasi dalam bentuk teks Al-Qur’an. Uniknya teks-teks ajaran Islam tersebut tetap bisa diverifikasi dan diinterpretasi dengan pendekatan rasionalitas maupun keimanan, walaupun pada tataran tertentu rasio juga digiring untuk pasrah kepada otoritas teks jika sudah sampai pada titik batas kulminasi kemampuannya.
Salah satu poin dalam teks ajaran Islam dan tertuang dalam Al-Qur’an yang bisa dipahami dengan pendekatan qalbu (keimanan) dan rasio (akal fikiran) adalah perintah melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Pada dasarnya, ritual puasa bukan merupakan ibadah baru dalam agama yang bercorak monoteisme, bahkan agama multi-teisme tertentu juga memerintahkan puasa kepada penganutnya. Akan tetapi kenapa Islam sebagai agama monoteisme terakhir masih tetap memberlakukan perintah puasa, khususnya yang dikerjakan selama bulan Ramadhan kepada para pengikutnya? Hal tersebut mengindikasikan bahwa puasa ramadhan memiliki nilai lebih tersendiri jika dibandingkan dengan puasa yang dilakukan oleh umat lain dari berbagai macam kepercayaan yang ada sebelumnya.
Jika dikaji secara komprehensif, ibadah puasa ramadhan bukan merupakan perintah atau “titah langit” yang “dipaksakan” turun ke bumi begitu saja tanpa mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Bukan juga merupakan “pesan kosong” atau perintah hampa yang diturunkan Allah kepada manusia melalui celah-celah lereng gunung atau gua-gua yang tak berpenghuni secara sengaja tanpa memiliki makna yang hakiki. Namun justru sebaliknya, puasa ramadhan merupakan ibadah yang memiliki efek dimensi individual dan sosial yang luas dan bergelimang akan nilai positif. Hanya saja sebagian besar umat Islam masih tersandera pada paradigma klasik simbolik-ritualistik terhadap puasa itu sendiri, sehingga nilai-nilai sosial-empirik dibalik puasa tidak mampu ditangkap dan diinternalisasikan ke dalam diri manusia, sehingga terkesan bahwa ibadah puasa ramadhan hanya sebagai penggugur kewajiban belaka. Rasulullah bersabda “Beberapa orang yang berpuasa ramadhan tidak mendapatkan apa-apa (pahala) hanya lapar dan dahaga saja”. Artinya nila-nilai puasa yang sejatinya bertujuan untuk menjaga dan membentuk prilaku positif manusia tidak teraktualisasikan dengan baik selama puasa, karena terjebak dalam ritual-ritual simbolik tidak makan dan tidak minum.
Puasa ramadhan dalam konteks ajaran Islam diibaratkan sebagai madrasah (sekolah) kehidupan. Secara umum, hadirnya sekolah dalam pentas kehidupan manusia ialah sebagai alat untuk melakukan transformasi ke arah pembebasan dari segala bentuk keterkungkungan yang selama ini membodohkan manusia. Lalu, apa relevansi makna kehadiran sekolah dalam bentangan sejarah manusia dengan bulan Ramadhan yang bertindak sebagai madrasah pembebasan hakiki. Dalam konteks ini Ramadhan dijadikan sebagai madrasah (wahana untuk mendidik manusia) dengan tujuan membebaskan manusia, baik pikiran, perkataan dan tindakannya terhadap segala bentuk perilaku negatif dan pentaklidan kepada selain Allah. Karena sangat terbuka peluang jika dalam pergulatan hidup manusia selama sebelas bulan sebelumnya telah menjadikan manusia berperilaku negatif yang tidak mencerminkan sifat fitrah kemamanusiaan itu sendiri. Tentunya perilaku negatif dan pentaklidan kepada selain Allah tersebut bisa mencederai nilai kemanusiaan dan nilai ketauhidan yang merupakan titik sentral keberislaman seorang muslim. Sejatinya pribadi-pribadi muslim yang ternodai itu perlu dibersihkan kembali dengan cara disekolahkan di madrasah Ramadhan.
