Korupsi dan Hukuman Mati (Law Enforcement untuk Keadilan)

Imron Hadi, SHI., M.HI, Dosen Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Mataram

OLEH: IMRON HADI, S.HI., M.HI.

(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Mataram)

KORUPSI di Indonesia sudah menjadi wabah bencana (penyakit kronis) yang melilit dan mencengkram negara ini, mulai dari pejabat kelas atas (setingkat Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan anggota DPR pusat dan daerah) sampai kepada pegawai biasa kelas teri ikut-ikutan melakukan perbuatan korupsi. Akibat dari korupsi Negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah per tahun.

Pada prinsipnya secara hukum korupsi sudah menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, oleh karenanya dalam pemberantasannya harus menggunakan cara-cara yang luar biasa juga. Secara terminologi bahwa kejahatan luar biasa adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia lainya dan telah disepatakati secara internasional sebagai pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi internasional criminal court dan statute Roma dan mendapatkan hukuman seberat-beratnya termasuk hukuman mati bagi pelaku kejahatan tersebut.

Abraham Samad mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan cara-cara yang luar biasa, tidak hanya cukup dengan melakukan upaya pre-entive dan preventif atau pencegahan biasa, tetapi juga harus menggunakan cara yang ekstra seperti memberikan sangsi hukum yang dapat membuat koruptor jera. Interpretasi makna dari kata “jera” tidak hanya menyangkut aspek sangsi pidana (berupa penjara seumur hidup, denda milyaran rupiah dan upaya pemiskinan para koruptor dengan menyita seluruh asset kekayaan yang diperolehnya dari hasil korupsi melalui pencuaian uang atau money laundry) dan sangsi sosial (berupa pengucilan dari masyarakat atau mempublikasikan para koruptor melalui media masa dan lainnya). Akan tetapi interpretasi makna yang paling substansial dari kata “jera” menurut para pakar hukum adalah memberlakukan pidana hukuman penjara seumur hidup dan/atau “hukuman mati” kepada para koruptor, sebagaimana yang diwacanakan akhir-akhir ini. pemberlakukan pidana hukuman mati dalam konstruksi hazanah hukum positif di Indonesia memang tidak sepopuler pidana umum lainnya di masyarakat, bahkan di kalangan para pemerhati dan praktisi hukum di Indonesia pun masih menganggap hukuman mati merupakan wacana hukum yang “tabu”, debateble dan jarang diperbincangkan. Mengapa demikian, karena hukuman mati dalam konstruksi hukum positif di Indonesia hanya diberlakukan pada kasus-kasus tertentu yang bertalian dengan tindak pidana kejahatan berat, kasus pelanggaran HAM berat, terorisme, narkoba dan lainnya, sementara korupsi masih dianggap kejhatan “ringan” dari kejahatan tersebut karena dianggap tidak ada korban langsung.

Namun jika dilihat dari perspektif historis, jauh sebelum negara ini didirikan, masyarakat Indonesia di beberapa daerah sudah mengenal istilah “hukuman mati”, sebut saja pada masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan “hukum membalas”. Bahwa siapa saja yang membunuh atau mengucurkan darah seseorang, maka juga akan dikucurkan darahnya atau dibunuh, sebagaimana ia telah membunuh orang lain. Di Sulawesi Selatan juga mengenal istilah “hukuman mati”, yakni kepada setiap pemberontak atau penjahat yang tidak mau meniggalkan kampung halamannya harus di usir bila perlu dibunuh, begitu juga di sejumlah daerah lainnya menerapkan hal yang sama. Secara kultural, masyarakat Indonesia sudah mengenal istilah hukuman mati dan hanya diberlakukan pada kasus-kasus tertentu yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, seperti merong-rong kewibawaan kerajaan atau raja yang berkuasa serta pada kasus-kasus tertentu yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Hukuman mati tidak hanya terdapat dalam sistem hukum masyarakat Indonesia terdahulu yang terelaborasi dalam balutan budaya dan adat-istiadat lokal, berupa aturan-aturan adat yang pantang atau “pamali” untuk dilanggar. Akan tetapi dalam sistem kepercayaan atau teologi sejumlah agama tertentu juga mengenal istilah tersebut. Misalnya, dalam konsepsi hukum Islam secara teologis-normatif mengenal istilah hukuman mati yang disebut dengan “qishas”, hal itu yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 178-179, dan juga pada surat al-Maidah ayat: 33 yang berbunyi “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi agama Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan atau kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (kampung halamannya), yang demikian itu sebagai suatu penghinaan bagi di dunia dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar.

Dalam konteks kekinian, pemberlakuan hukuman mati di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam dan wacana publik yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Isu tentang hukuman mati yang menarik perhatian publik belakangan ini adalah ketika Mahkaman Agung (MA) menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap kasasi yang diajukan oleh wawan, pelaku utama pembunuhan Faransisca Yofie di Bandung pada bulan Agustus 2013 lalu. Vonis hukuman mati wawan tersebut lebih berat dari putusan banding pengadilan tinggi Bandung yang menjatuhkan hukuman pejaran selama 20 tahun. Berbagai respon atas vonis MA tersebut datang dari kalangan yang menganggapnya terlalu “berlebihan” karena masih dalam kategori tindak pidana umum atau kriminal biasa. Sebab alasannya tidak ada niat rencana menghabisi nyawa korban, semuanya terjadi di luar rencana pelaku. Tetapi para hakim Mahkamah Agung memiliki pendapat dan pertimbangan hukum berbeda sehingga menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku. Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah hukuman mati hanya dijatuhkan kepada mereka yang terkena tindak pidana kriminal umum atau kepada masyarakat kecil, seperti kasus wawan tadi? Kenapa hukuman mati tidak diberlakukan atau dijatuhkan kepada para koruptor? yang jelas-jelas secara hukum termasuk dalam extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa yang dapat merugikan Negara dan menyengsarakan hidup masyarakat banyak? Pertanyaan tersebut harus mendapatkan kepastian jawaban oleh para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim, atau oleh para ahli hukum lainnya dalam konteks penegakkan hukum (law enforcement) dan penegakan keadilan yang merata (legaljustify).

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, dalam konstruksi hukum positif Indonesia, pemberlakuan hukuman mati terhadap kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) selayaknya harus diberlakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tentunya dengan beberapa pertimbangan dan persyaratan khusus, terutama untuk memberikan rasa kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan hukum (legal justify). Sinyal tersebut dapat dilihat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (2007) yang menolak uji materil terhadap pemberlakuan hukuman mati dan atau memperbolehkan hukuman mati menjadi legitimasi para hakim terhadap beberapa kasus yang tergolong pelanggaran hukum berat atau kejahatan luar biasa. Penolakan uji materi hukuman mati oleh Mahkamah Konstitusi tersebut secara otomatis memberikan pesan bahwa pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tidaklah bertentangan dengan konstitusi dan falsafah atau nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam konteks kasus korupsi yang melibatkan para pejabat Negara, hukuman mati sudah selayaknya diberlakukan secara konsisten karena merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Dalam kaitannya dengan kasus Wawan, Pemberlakuan hukuman mati semestinya tidak hanya pada ranah kasus pidana umum, tetapi seharusnya diberlakukan pada kasus-kasus pidana korupsi, agar efek jera dan rasa keadilan yang menjadi muara akhir penegakan hukum benar-benar dirasakan dan menjadi suatu yang dapat menyadarkan para koruptor lainnya di negeri ini.

Dalam ilmu hukum, pemberlakuan hukuman mati harus dipandang sebagai “vonis” untuk memberikan rasa keadilan, bukan hanya untuk memenuhi tujuan dari pemidanaan saja, sebab jika hanya mengedepankan tujuan pemidanaan, maka kepastian hukum akan terciderai dengan sendirinya dan rasa ketidakadilan akan menggelayuti dan melukai hati serta mendegradasi marwah dewi yustisia yang suci itu. Selama ini hukuman mati belum sampai menyentuh para terpidana kasus korupsi yang jelas-jelas merugikan Negara dan menyengsarakan rakyat secara sistematis. Sebagian koruptor malah ada yang divonis ringan hanya beberapa tahun saja dan bahkan ada yang divonis bebas oleh majelis Hakim. Malah yang lebih ironis lagi adalah banyak para koruptor setelah dipenjara masih bisa leluasa jalan-jalan ke luar negeri, menghadiri kondangan kerabat, atau hanya sekedar bersenang-senang ke diskotik, dan menonton race formula one di luar negeri seperti kasus Gayus Tambunan. Kondisi tersebut membuat para koruptor tidak takut diadili di persidangan tipikor, tidak lagi takut terhadap ultimatum dan “ancaman” para penegak hukum, tidak takut dipenjara dan dimiskinkan serta tidak membuat mereka merasa jera atas hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Karena selama ini mereka beranggapan bahwa setelah dipenjara mereka masih bisa mengakses dunia luar, bebas melakukan apa pun yang diinginkan, mereka masih bisa mengendalikan perusahaannya dari dalam penjara, cukup dengan hanya menyuap para hakim, menyuap para jaksa dan  sipir penjara, toh juga nantinya mereka masih bisa bebas keluar masuk penjara layaknya bukan tahanan. Kondisi ironi tersebut jelas-jelas menciderai, melukai dan mendegradasi marwah dan martabat penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu pemberlakuan hukuman mati di negeri ini dalam hal kasus korupsi, sudah “selayaknya” dilaksanakan dengan konsekwen dan seadil-adilnya, agar dapat memberikan efek jera terhadap para koruptor dan “calon koruptor” lainnya yang berniat sama. Bukankah Negara-negara maju seperti Cina memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor, dan berhasil mengembalikan uang Negara yang dikorupsi untuk digunakan mensejahterakan rakyat. Jika hal itu dilaksanakan di Indonesia maka sedikit tidak akan bisa meminimalisir dan menekan angka korupsi yang dilakukan oleh siapapun, terlebih para pejabat negera seperti menteri, anggota DPR, gubernur dan bupati, walikota serta pegawai rendahan yang jelas-jelas menadapat gaji dan tunjangan penghasilan dari hasil keringat rakyat. Terlepas dari kontroversi maupun pro dan kontra atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, tulisan ini hanya mengingatkan bahwa kejahatan “kerah putih” seperti korupsi sudah menjadi nafas dan darah daging di negeri ini yang sulit diberantas. Oleh karena itu untuk memberantas kejahatan luar biasa harus dilakukan dengan cara yang super luar biasa juga, termasuk dengan memberlakukan hukuman mati terhadap para koruptor.

Wallahu a’lamu bishawab.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *