Mataram – Secara Global tema Hari Bumi 2024: Planet vs. Plastik menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh lingkungan kita akibat penggunaan plastik yang berlebihan. Berdasarkan situs web resmi Hari Bumi 2024, tujuannya adalah untuk mengurangi produksi plastik global hingga 60% pada tahun 2040.
“Mengajak semua orang untuk terlibat dalam perubahan ini dengan memberikan solusi praktis tentang bagaimana kita dapat mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Amri Nuryadin selaku Eksekutif Daerah (ED) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTB.
Amri, menerangkan bahwa sampah plastik sudah mencemari lautan yang tidak hanya mengancam kehidupan laut tetapi juga masuk ke rantai makanan manusia. “Setiap tahun, jutaan ton sampah plastik mencemari lautan kita. Ini tidak hanya mengancam kehidupan laut, tetapi juga menyebabkan berbagai masalah lingkungan, termasuk pencemaran air, kerusakan ekosistem, dan bahkan masuknya plastic kedalam rantai makanan manusia,” terangnya.
Di Indonesia Hari bumi kali ini juga dibarengi dengan dibacakannya putusan MK terkait sengketa Pemilihan Presiden, yang menandai pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh rezim. Masih lekat dalam ingatan kita pembangkangan konstitusi Rezim Jokowi dalam upaya menggolkan Undang-Undang Cipta Kerja bahkan diiringi dengan represi terhadap kelompok penolak Undang-Undang Cipta Kerja. Setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVIII/2020 (Putusan MK 91), Jokowi tetap bergeming dan tetap menyatakan bahwa investasi tidak berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi, dan bahkan mengancam untuk memecat posisi aparatur negara yang tidak mengawal investasi yang akan masuk. Padahal amar putusan poin 7 dalam Putusan MK 91 menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan / kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Barat (Walhi NTB) sebagai organisasi lingkungan hidup tidak hanya menyoroti perihal masalah plastik, Walhi NTB menyoroti masalah lingkungan hidup secara komprehensif,” beber Amri.
Provinsi Nusa Tenggara Barat terletak di bagian timur Indonesia dan terdiri dari 403 pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni ataupun tidak berpenghuni. Tidak hanya pulau kecil, NTB juga memiliki kawasan hutan dengan luasan mencapai 1.071.722 juta hektare. Data hasil investigasi Walhi NTB tercatat laju kerusakan hutan telah mencapai 60% dari luas kawasan hutan yang ada atau sekitar 650,000 Hektar Dari 1,1 juta hektar kawasan hutan NTB.
Amri menyampaikan, hasil investigasi Walhi NTB mencatat beberapa pembangunan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sehingga terjadinya kerusakan ekologi dan kehancuran ekosistem di antaranya : Pertambangan PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha, pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo), pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1.348 Ha.
Secara umum jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 Ha, belum lagi maraknya pertambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa. Adapun sektor Pariwisata di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 Hektar juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani seluas 500 Ha.
“Belum lagi problem pemenuhan hak setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat tentunya harus menjadi titik berat pembangunan dari segala sektor, akan tetapi niat pencanangan net zero emission tahun 2050 oleh pemerintah NTB berbanding terbalik dengan maraknya penggunaan batu bara dalam pemenuhan pasokan listrik di NTB, secara faktual di NTB menggunakan 7 PLTU batu bara sebagai pemenuhan pasokan listrik,” imbuhn Amri.
Walhi NTB mencatat satu PLTU saja dengan kapasitas 3×25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit. Tentunya akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan apabila 7 PLTU berbahan baku batu bara tidak di pensiunkan di NTB.
Selain itu, pada kenyataannya sebagaimana data dan informasi yang banyak dirilis oleh media massa tentang masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan ke delapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia, sebagaimana data yang diperoleh oleh WALHI NTB dari beberapa sumber dan data tahun 2021 yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 % dari jumlah penduduk di NTB atau total penduduk miskin di NTB mencapai 735,30 ribu jiwa.
“Ancaman kerusakan lingkungan baik itu kawasan hutan dan pesisir di NTB akan menjadi bom waktu karena adanya pembangunan berbasis kawasan yang tidak memiliki perspektif lingkungan hidup. Ancaman perusakan lingkungan di kawasan hutan dan pesisir disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar,” ungkap Amri.
Beberapa waktu lalu perihal tata Kelola sampah juga menjadi polemik, terkait Lokasi TPA Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Lombok menjadi polemik di tengah masyarakat karena sudah melebihi kapasitas sehingga mengganggu kenyamanan warga.
Diketahui TPA Kebon Kongok beroperasi sejak 1993 dengan luas sekitar 13 hektar, dengan beban ideal 991.800 meter kubik. Tepat pada 2021 jumlah sampah yang tertampung telah mencapai batas ideal yang telah ditentukan. Meski kelebihan kapasitas sejak 2021, namun TPA ini masih tetap menjadi lokasi pembuangan sampah Kota Mataram, dan Lombok Barat hingga sekarang, yang per harinya mencapai sekitar 300 sampai 400 ton sampah. Belum adanya penggantian TPA yang baru, kini sejumlah sampah meluber ke kali, dan rencana untuk memperluas wilayah TPA ke Desa Taman Ayu mendapatkan penolakan dari warga.
Peningkatan jumlah sampah yang terjadi tidak hanya meninggalkan polemik di TPA namun berdampak serius pada rusaknya ekosistem hingga masuknya plastik pada rantai makanan manusia. Ini ditunjukan dengan adanya hasil investigasi yang menemukan fakta bahwa sungai-sungai di kota mataram tercemar mikro plastik.
Tim investigasi Walhi NTB dan Ecoton menemukan perubahan fungsi sungai menjadi Tempat sampah. Investigasi dilakukan dengan mengambil sampel air pada 5 lokasi di Kali Ning, Kokoq Jangkuk dan Sungai Meninting dan rata-rata sungai tersebut mengandung 290 Partikel Mikro plastic dalam 100 liter air.
Grafik Jumlah dan Jenis Mikroplastik di Perairan Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
Dari Grafik diatas menunjukan bahwa kandungan mikro plastic tertinggi ada di Kali Ning yang ada di dalam kota Mataram, melalui pemukiman padat penduduk yang tidak memiliki sarana pengelolaan sampah dan perilaku warga membuang sampah ke dalam saluran.
Tabel Kontaminasi Mikroplastik di Perairan Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
Polemik ini menegaskan bahwa implementasi dari kebijakan yang ada saat ini sangat lemah, regulasi perihal pengelolaan sampah di NTB tertuang dalam Perda No. 5 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah, namun sejauh ini tidak ada solusi konkrit yang dilakukan pemerintah.
Dari sederet pembangunan yang merupakan project maupun program strategis nasional dan investasi, terutama pada sektor pertambangan dan pariwisata di NTB sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan “berkah” bagi rakyat NTB, justru sebaliknya telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di Nusa Tenggara Barat baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir, artinya sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik Kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah di NTB.
Dalam menyambut Hari Bumi pada 22 April 2024, Walhi NTB dengan tegas menyuarakan beberapa sikap yang sangat penting:
Walhi NTB mendorong Pemerintah NTB untuk memberikan perlindungan terhadap 403 pulau di NTB dari Krisis Iklim, Bencana Ekologis, dan investasi berbasis kawasan. Dan juga walhi NTB menekankan agar pemerintah NTB membatalkan rencana pembangunan di kawasan hutan maupun pesisir yang berpotensi merusak ekologi dan menghancurkan ekosistem, seperti rencana pembangunan kereta gantung, dan lain sebagainya.
Pemerintah NTB untuk segera menghentikan penggunaan batubara sebagai bahan baku pasokan listrik dan mengoptimalkan potensi Energi Baru Terbarukan di NTB. Juga menekankan agar pemerintah NTB segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup di kawasan hutan dan pesisir pulau Lombok dan Sumbawa. Melihat potensi kebencanaan di NTB saat ini, maka pemerintah NTB haruslah serius menangani dan menjamin adanya mitigasi kebencanaan di NTB bagi seluruh korban dan wilayah terdampak.