Ramadhan sebagai madrasah pembebasan manusia secara hakiki bisa dideskripsikan bahwa ketika ramadhan masuk, maka itu merupakan sebuah pertanda bahwa bel atau lonceng untuk masuk ke dalam kelas madrasah telah dibunyikan sehingga semua umat Islam mesti memasuki kelas dalam madrasah tersebut. Kelas tersebut tidak akan berlangsung selama satu atau dua hari, tetapi kelas tersebut akan berlangsung selama satu bulan penuh. Uniknya lagi karena ruangan kelasnya sangat banyak dan ia terdapat di mana saja sehingga orang bisa memasuki kelas tersebut dari mana saja, apalagi pelajaran yang diajarkan kepada murid madrasah itu bersifat sama tanpa perbedaan sedikitpun.
Dalam kelas tersebut para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan yang berbentuk teoritis berupa ceramah agama atau model pengajian, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga diberi panduan pelatihan yang bersifat praktis berupa keharusan untuk berbagi terhadap sesama dengan cara memberikan sebagian harta (berzakat) kepada sesama umat (fakir miskin) dalam rangka mengasah sensibilitas kemanusiaan yang dimiliki. Di samping itu para murid madrasah Ramadhan juga ditempa untuk mempertajam sensibilitas ke-ilahian mereka sehingga dalam beberapa waktu tertentu mereka diperintah untuk melakukan aktivitas ibadah mahdoh tertentu seperti shalat, melakukan banyak perenungan tentang tanggung jawab dirinya kepada penciptanya lewat mekanisme zikir, sampai pada mengintensifkan i’tikaf menjelang paruh terakhir ramadhan (penutupan kelas).
Disadari atau tidak, ketika Ramadhan tiba, maka pada saat itu pula kita melakukan aktivitas pendidikan batiniah berupa sekolah di madrasah Ramadhan. Sebagaimana lazimnya, dalam setiap sekolah tidak semua peserta didik fokus terhadap mata pelajaran yang disampaikan dalam kelas. Tidak fokusnya seorang murid dalam bersekolah bisa dilatarbelakangi oleh berbagai hal, bisa karena niat yang memang sejak awal sudah melenceng, komitmen yang tidak utuh, sehingga ia hanya berprinsip asal menerima pelajaran dan sekolahnya bisa selesai. Di samping itu, ada juga yang memang hanya terpaksa ikut karena takut mendapatkan konsekuensi tersendiri bila ia tidak masuk sekolah. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan umat Islam yang bersekolah di madrasah Ramadhan, tidak semuanya serius dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, mereka tidak punya pemahaman yang cukup tentang bagaimana semestinya puasa yang hakiki dijalankan sehingga mereka menggunakan logika “asal jadi” dalam menjalankan ibadah puasa. Karena puasa dalam konteks ini hanya dipersepsikan sebagai sebuah ritual-simbolik penggugur kewajiban belaka, sehingga perhatiannya lebih banyak diarahkan kepada tampakan materil dari ibadah tersebut yakni tidak makan dan tidak minum. Kedua, mereka punya pemahaman yang terkategori memadai terhadap puasa di bulan ramadhan, akan tetapi di sisi lain mereka masih minus kesadaran untuk menjalankan puasa sebagaimana ilmu yang dimilikinya tentang puasa, yakni puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun juga puasa memiliki tujuan holistik yang sarat dengan nilai-nilai sosial-humanis yakni untuk merubah paradigma dan perilaku manusia kearah yang lebih positif dan bijaksana. Kondisi seperti ini tetap akan membawa umat Islam kepada situasi yang tidak jauh berbeda dengan bagian pertama di atas, dalam artian si subjek akan bersifat oportunis dalam menjalankan berbagai ibadah yang terkait dengan puasa Ramadhan. Sangat mungkin ia hanya akan memilih ibadah yang dianggap tidak