Kisah Perjuangan Husniati Membangun Homestay dan TK Pariwisata

Lombok Timur – Husniati Lahir di Tetebatu Lombok Timur. Semenjak usia 2 tahun orang tuanya merantau ke Sembalun, tamat SMA Tahun 2005, lalu bekerja menjadi pedagang bunga di Mataram sampai 2010 kembali ke Tetebatu. Di Tetebatu ia keliling berjualan gorengan dari rumah ke rumah menyusuri perkampungan. Waktu berjualan dia melihat banyak rumah-rumah kosong yang ditinggal oleh pemiliknya keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ada yang di Malaysia, Brunei dan Arab Saudi. Dari situ ia berpikir bagaimana kalau rumah kosong tersebut dimanfaatkan menjadi homestay. Lalu Ia berbicara dengan keluarga TKI tersebut untuk memanfaatkan rumah kosong untuk menjadi homestay.

Dengan bekal bisa bicara bahasa Inggris gaul sejak di Sembalun, disana dulu sering ada tamu bule akhirnya sedikit sedikit bisa komunikasi bahasa Inggris. Sejak itulah sambil berjualan gorengan Husniati sering bertemu dengan turis sambil menawarkan kepada mereka untuk tinggal di Homestay.

Dari hasil jualan gorengan setiap hari dia tabung sedikit demi sedikit, setelah setahun ia secara bertahap membangun homestay dari bahan yang sangat sederhana, kayu dan bambu beratap alang-alang.

Belum jadi homestay tersebut sudah ada tamu dari Amerika yang datang. Waktu itu belum ada pintunya dan belum ada toilet tetapi orang Amerika tersebut tetap saja mau bermalam. Dia mandi serta buang air besar di sungai yang ada di belakang rumah. Malah turis tersebut banyak memberi saran kalau membangun homestay jangan menghadap ke jalan tetapi ke belakang jadi orang bisa lihat Gunung Rinjani dan hamparan sawah katanya.

Orang Amerika tersebut tinggal selama satu Minggu, karena pelayanan kita bagus ia memberi uang lebih untuk menambah biaya membuat toilet yang bagus katanya. Sejak itulah akhirnya homestay nya diberi nama “Tetebatu Terrace  Homestay”.

Tamu dari Belgia profesi sebagai guru, dia sangat senang dapat pengalaman melihat Husniati ngajar sendiri sedang hamil tua dan di hadapan 50 orang anak didiknya, tamu dari Belgia tersebut mendonasi 200 euro dan 1,5jt per malam yang seharusnya mereka bayar cuma 200rb saja.

Husniati semakin bersemangat, pada tahun berikutnya kami buat dua kamar di atas dari bahan bambu dan kayu serta toilet yang lebih baik dan Alhamdulillah tamu terutama high season bulan Agustus sampai Desember banyak tamu yang datang.

Setelah beberapa tamu dilihat datang silih berganti oleh masyarakat, sedikit demi sedikit Husniati memberikan pandangan, tidak selamanya budaya barat itu akan kita adopsi justru kalo kita mau mereka akan mengikuti cara kita bersosialisasi seperti ketika ada adzan di masjid kita kasih tahu mereka bahwa jadwal beribadah telah datang, jadi mereka akan mengerti. Mereka juga kita pakaikan kain songket terutama turis wanita untuk menutupi auratnya, dengan begitu mereka malah sangat senang.

Husniati, terus menerus memberi pandangan kepada masyarakat, sedikit demi sedikit beberapa dari masyarakat mengikuti jejak kami dan membuat rumah kosongnya dimanfaatkan menjadi menjadi homestay.

Kemudian, saya tidak berhenti sampai disitu saja, jualan gorengan pun tetap saya lakoni. Sampai suatu ketika saya berangkat jualan, bertemu dengan tamu dari Belanda yang membeli jualan saya, kebetulan sudah tua besar dan brewok. Ketika itu lewatlah seorang ibu dan 3 anaknya pulang dari hutan mencari rumput. Begitu melihat turis, mereka serentak teriak histeris dan menangis ketakutan melihat si tamu. Dari situlah saya berpikir untuk mengedukasi tentang pariwisata itu sejak dini, agar masyarakat bisa menerima keberadaannya kenapa mereka datang dan menyusuri hutan.

Ketika Husniati berjualan gorengan, di sepanjang jalan dia melihat anak-anak di sekitar kampungnya yang ditinggal ibunya bekerja di kebun dan sawah, pergi pagi pulang sore dan anak anak yang orang tuanya bercerai, lalu ditinggal bekerja di luar negeri (TKI). Mereka tidak sekolah, naluri keibuannya timbul, bagaimana  kalau ia mendirikan sekolah TK atau PAUD untuk anak usia 6 tahun ke bawah, serta sebagai tempat para Wisatawan yang pergi Tour ke daerah agak berbahaya untuk anak kecil, sehingga mereka menitipkan Anaknya di sekolah tersebut.

Akhirnya dengan kegigihan dan niatnya yang tulus tersebut didukung oleh masyarakat setempat dengan memanfaatkan tanah kosong lalu ia buat dari bahan bambu atap alang-alang dan lantai tanah akhirnya berdirilah TK Pariwisata Rinjani Tetebatu.

