Oleh:
Saprudin, S.H.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Sipil untuk Keadilan (LBH SILA)
Pemilu serentak yang akan berlangsung tahun 2024 mendatang selalu ramai menjadi perbincangan publik di berbagai media sosial. Salah satu topik perbincangan yang terus mengemuka adalah bagaimana mengawal penyelenggaraan pemilu yang demokratis, jujur dan adil. Publik tentu berharap catatan kelam penyelenggara pemilu-pemilu sebelumnya tidak terulang Kembali pada Pemilu 2024.
Salah satu catatan kelam pemilu sebelumnya yang masih tersimpan dalam memori kolektif publik adalah tingginya pelanggaran yang melibatkan peserta pemilu, ASN serta penyelenggara Pemilu. Bahkan jumlahnya terus mengalami tren peningkatan yang sangat signifikan dengan berbagai modus yang menyertainya. Publik tentu juga berharap Pemilu 2024 dapat berjalan sebagaimana mandat Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 22E Ayat (1), bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap lima tahun sekali. Karena itu Bawaslu sebagai salah satu penyelenggara Pemilu yang diberi mandat melakukan pengawasan memiliki peranan yang menentukan dalam mewujudkan tujuan pemilu sebagaimana mandat UUD 1945 Pasal 22E Ayat (1).
Dalam menjalan fungsi pengawasan penyelenggara Pemilu, Bawaslu menjalankan dua tugas pengawasan secara bersamaan yaitu tugas pencegahan dan penindakan. Pertanyaanya apakah Bawaslu sudah maksimal dalam menjalankan fungsi pencegahan dan penindakan dalam pengawasan pemilu?
Tugas Penindakan
Sebagaimana ketentuan Pasal 93 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, bahwa Bawaslu memiliki tugas melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu. Dalam menjalankan tugas penindakan, Bawaslu telah melakukan penindakan pelanggaran dengan massif, setidaknya dapat dilihat dalam dua kali perhelatan Pemilu pada tahun 2014 dan 2019. Pada 2019 Bawaslu menindak 15.052 pelanggaran pemilu, sementara pada pemilu 2014 Bawaslu melakukan penindakan terhadap 10.754 pelanggaran Pemilu (JPNN.com, Nih, Data Jumlah Pelanggaran Pemilu 2019, Ternyata Naik Pesat, 25 Juni 2019).
Salah satu faktor penting massifnya penindakan pengawasan Pemilu karena semakin besarnya kewenangan Bawaslu pasca diberlakukannya UU nomor 7 tahun 2017. Misalnya dari sisi jumlah pengawas, Bawaslu melalui Panwascam diberi kewenangan untuk membentuk Pengawas TPS sebagaimana tertuang dalam Pasal 106 huruf g UU Nomor 7 tahun 2017, yang dalam regulasi sebelumnya tidak diatur. Selain itu, Bawaslu Kabupaten/Kota juga diberi kewenangan menerima, memeriksa, memediasi atau mengajudikasi, sengketa proses pemilu di masing-masing wilayah penugasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 103 huruf c UU Nomor 7 tahun 2017. Sehingga penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dapat berjalan lebih efektif.
Tugas Pencegahan
Dalam menjalankan tugas pencegahan pelanggaran Pemilu sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 94 ayat (1) huruf c, Pasal 98 Ayat (1) huruf c, dan Pasal 102 Ayat (1) huruf c UU Nomor 7 tahun 2017 yaitu Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota bertugas melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut tentu tidak memungkinkan pencegahan pelanggaran oleh Bawaslu dapat berjalan maksimal dengan hanya berkoordinasi. Misalnya dalam melakukan upaya pencegahan netralitas ASN/pejabat public yang merupakan salah satu titik rawan potensi terjadinya pelanggaran Pemilu, Bawaslu hanya dapat menjalankan fungsi koordinasi dengan instansi terkait. Berdasarkan pengalaman praktek dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, fungsi Koordinasi tidak menjamin pencegahan pelanggaran Pemilu berjalan sesuai harapan publik.
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 94 ayat (1) huruf d, pasal 98 ayat (1) huruf d, dan Pasal 102 Ayat (1) huruf d UU Nomor 7 tahun 2017 bahwa dalam melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kapbupaten/Kota memiliki tugas untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengawasan. Dalam upaya meningkatkan peran aktif masyarakat, Bawaslu menyelenggarakan Sekolah Kader Pengawas Pemilu (SKPP) di 333 daerah kabupaten/kota diseluruh Indonesia dengan melibatkan 22.138 orang, dari berbagai unsur masyarakat pada tahun 2021 (Laporan Kinerja Bawaslu, 2021). Langkah yang dilakukan Bawaslu tentu saja patut diapresiasi. Namun demikian, pencegahan pelanggaran pemilu tidak cukup dengan meningkatkan peran aktif masyarakat sipil, mengingat titik rawan potensi pelanggaran pemilu justeru lebih besar dilakukan oleh peserta pemilu atau ASN.
Sebagai Pembelajaran Menuju Pemilu 2024
Berkaca dari pengalaman praktek penindakan dalam pengawasan pemilu sebelumnya, Bawaslu sudah menjalankan tugas penindakan dengan maksimal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Salah satu alat ukur sederhana yang bisa digunakan untuk melihat hasil kerja Bawaslu dalam menjalankan tugas pengawasan Pemilu adalah jumlah penindakan terhadap pelanggaran Pemilu terus meningkat dalam setiap Pemilu.
Namun disatu sisi, tugas pencegahan pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu masih terdapat kendala dan kelemahan yang tentu saja tidak bisa dijawab sendiri hanya oleh Bawaslu. Karena itu, fungsi pencegahan harus ditingkatkan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, terutama Partai Politik Peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu, ASN, TNI/POLRI, agar berperan aktif mensupport penuh Bawaslu melakukan fungsi pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu dengan kewenangan yang dimiliki dalam institusi/lembaga masing-masing. Pada akhirnya hasil pengalaman praktek pengawasan Pemilu oleh Bawaslu penting dijadikan pembelajaran menuju Pemilu 2024 yang lebih baik; Luber Jurdil.