Mataram – Lembaga Kajian Sosial Politik Mi6 menilai keberadaan berbagai Lembaga Survey sebatas entertain politik semata guna menyemarakkan kontestasi pesta demokrasi, khususnya menjelang gelaran Pilpres maupun Pilkada serentak 2024.
Publik diharapkan tidak mudah hanyut oleh pesona beragam publikasi media yang dilakukan lembaga survei terhadap kandidat atau pasangan calon atas hasil pengambilan random sampling sebab ia bukan mencerminkan perolehan suara di TPS.
Sebagai tools atau alat untuk melihat agregasi tingkat elektabilitas, keberterimaan ataupun popularitas, hasil kajian dan analisis lembaga survei bisa dijadikan pegangan maupun second opinion dalam menilai peta kekuatan politik maupun kecenderungan persepsi publik.
“Hasil kajian lembaga survei tidak boleh dianggap kepastian kemenangan,” kata Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto, SH.
Selanjutnya lelaki yang akrab disapa Didu menambahkan, mengapa kemudian dalam pengambilan sampel responden setiap lembaga survei selalu menyebutkan durasi waktu, metodologi maupun jumlah responden karena hal tersebut menyangkut persepsi responden pada saat dilakukan survei.
“Mangkanya kenapa lembaga survei harus melakukan survei berkali-kali dalam rentang waktu tertentu, hal ini untuk mengukur cerminan, misalnya pergeseran atau migrasi dukungan persepsi terhadap paslon tertentu pada waktu dilakukan survei tersebut,” lanjut Didu.
Lebih lanjut Didu mengatakan keberadaan lembaga survei dalam kontestasi politik hal yang lumrah, tidak perlu diperdebatkan, apalagi menyangkutkan hasil analisis maupun hipotesa karena itu kajiannya empirik akademik yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi.
“Sekarang tergantung publik menyikapi beragam hasil survei, misalnya soal Pilpres, mana figur yang bisa dipercaya atau sekedar pencitraan semata,” tandas Didu
Polling sebagai Antitesa Survei Politik
Sementara itu untuk mengetahui kecenderungan persepsi publik secara merata tapi dengan metodologi pengambilan sampel yang tidak rumit, Mi6 menilai Polling bisa dijadikan alternatif karena lebih praktis, efisien dan lebih legitimate tergantung jumlah responden dan tingkat sebarannya.
“Polling bisa jadi menjadi Antitesa dari Survei Politik karena prosedurnya tidak rumit. Makin banyak responden yang terlibat, makin kuat legitimasinya,” tukas Didu.
Didu mengulas meskipun Polling secara metodologi terlihat sederhana tapi hasilnya dapat dijadikan panduan untuk mengetahui peta dukungan publik. Hal ini tentu tergantung dari materi lembar pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan kalimat langsung.
“Dari perspektif legitimasi, Polling lebih kuat jika jumlah responden berkali-kali lipat dengan tingkat sebaran yang merata di semua strata sosial,” tukas lelaki yang pernah menjadi direktur eksekutif Walhi NTB itu. (*)