Pada awalnya Husniati koordinasi dengan pihak RT, Kepala Wilayah (Kawil) dan pihak Desa kemudian disambut baik oleh mereka karena jarak tempuh dari Desa kami ke Sekolah Paud terdekat sekitar 2 Km lebih dan jalan belum  beraspal, jadi sangat kesulitan buat masyarakat kami, rintangan nya juga sama ada yang pro dan kontra tapi saya selalu optimis untuk membangun Desa tempat saya dilahirkan.

Pada awalnya dari jam 6 pagi Husniati mulai menjemput anak-anak kerumah mereka masing-masing ada yang belum bangun, ada yang harus saya pakaikan baju, ada yang harus dimandikan, Husniati selalu tetap konsisten melakukannya, setelah 5 bulan berjalan, perubahannya mulai terlihat, anak anak mulai terbiasa pake baju sendiri,pake sepatu sendiri, bicara sopan dan mungkin dari situ para wali murid mau mengantar kan sendiri anak-anak mereka ke Sekolah, setelah 2 tahun berjalan anak didiknya mulai masuk SD dan di SD dilihat perbandingannya anak yang sekolah TK dibanding yang lainnya, ketika dibagi raport semesteran peserta didik dari TK, selalu menduduki peringkat 1 sampai 5 dari situlah ia lebih semangat lagi.

Awalnya selama dua tahun Husniati mengajar sendiri tanpa gaji dan waktu itu lagi hamil tua, semua dijalani dengan Istiqomah dan ketika ada Turis yang menginap selalu mengajak mereka ikut membantu untuk mengajar, karena TK Pariwisata Rinjani Tetebatu berdirinya di daerah tujuan Wisata, berbeda dengan TK pada umumnya, Ia mengajarkan dasar kepariwisataan, seperti ketika ada tamu datang atau menginap, kami ajak 4 atau 5 anak di bawa jalan-jalan ia mencontohkan, sekedar thats coconut, that’s papaya, thats monkey like thats, kadang juga menyapa tamu walau hanya say hello.

Alhamdulillah respon para tamupun 90% sangat mendukung, dari tamu tamu yang pernah bantu saya ngajar ada yang ngirim alat bermain dari Negara mereka masing-masing, seperti dari China, Belanda, Jerman, Belgia, chile, jadi sayapun makin antusias untuk membangun sekolah TK Pariwisata ini dan di sela sela anak anak bermain saya menyempatkan diri untuk sedikit mengedukasi Wali murid yang nungguin anaknya dengan selalu mencoba memanfaatkan rumah kosong atau kamar kosongnya, untuk dijadikan Homestay, serta menyediakan rempah-rempah buat dibeli oleh para tamu dan itu semua direspon positif akhirnya oleh Masyarakat sekitar.

Di waktu yang lain ada Tamu dari Belgia dia adalah seorang guru di negerinya, Ia sangat bersyukur dapat pengalaman melihat saya ngajar sendiri sambil hamil tua di depan murid 50 orang lebih, dia berdonasi 200 euro dan 1,5 jt per malam yang seharusnya mereka bayar cuma 200 ribu per malam.

Sejak itulah Tetebatu Terrace Homestay dan TK Pariwisata Rinjani berkembang dan pada tahun 2018 terjadi gempa bumi 7.2 SR di Lombok, sehingga meratakan TK Pariwisata Rinjani tersebut, lebih dari 8 bulan sekolah tersebut memakai Tenda darurat bantuan gempa, Masyarakat dusun orong gerisak bergotong royong untuk membangunnya kembali, dibantu oleh Turis asal Jepang yang mendonasi dana segar sehingga TK Pariwisata Rinjani berdiri kembali.

Kemudian yang jadi persoalan terakhir  saat membangun Pariwisata ini yaitu sampah plastik, saya pun bingung walaupun saya mengajar hingga tahun kedelapan kayaknya saya cuma berhasil buat anak-anak buang sampah ketika di depan saya saja, tapi dirumah mereka semaunya membuang sampah sembarangan.

Dari situlah timbul ide Husniati untuk memulainya peduli sampah dimulai dari anak-anak dan wali murid, Ia mencobanya dengan menukarkan sampah plastik yang sudah digunting kecil dengan durian dan sembako.  ternyata luar biasa tanggapan mereka sampaikan ke semua medsos saya, akhirnya titik temu tentang sampah saya akhiri di ecobrick kemudian saya pake untuk membangun, mengembangkan TK pelan pelan jika ada yang  bertanya darimana modal untuk menukar ber ton ton sampah dan botol plastik, ia jawab dengan durian, itu semua saya sisihkan dari hasil jualan durian tiap harinya karena kebetulan Husniati adalah seorang pengepul durian yang bisa menjual durian sampai 1000 biji perhari, di kenal dengan durian WhatsApp, makan sepuasnya bayar seikhlasnya.

Saat ini Husniati bisa menikmati perjuangan dan jerih payahnya membangun Pariwisata di kampungnya, Di Samping kepala sekolah TK Pariwisata, banyak usaha yang digelutinya, Homestay, Pengepul buah durian WhatsApp, BRILINK, menyalurkan pemasangan Wi-Fi hampir di semua Wilayah Tetebatu hingga Joben. (Asbar)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *