Oleh: Herman Rakha
Peneliti Lombok Research Center (LRC)
Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari setahun ternyata tidak hanya mempengaruhi stabilitas keuangan nasional, namun kejadian pandemi tersebut juga mempengaruhi stabilitas keuangan daerah. Kebijakan realokasi anggaran yang harus dilakukan berimplikasi kepada pengurangan belanja infrastruktur di daerah, sementara kemampuan pendapatan dan belanja daerah menjadi semakin tertekan.
Banyak sektor pajak di daerah mengalami gangguan yang dapat terlihat dari kontribusi sektor ini menurun selama pandemi Covid-19. Selain itu, berbagai pendapatan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat seperti, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Transfer Daerah sampai Dana Bagi Hasil (DBH) juga mengalami penurunan akibat adanya kebijakan pengalihan untuk penanganan Covid-19. Sejumlah program kerja banyak yang mengalami penundaan ataupun dirubah yang disebabkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan yang mengatur pemotongan program pembangunan minimal 50 persen.
Kondisi tersebut saat ini terjadi pada Provinsi NTB dimana, saat ini mengalami defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2021 sebesar Rp 394 Miliar1. Memastikan ketersediaan dan kecukupan fiskal untuk membiayai pelaksanaan pembangunan yang akan jatuh tempo pada tahun 2023 yang termuat dalam Perda NTB No. 12 Tahun 2019 menjadi tantangan bagi pemerintah Provinsi NTB.
Wacana mengenai Pemprov NTB yang akan menutup defisit anggaran melalui skema pinjaman menjadi perhatian berbagai pihak terutama terkait urgensi rencana kebijakan yang akan ditempuh oleh Pemprov NTB. Ada yang memberikan dukungan dengan alasan bahwa melalui pinjaman daerah tersebut akan kembali membuat APBD NTB sehat dan normal kembali2. Namun, ada juga pihak yang mempertanyakan rencana tersebut dengan alasan pada aspek tata kelola keuangan Pemprov NTB yang diidentifikasi masih buruk3.
Sebagai mitra pembangunan pemerintah, Lombok Research Center (LRC) juga merasa perlu untuk memberikan pandangan terkait dengan wacana skema pinjaman daerah untuk menutupi defisit fiskal Provinsi NTB.
KEADAAN FISKAL NTB
Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintah daerah, tanpa tergantung bantuan dari pihak luar, termasuk dari pemerintah pusat (BPK, 2020)4. Dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengumpulkan PAD melalui perluasan objek
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta adanya pemberian diskresi didalam penentuan tarif pajak. Tercapainya kemandirian fiskal akan menjadikan pemerintah daerah memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memajukan wilayahnya. Selain itu, penguatan pendapatan asli daerah juga membuat keuangan daerah lebih stabil apabila keuangan
Kemandirian Fiskal Daerah Tahun 2020 (Gambar 1), terlihat bahwa Indeks Kemandirian Fiskal
(IKF) Provinsi NTB dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2020 memiliki tren yang datar (flat/tidak berubah). Nilai IKF Provinsi NTB pada tahun 2013 mencapai 0,3606 termasuk dalam kategori Menuju Kemandirian. Capaian IKF ini tidak berubah hingga tahun 2020 yang mencapai 0,3509 dan masih tetap dalam kategori Menuju Kemandirian.
Desentralisasi fiskal menuntut daerah menjadi mandiri dalam mengelola keuangannya dan melakukan pembangunan. Kemandirian daerah tersebut salah satunya dapat diukur atau tercermin dari kapasitas fiskal daerah. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kapasitas fiskal daerah?
Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) merupakan kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan dan belanja tertentu. Data terakhir menyebutkan yang diperoleh melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.07/2020 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, Provinsi NTB memiliki Indeks KFD sebesar 0,318 dan termasuk dalam kategori “Rendah” (Gambar 2).
Melihat Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) serta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) Provinsi NTB seperti di atas maka, kejadian pandemi Covid-19 sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi status/kategori kemandirian fiskal maupun kapasitas fiskal Provinsi NTB sejak tahun 2013 bahkan sampai dengan adanya pandemi Covid-19. Untuk itu, diperlukan terobosan-terobosan yang kreatif dan inovatif di dalam tata kelola keuangan daerah terutama memaksimalkan berbagai potensi sumber pendapatan seperti sumber pendapatan yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang sah (kontribusi dividen BUMN) serta menjadikan berbagai aset daerah menjadi profit center bukan sebagai cost center seperti yang selama ini terjadi.
PINJAMAN DAERAH DAN TANTANGANNYA
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi Pemerintah Daerah, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. (Pasal 1 Angka 1 PP Nomor 56 Tahun 2018).
Wacana mengenai rencana Pemprov NTB akan mengajukan pinjaman daerah untuk menutupi kekurangan arus kas daerah sebesar Rp. 75 Miliar kepada PT. Sarana Muliti Infrastruktur (SMI) memang dibenarkan oleh aturan. Namun demikian, dalam melakukan pinjaman Pemerintah Daerah harus dapat memperhitungkan risiko yang mungkin timbul, memperhatikan asas kecermatan dan kehati-hatian serta melakukan pengelolaan pinjaman secara profesional dan akuntabel.
