OLEH: IMRON HADI, S.HI., M.HI.
Civil Society yang kemudian dikenal di kalangan umat Islam dengan istilah “Masyarakat Madani”, pada awalnya lahir dari sebuah proses dialektika sejarah dan pergumulan peradaban manusia yang panjang. Cicero adalah seorang filsuf Barat berkebangsaan Italia yang pertama kali menggunakan istilah “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Kemudian kata tersebut diderivasi menjadi civil society (Inggris), yang pada awal perkembangannya hanya dipahami sebagai suatu negara (state). Jika dirunut secara historis, istilah civil society sebenarnya berakar dari pemikiran Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga filsuf tersebut memiliki kontribusi pemikiran yang sangat besar dalam upaya memulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan rezim otoritarian kekuasaan monarki-absolut dan ortodoksi gereja yang terjadi di Eropa kala itu. (Larry Diamond, 2003). Di daratan Asia Tenggara, istilah “civil society” yang kemudian ditransformasikan menjadi “Masyarakat Madani” untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim, pada acara Simposium Nasional Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Istilah tersebut kemudian dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid, dengan makna sebagai masyarakat yang merujuk kepada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim tersebut hendak menunjukkan masyarakat yang ideal yakni suatu masyarakat yang memiliki peradaban maju, sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang baik, berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat Madinah juga sering dianggap sebagai legitimasi historis awal pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern saat ini.
Para pakar memiliki definisi yang berbeda tentang Masyarakat Madani, di antaranya adalah, Nurcholis Madjid, menurutnya Masyarakat Madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri-ciri, egalitarian (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah. Sementara itu, menurut Dawam Rahardjo, masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat Madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Menurut Ernest Gellner, Civil Society atau Masyarakat Madani merujuk pada masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara. Sementara Cohen dan Arato mendefinisikan civil society atau Masyarakat Madani sebagai suatu wilayah interaksi sosial di antara wilayah ekonomi, politik dan Negara yang di dalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good). Inti dari pendapat para pakar tersebut menyimpulkan bahwa, masyarakat Madani memiliki makna masyarakat demokratis, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, etika dan moralitas, memiliki peradaban yang tinggi, transparan, toleransi, pluralis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan sosial, mengedepankan emansipasi sosial dan menghormati hak asasi manusia secara utuh.
Keberpihakan Pemerintah
Sebenarnya jika kita melihat secara lebih detail, bahwa Masyarakat Madani seperti yang diutarakan oleh Nurcholis Madjid yang merujuk kepada masyarakat Islam Madinah sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri egaliterian (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah. Sebenarnya bukan merupakan suatu masyarakat ideal yang ada di dunia dongeng, dan bukan masyarakat instan yang hadir begitu saja yang hampa dari proses pertarungan budaya serta ideologi masyarakat Arab kala itu. Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal, bukan pada peniruan bentuk struktur masyarakatnya, akan tapi lebih kepada sifat-sifat yang menghiasi perilaku masyarakat ideal tersebut. Dalam rangka membangun masyarakat Madani dalam konteks negara modern, meneladani Rasulullah bukan hanya melihat penampilan secara fisik belaka, akan tetapi lebih kepada mencontohi sikap dan perilaku yang beliau praktikkan saat bergaul dan berkomunikasi dengan sesama umat Islam atau pun dengan umat lainnya di Madinah kala itu. Seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan atau mendeskriditkan kelompok lain, mendahulukan hak rakyat dari pada hak pribadi, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, memberikan rasa aman dan mensejahterakan rakyatnya.
Masyarakat Madani yang menjadi rujukan masyarakat ideal yang telah dibangun oleh Rasulullah, merupakan hasil dari suatu proses panjang dan melelahkan serta tidak diperoleh begitu saja secara instan tanpa kerja keras. Penanaman nilai-nilai demokrasi dan toleransi antara kaum Anshar dan Muhajirin untuk saling menerima dalam bingkai persaudaraan (brotherhood) dan penjaminan keamanan antara umat Islam dan non-Islam sebagai bentuk pembelaan hak asasi manusia yang dituangkan secara massif dalam “Piagam Madinah” adalah suatu prestasi progressif membanggakan yang pernah ditoreh oleh Rasulullah pada saat itu. Penanaman nilai-nilai demokrasi dalam konsep Masyarakat Madani (Madinah) adalah tidak lepas dari peran kepemimpinan Rasulullah dalam membimbing dan mengayomi masyarakat Madinah kala itu. Keberhasilan dari kepemimpinan tersebut bisa diukur dari kepedulian dan keberpihakan (afirmasi) Rasulullah terhadap rakyat Madinah, terutama dalam memenuhi hak-hak dasar mereka, seperti hak-hak yang menyangkut keberlangsungan hidup, ketersediaan pangan yang cukup, kebebasan berpendapat, toleransi dan lain sebagainya. Hal itu merupakan bentuk nyata keberpihakan atau kebijakan afirmatif seorang pemimpin atau pemerintah terhadap rakyatnya.
