Opini, Seni  

Film Seher: Ketimpangan Kelas dan Perlawanan

Oleh: Musa Malaka (Hanya Seorang Penikmat Film)

Setelah menonton film “The Vengeance of Seher”. Saya ingin memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada teman-teman aktor-aktris dan segenap tim produksi Lenteng Tedes. Film ini berhasil menyedot perhatian publik, terutama masyarakat Sasak. Dalam beberapa hari terakhir, lini masa media sosial dipenuhi perbincangan tentang film Seher. Tentu ada rasa bangga, bahwa karya sineas lokal diterima dengan antusias dan diapresiasi oleh khalayak. Tak tanggung-tanggung, dalam dua hari film ini telah ditonton oleh satu juta orang lebih.  

Sebagai bentuk apresiasi dan dukungan, saya ingin memberikan ulasan atas film ini. Namun perlu disclaimer, bahwa saya bukanlah seorang pengamat film. Sama sekali tidak punya kapasitas untuk hal itu. Saya hanya seorang penikmat film, yang terdorong untuk menulis isu-isu sosial-budaya dan ekonomi yang disajikan dalam film tersebut. 

Saya ingin memulainya dari Burhan; pemeran utama film ini. Burhan adalah representasi anak muda Sasak, yang tinggal di kampung dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah memasuki usia senja di sebuah rumah yang amat sederhana. Kecil dan berdinding bambu (Sasak:bedek). Rumah yang ditempati Burhan dan ibunya itu, seperti kebanyakan rumah orang-orang Sasak tahun 1970-1990-an. Burhan melakoni hidupnya sehari-hari sebagai guru ngaji, menggembala, juga buruh pasar.Kehidupan Burhan merupakan sebuah potret kemiskinan yang dialami banyak Burhan Burhan lain di dunia nyata. 

Bagi sebagian orang, khususnya orang Sasak, kemiskinan adalah takdir. Mereka merasa tak kuasa mengubah nasibnya. Maka satu-satunya cara untuk mensyukuri hidup adalah mereka mencoba ikhlas. Padahal, sebetulnya apa yang dialami Burhan boleh jadi adalah bentuk kemiskinan struktural. Yang disebabkan tidak adanya kesetaraan dalam distribusi pendapatan dan akses terhadap peluang ekonomi. 

Di negeri ini, kendali atas sumber daya ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang. Sementara mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya ada 10 naga di Indonesia, ratusan juta penduduk lainnya hanyalah cacing-cacing kecil yang tak berdaya. Ciri paling nyata dari kemiskinan struktural  itu adalah apa yang dialami ibunya Burhan. Ia terjebak dalam lilitan hutang. Ia adalah gambaran ibuibu kampung yang terjebak dalam tekanan rentenir yang kejam.

  

Persoalan ekonomi membuat Burhan gagal memperjuangkan cintanya. Ia ditolak dan dihina oleh calon mertuanya lantaran miskin. Calon mertuanya memilih laki-laki lain untuk anaknya. Lelaki itu adalah Karyadi, pemuda yang tergolong anak orang kaya di kampung itu. Bapaknya bos tambak udang. Tentu ia mewarisi kekayaan yang dimiliki ayahnya. 

Lombok Timur, termasuk Sambelia merupakan kawasan bisnis tambak udang. Nilai investasi bisnis tambak udang mencapai triliunan rupiah. Nilai investasi lahan tambak udang per hektar mencapai dua miliar. 

Dari kenyataan itu, Burhan dan Karyadi mewakili dua kelas sosial yang berbeda. Burhan adalah kelas proletar (dengan miskin); kaum buruh. Sementara Karyadi mewakili kelas Borjuis (dengan sugih); kaum pemilik modal dan alat produksi. Ada kesenjangan ekonomi yang jauh antara mereka berdua. Kesenjangan ekonomi ini turut berdampak pada persoalan asmara. Burhan harus menanggung rasa frustasi dan sakit hati.  Sebab Salbiah dijodohkan dengan Karyadi. 

Salbiah sebetulnya mencintai Burhan. Namun ia tak kuasa melawan kehendak ibunya. Dia harus patuh dan menerima lelaki kaya pilihan ibunya. Kondisi Salbiah ini barangkali masih banyak menimpa perempuan Sasak. Mereka tak berdaulat untuk memperjuangkan cintanya, karena dijodohkan oleh orangtua. Namun, perlahan Salbiah mulai terbiasa jalan dengan Karyadi. Meski awalnya dia merasa terpaksa. Suatu waktu, ketika Burhan dan Sapoan mengangkut barang ke suatu tempat, tak sengaja Burhan melihat Salbiah dan Karyadi sedang berkencan. Sontak, hati Burhan luruh, dan amat sangat kecewa.