Hal ini tentunya harus menjadi perhatian terutama terhadap tantangan yang harus dihadapi yaitu pengembalian pokok dan bunga dari pinjaman tersebut. Pengembalian pokok pinjaman dan bunga akan menjadikan permasalahan kedepan jika tidak mampu di rencanakan dengan baik. Perencanaan yang baik akan menjadi kunci kesuksesan dalam pengembalian baik pokok pinjaman maupun bunga karena penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD dan Transfer Ke Daerah bisa saja mengalami fluktuasi.
Berdasarkan pada Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.07/2021 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK. 07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan ekonomi Nasional Untuk Pemerintah Daerah terdapat beberapa syarat seperti; (1) biaya pengelolaan pinjaman per tahun sebesar 0, 185% (nol koma satu delapan lima persen) dari jumlah Pinjaman PEN Daerah; dan (2) biaya provisi sebesar 1% (satu persen) dari jumlah Pinjaman PEN Daerah.
Masih dalam Pasal 2 (3) PMK No. 43/PMK. 07/2021 Tingkat suku bunga Pinjaman PEN Daerah diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Untuk dana pinjaman yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2020 dan Perjanjian Pemberian Pinjaman ditandatangani pada tahun 2020, tingkat suku bunga diberikan sebesar 0% (nol persen); dan
- Untuk dana pinjaman yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2021 dan tahun-tahun berikutnya dan Perjanjian Pemberian Pinjaman ditandatangani pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya, tingkat suku bunga ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Karena melihat rencana waktu peminjaman berada pada tahun anggaran 2021 maka, skema suku bunga yang ditetapkan mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan; (1) Pinjaman PEN dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sebesar 5,30% (lima koma tiga nol persen); (2) Pinjaman PEN dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sebesar 5,66% (lima koma enam enam persen); dan (3) Pinjaman PEN dengan jangka waktu 8 (delapan) tahun sebesar 6,19% (enam koma satu sembilan persen).
Bila wacana pinjaman daerah disesuaikan dengan masa kepemimpinan Gubernur NTB maka, skema yang digunakan adalah pinjaman daerah dengan jangka waktu 3 tahun. Dimana kewajiban-kewajiban yang harus dikeluarkan oleh Pemprov NTB yaitu biaya pengelolaan sebesar 0,185% setahun atau sebesar Rp1.387,5 Miliar, kemudian biaya provisi yang dibayar 1 kali sebesar 1% atau Rp7.5 Miliar. Selanjutnya apabila durasi pinjaman selama 3 tahun dengan suku bunga 5,30% maka, untuk pembayaran bunga pinjaman Pemprov NTB harus menganggarkan dana sebesar Rp39.750 Miliar.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, Lombok Research Center (LRC) berpendapat wacana mengenai rencana Pemprov NTB untuk menyehatkan APBD melalui pinjaman kepada PT. SMI telah melalui analisis market discipline, direct administrative control, cooperative control, dan rule – based control.
Untuk itu, diperlukan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) agar menjadi lebih kreatif dan inovatif didalam upayan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga tingkat kemandirian serta kapasitas fiskal daerah menjadi lebih meningkat. Pinjaman daerah akan berfungsi optimal bagi pembangunan daerah bila disertai dengan tata kelola yang baik. Pembangunan sistem yang baik menjadi penting karena tidak hanya bisa menyinergikan orientasi pembangunan, tapi juga konsekuensinya terhadap tujuan peningkatan kesejahteraan
Kebutuhan pembiayaan pembangunan di NTB yang terus meningkat terutama seiring dengan upaya mendukung keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika memang tidak mungkin dapat ditanggung sepenuhnya oleh APBD Provinsi NTB saat ini. Pembiayaan melalui hutang sebagai sumber alternatif untuk kepentingan daerah memang masih dimungkinkan.
Namun, meskipun dimungkinkan sesuai aturan perundang-undangan seharusnya Pemprov NTB juga tidak boleh terlena dengan kemudahan yang difasilitasi oleh pemerintah pusat tersebut, karena masih banyak potensi sumber daya yang ada di NTB belum dimaksimalkan.
Misalnya menjadikan aset daerah sebagai Profit Centre. Banyak pemberitaan mengenai permasalahan aset Pemprov NTB yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pemasukan namun, kondisinya saat ini terbengkalai atau tidak terurus. Salah satu contoh adalah bangunan pusat agrobisnis di Kabupaten Lombok Timur, kemudian Pabrik pengolahan rumput laut menjadi kosmetik di kawasan Science Technology and Industrial Park (STIPark) yang mangkrak atau tak dimanfaatkan, dan masih banyak lagi aset-aset Pemprov NTB yang lainnya.
Apabila keberadaan aset-aset tersebut mampu dimanfaatkan secara produktif maka, akan sangat membantu sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Pengelolaan aset daerah merupakan salah satu kunci dari keberhasilan pengelolaan ekonomi daerah. Untuk itu, LRC berpendapat bahwa sangat penting untuk melakukan pengelolaan aset secara tepat dan berdayaguna dengan didasari prinsip pengelolaan yang efektif dan efisien.