Dalam konteks kekinian, upaya mewujudkan masyarakat Madani di alam modern tidak terlepas dari peran kepemimpinan seorang pemimpin (baik itu Presiden, Gubernur atau Bupati atau Walikota) dalam suatu pemerintahan. Pemerintah sebagai instrumen penting dalam suatu Negara dan juga merupakan manifestasi dari rakyat harus bisa menjadi penggerak seluruh perangkat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, membela dan memperjuangkan segala hak-hak dasar mereka untuk mencapai kesejahteraan umum. Menegakkan nilai-nilai demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan, menumbuhkan partisipasi sosial serta mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan tugas utama pemerintah yang ingin mencontohi suasana kehidupan masyarakat madani di Madinah kala itu. Bukan pemerintah yang hanya pandai mengumbar janji, membebani rakyatnya, menegakkan demokrasi dan keadilan hanya untuk mementingkan kelompoknya, memperkaya diri dan kaum kapitalis, mengeruk kekayaan negara untuk mencapai kepentingan politik tertentu, mengabaikan hak asasi manusia, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara rakyat yang menjadi tanggung jawab utamanya menjerit kelaparan, kesulitan bahan makanan, hak-hak mereka diperkosa dan ketidakadilan telah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Perilaku pemerintah seperti itu menggambarkan ketidakberpihakan kepada rakyat, yang ujungnya akan menyengsarakan rakyat dan sangat bertentangan dengan konsep Masyarakat Madani yang ideal itu.
Jika kembali pada pandangan Jhon Lock, bahwa Civil Society atau Masyarakat Madani bertujuan untuk menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan rezim otoritarian kekuasaan monarki-absolut dan ortodoksi gereja kala itu. Artinya kekuasaan yang ingin dibangun adalah suatu kekuasaan egaliter, membebaskan manusia dari tirani kekuasaan otoritarianisme, menggunakan sistem bottom up dalam setiap pengambilan kebijakan serta mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, toleransi dan demokrasi yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat secara umum. Artinya, keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyatnya adalah wujud dari upaya menciptakan suatu tatanan masyarakat yang ideal sebagaimana yang telah dibangun Rasulullah di Madinah. Anwar Ibrahim menghendaki Masyarakat Madani sebagai simbol keberpihakan (afirmasi) pemerintah terhadap rakyat, untuk mencapai masyarakat sejahtera, beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, toleransi dan menghargai hak asasi manusia secara utuh. Oleh karena itu, Masyarakat Madani seperti yang diimpikan banyak orang, tidak hanya terjadi pada masa Rasulullah saja, akan tetapi bisa dicontohi dan ditarik nilai-nilai moralnya untuk diaplikasikan pada konteks saat ini menjadi suatu kenyataan dalam sebuah negara modern.
Posibilitas menjadikan suatu negara atau komunitas menjadi Masyarakat Madani sangatlah mungkin dilakukan pada zaman modern saat ini, tentunya dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam mengelola suatu negara. Dalam memimpin, Rasulullah selalu hidup sederhana, mendengarkan keluhan rakyatnya, tidak makan sebelum rakyatnya makan, tidak membebani mereka, menghormati pendapat orang, menjujung tinggi hak asasi manusia dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Keberhasilan Rasulullah dalam membangun Masyarakat Madani di Madinah yang sangat ideal itu, tentunya tidak lepas dari pola kepemimpinan dan keberpihakan beliau terhadap rakyatnya, karena dalam pandangan Rasulullah bahwa seorang pemimpin atau pemerintah bukanlah sebagai penguasa, akan tetapi sebagai pelayan bagi rakyatnya.
Wallahu a’lamu bissawab.