***

Di tengah kekalutan yang dihadapi, Burhan punya kawan setia, yakni Sapoan. Di dalam hidup, kita kadang memiliki satu teman yang paling akrab. Dia bisa menjadi teman curhat, tempat menumpahkan segala keluh kesah, dan bisa diandalkan dalam situasi apapun. Itulah Sapoan di dalam film Seher. 

Sapoan adalah tipikal teman setia di dalam terang dan gelapnya kehidupan Burhan. Saking pedulinya, Sapoan mengajak Burhan mencari dukun, agar calon mertuanya Burhan mau menerima dan merestui hubungan asmara Burhan dengan Salbiah. Namun upaya Sapoan dan Burhan tidak membuahkan hasil. Burhan menjadi semakin frustrasi. Hingga pada akhirnya, Sapoan mengajak Burhan mencari dukun santet, agar membuat Salbiah gila, dalam istilah Sasak disebut “Kebanggruan”. 

Salbiah pun tiba-tiba “gila” akibat jampi-jampi belian Santet. Ia menolak kehadiran orang tua Karyadi ketika berkunjung ke rumahnya. Persoalan semakin runyam. Namun, Karyadi tak kekurangan akal, ia mencari ustaz untuk mengobati Salbiah. Saya sangat menikmati adegan horor ustaz versus Salbiah. Dialog Ustaz dan Salbiah ini juga menggambarkan fenomena sihir di dalam beberapa ayat Alqur’an. Vibes horor benar benar terasa dalam adegan ketika Salbiah memakai mukena berhadapan dengan Ustaz yang memegang tasbih. Salut buat Ustaz Jamhari, yang telah muncul dalam salah satu scene paling penting yang membuat citra film semakin terasa horornya. Ustaz Jamhari layak dilibatkan jika ada film film selanjutnya. 

Namun tak cukup sampai di situ, di puncak rasa frustasi yang dihadapinya, Burhan ingin Salbiah mati. Agar rasa sakit hatinya hilang. Pun Karyadi tak bisa mempersuntingnya. Bahasa Sasaknya “pade pade lacur”. Tapi dukun itu, tak sanggup menyantet mati Salbiah. Dia malah menyarankan Burhan mencari penyihir handal, namanya inaq Unasih. Di sinilah plot twistnya, mengejutkan! ternyata penyihir ulung itu adalah ibu Burhan sendiri. 

Ibunya Burhan terpaksa kembali turun gunung, demi membalas sakit hati anaknya. Dia sendiri yang melakukan santet pada Salbiah. Di awal film, ibunya Burhan sangat kalem, lugu, dan sangat sederhana. Namun di akhir film, penonton terkejut sambil berkata: “dikira cupu, ternyata suhu”. Salbiah pun mati akibat santet yang dilakukan ibunya Burhan. 

Sihir di dalam kultur masyarakat Nusantara, masih dipercayai oleh sebagian kalangan. Bahkan, di lombok masih ada sekelompok masyarakat yang mempercayai dan merawat sihir. Secara akademik, fenomena sihir telah diteliti oleh beberapa antropolog seperti Pritchard, John, dan Jean Comaroff, mereka meneliti suku suku asli di Afrika yang memiliki keahlian dalam bidang sihir-menyihir.  

Dalam konteks Indonesia, Nils Bubandt dalam karyanya “The Empty Seashell: Witchcraft and Doubt on an Indonesian Island” menulis tentang kepercayaan sihir yang subur di sebuah desa di pesisir Halmahera.  Bubandt menyatakan, sihir di Halmahera merupakan fenomena yang aporetik lantaran ia tidak dapat dijamah namun ada. Sihir bisa melukai manusia, namun di satu sisi menjadi satu-satunya obat dari malapetaka. Sihir juga memiliki sifat merusak, namun secara ontologis sangat penting dalam kreasionisme dan kosmologi masyarakat Indonesia. 

Seher bagi Burhan dan Ibunya adalah “weapon of the weak”; senjata bagi orang-orang lemah, yang kalah secara ekonomi dan status  sosial.  Seher adalah perlawanan terakhir bagi dominasi cara pandang kapitalisme materialisme yang telah merenggut cintanya Burhan. 

Setelah semua berakhir, Burhan pun berangkat pergi merantau. Kemiskinan tak pernah memberi rasa adil. Burhan telah kehilangan cinta, ia juga tak punya harta benda. Itulah yang membuat ia harus merantau menjadi pekerja buruh migran. 

Apa yang terjadi pada Burhan adalah gambaran kondisi anak muda Lombok Timur. Lombok Timur termasuk pengirim PMI terbanyak nomor dua di Indonesia di bawah Indramayu. Cukup banyak Burhan-Burhan di dunia nyata yang merantau mengadu nasibnya  ke Malaysia. Brunei,  Singapura, Jepang, Arab Saudi  Taiwan  dan lain-lain. 

Hai pembaca, kamu sedang sakit hati?

Kamu, mau cari Seher ke rumah inaq Unasih? 😀

Selamat dan Sukses, film Seher!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *