Di dalam beberapa media online Penjabat (Pj) Bupati Lombok Timur (Lotim), H.M. Juaini Taofik, mengakui kondisi keuangan Kabupaten Lombok Timur sedang tidak sehat. Beberapa indikatornya yaitu jebloknya serapan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2023. Pemerintah daerah Lombok Timur baru berhasil meraup PAD Rp 310 miliar dari target Rp 656 miliar.
Hal ini juga dipertegas dengan adanya beberapa proyek ataupun program yang masih terkendala dalam pembayaran maupun pengerjaannya. Yang lebih parah lagi yaitu dengan belum menerimanya gaji bagi ribuan pegawai honorer. Gaji yang belum terbayarkan bahkan sampai tiga bulan terakhir. Hal itu karena minimnya anggaran untuk belanja pegawai.
Melihat hal itu, aktivis social Yuda dari Yayasan Yatim Care mengatakan bahwa tidak beresnya ataupun sakitnya keuangan daerah merupakan bukti ketidakmampuan daerah dalam hal ini pemimpinnya yaitu PJ Bupati dalam mengelola keuangan daerah.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
Didalam melihat pengelolaan keuangan daerah harus secara utuh dan professional, jangan dilihat setengah setengah maupun terpotong. Jadi jika penjabat bupati di akhir tahun anggaran 2023 mengatakan bahwa keuangan daerah Lombok Timur dalam keadaan sakit itu berarti menunjukkan bahwa ketidak mampuan dan ketidakprofesionalannya dalam mengelola keuangan yang ada. Baik itu dalam hal perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan.
“mereka (Pemerintah daerah) digaji oleh rakyat untuk mengelola keuangan daerah, jika tidak mampu harus tanggung jawab. Jangan mencari-cari alasan yang klasik,” ungkap Yudha Ketua yayasan Yatim Care.
Yudha juga mengungkapkan bahwa di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ini disusun untuk menyempurnakan pengaturan Pengelolaan Keuangan Daerah yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, berdasarkan identifikasi masalah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah yang terjadi dalam pelaksanaannya selama ini. Penyempurnaan pengaturan tersebut juga dilakukan untuk menjaga 3 (tiga) pilar tata Pengelolaan Keuangan Daerah yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif
Ada beberapa norma yang menjadi filosofi dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu : Setiap Pengeluaran Daerah harus memiliki dasar hukum; Setiap tindakan dalam pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; Menghindari kerugian negara; Dalam menyusun APBD selalu memperhatikan amanat peraturan perundang undangan terkait pendapatan dan belanja daerah:
Pertama, Pendapatan pajak daerah yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh persen), dialokasikan untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009);
Kedua, Pendapatan pajak daerah yang bersumber dari Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang (amanat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016);
Ketiga, Menggunakan pendapatan yang bersumber dari pajak rokok yang merupakan bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) realisasi penerimaan pajak rokok untuk pendanaan program jaminan kesehatan nasional (Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018);
Keempat, Menyediakan Anggaran Pendidikan 20% dari total belanja APBD (UU Nomor 20 Tahun 2003);
Kelima, Menyediakan Anggaran Kesehatan 10% dari total belanja (Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan);
Keenam, Menyediakan anggaran diklat ASN sekurang kurangnya 0,36% dari total belanja APBD Provinsi dan 0,16% dari total belanja APBD Kabupaten/Kota;
Ketujuh, Pemerintah kabupaten/kota menganggarkan belanja bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kepada pemerintah desa paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari rencana pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 47 Tahun 2015 jo PP Nomor 43 Tahun 2014); dan
Kedelapan, Pemerintah kabupaten/kota harus menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk pemerintah desa dalam jenis belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota setelah dikurangi DAK (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 47 Tahun 2015 jo PP Nomor 43 Tahun 2014).
Yuda juga menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Lombok Timur dalam hal ini PJ Bupati jangan selalu mencari alasan yang klasik jika tidak mampu mengelola keuangan yang ada. Karena jika keuangan daerah Lombok Timur yang sedikit ini tidak dikelola dengan baik maka yang dirugikan adalah seluruh masyarakat Lombok Timur. Untuk itu lebih baik mengundurkan diri sejak awal jika tidak mampu. (*)