akan merepotkan dirinya, padahal sebenarnya madrasah ramadhan berfungsi sebagai bulan riyadah (latihan) demi membebaskan manusia dari segala bentuk pikiran dan perilaku negatif yang hakikatnya tidak layak membelenggu naluri kemanusiaannya, sehingga seluruh tahap latihan dalam madrasah Ramadhan harus dilalui secara tuntas. Ketiga, mereka yang memang minus ilmu sekaligus tidak memiliki kesadaran yang kuat terhadap puasa ramadhan. Kondisi seperti ini akan menjadikan yang bersangkutan resisten terhadap perintah puasa ramadhan, ia akan selalu mencari ruang guna melepaskan diri dari perintah puasa itu sendiri, hal itu akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Untuk tipe yang ketiga ini, maka kita tidak perlu berharap bahwa ia akan menjalankan bentuk riyadah (latihan) lain yang berkorelasi dengan ibadah puasa Ramadhan, karena ibadah puasa saja yang merupakan payung utama dari ibadah Ramadhan sudah tidak ia laksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam kaitannya dengan puasa ramadhan, Al-Qur’an menegaskan bahwa puasa merupakan “perisai” bagi manusia. Dalam pandangan Muhammad Nashiruddin Al-Bani bahwa perisai berarti penangkal dari segala keburukan dan dosa serta penangkal atau pelindung dari api neraka. Dalam konteks ini Nashiruddin al-Bani memposisikan puasa sebagai media untuk proteksi diri dari segala macam perilaku negatif (dosa sosial) baik yang berdampak langsung kepada diri sendiri dan orang lain, serta sebagai wahana untuk melatih dan mengedukasi diri agar bisa berpikir positif (husnudzon), bertutur kata yang baik (qaulan ma’rufa), berperilaku sopan-santun (akhlaqul karimah), lebih sabar dalam menghadapi ujian hidup, serta agar lebih memahami dan berempati terhadap ujian, penderitaan yang dirasakan orang lain. Dalam sebuah hadis Rasulullah menerangkan bahwa puasa Ramadhan memiliki banyak fadilah yang terkandung di dalamnya, di antaranya adalah pada sepuluh hari pertama merupakan rahmat, sepuluh hari kedua merupakan magfirah dan sepuluh hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka. Spirit pembebasan yang dimaksud pada sepuluh hari terkahir tersebut tidak hanya bermakna pembebasan dari “api neraka” dalam pengertian pada umumnya, yang berkonotasi dibebaskannya seorang hamba dari hukuman siksaan api neraka yang sangat panas itu. Namun pada prinsipnya makna “pembebasan” tidak hanya berkutat pada ruang transenden yang “melangit” saja, akan tetapi lebih dari itu, pembebasan juga mencakup ruang yang bersifat profan yakni berkorelasi dengan eksistensi manusia di bumi dengan segala macam kelebihan dan keterbatasannya.
Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa makna pembebasan tersebut harus diredefinisi dan dipahami dalam ruang empirik kehidupan umat manusia secara umum nan kompleks. Transformasi makna pembebasan ke dalam ruang empirik bisa mengambil berbagai bentuk perumpamaan yang lebih membumi dan diterima akal fikiran manusia.Seperti memaknai pembebasan sebagai usaha untuk melepaskan manusia dari sifat-sifat “kesetanan” seperti kesombongan, keangkuhan, ketamakan, kerakusan, egoisme, hedonisme, permusuhan, kepura-puraan, memuja nafsu seksual dan keangkara-murkaan yang selama ini membelenggu hati dan fikiran umat manusia secara permanen. Pada posisi ini penting kiranya untuk memberlakukan tafsir progresif terhadap makna “pembebasan dari api neraka”, karena makna pembebasan pada hakikatnya hanya mampu diserap secara sempurna oleh manusia apabila tafsir progresif diberlakukan dalam meneropong maksud di balik kata pembebasan itu.
Kata “pembebasan dari api neraka” tidak boleh dipersepsikan “terlalu melangit” dengan mengedepankan pemikiran konservatisme, sebab jika dipersepsi lewat cara pandang seperti itu, maka makna pembebasan hakiki terhadap puasa tidak mampu dicerna dan diinterpretasikan serta dipahami oleh rasio manusia sebagai pelaku puasa itu dalam bentuk praksis, dan pada titik ini makna puasa akan tersandera ke dalam ruang ritualitas belaka yang miskin bahkan tanpa makna. Spirit pembebasan yang dimaksud di sini adalah bukan hanya pembebasan dari hukuman api neraka pada umumnya yang dibayangkan oleh banyak orang. Namun spirit pembebasan bermakna lebih menitik beratkan kepada hasil produk dari berpuasa itu sendiri, seperti selalu menjaga diri dari segala macam bentuk fikiran, perkataan dan perilaku negatif (dosa), menahan diri dari kerakusan, ketamakan, kesombongan, keserakahan nafsu, egoisme, hedonisme. Puasa harus bisa menghindari sifat-sifat negatif tersebut dan harus menumbuhkan dan meningkatkan sifat-sifat positif seperti berempati terhadap penderitaan yang dirasakan orang lain yang termanifestasi dalam wujud kesalehan individual dan kesalehan sosial atau taqwa. Pada dasarnya taqwa merupakan tujuan akhir dari ibadah puasa yang merupakan predikat tertinggi dan hanya mampu diraih oleh orang-orang yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah puasa tersebut.Namun perlu diingat bahwa peluang taqwa sejatinya terbuka lebar bagi siapapun yang ingin mengejarnya.
Kembali kepada fungsi Ramadhan sebagai madrasah pembebasan hakiki. Layaknya sekolah pada umumnya, madrasah Ramadhan juga akan berakhir di penghujung bulan, di penghujung bulan tersebut akan terseleksi dengan sendirinya siapa yang lulus dengan predikat terbaik (taqwa), cukup atau bahkan tidak lulus sama sekali. Bedanya dengan sekolah pada umumnya, pengumuman kelulusan disampaikan oleh sang guru, akan tetapi dalam konteks madrasah Ramadhan yang mengetahui dan memahami kelulusan hanya si pelaku puasa itu sendiri, dengan mencocokkan apakah semua panduan Ramadhan termasuk ibadah wajib dan sunnah yang terkait dengannya telah ia laksanakan secara maksimal atau hanya setengahnya saja. Mereka yang lulus dalam madrasah Ramadhan diharapkan mampu meng upgrade keimanannya menjadi lebih baik lagi, dengan tetap menjaga kesalehan individual maupun sosial selama bulan Ramadhan, terlebih di luar Ramadhan.
Penghujung dari pelaksanaan ibadah puasa adalah kembali kepada fitrah manusia yang hakiki, kembali bersih seperti bayi yang baru keluar dari perut ibunya tanpa dosa. Fitrah manusia merupakan perwujudan asli dari jati manusia itu sendiri yang lurus, tegak adil, penuh cinta kasih dan cenderung memiliki sifat-sifat yang positif luhur nan agung. Sifat-sifat inilah yang kemudian ingin diraih kembali oleh manusia melalui ibadah puasa (madrasah ramadhan) sebulan penuh, karena fitrah atau sifat-sifat dasar tersebut mungkin pernah tercederai selama sebelas bulan sebelumnya di luar Ramadhan. Oleh karena itu perilaku “memaafkan” kepada sesama merupakan fitrah manusia dan sikap mental yang bijak untuk meraih pembebasan hakiki dalam bentuk “kemenangan sejati” di hari yang fitri nanti.
Wallahu a’lamu bisshawab.
Alhamdulillah nutrisi otak yg bergizi dan hati yg cukup bergizi. Salam salaman.