IMRON HADI, S.H.I, M.H.I.
(DosenTetap Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah UIN Mataram)
IBNU BATUTAH seorang pengembara muslim dari Maroko ketika singgah di kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 M., mengagumi perkembangan Islam dan rajanya Malik Al-Zahir pada saat itu. Selain sebagai raja, Malik Al-Zahir juga seorang fuqaha yang mahir dalam hukum Islam. Menurut Hamka mazhab yang dianut kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu adalah mazhab Syafi’i dan dari kerajaan Pasai lah awal mula disebarkan faham atau mazhab Syafi’i ke seluruh kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri pada tahun 1400-1500 M., para ahli hukum Islam Malaka sering datang ke Samudera Pasai untuk meminta keputusan hukum (fatwa) mengenai berbagai permasalahan hukum yang mereka hadapi dalam masyarakat. Kemudian proses Islamisasi di kepulauan Indonesia (nusantara) dilakukan oleh para saudagar muslim dari Gujarat (Arab) melalui perdagangan dan perkawinan yang berlangsung lama hingga turun temurun dalam satu tradisi Islam. Setelah agama Islam berakar dan berkembanga dalam masyarakat Nusantara, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Para ulama melakukan islamisasi dengan media dakwah dari daerah satu ke daerah lainnya secara sistematis. Dakwah menjadi salah satu media penyebaran dan pengawalan hukum Islam di Nusantara yang terbukti efektif kala itu. Selain melalui dakwah, proses islamisasi juga dilakukan dengan penyebaran kitab-kitab hukum Islam (fiqh) di beberapa wilayah di Nusantara sebagai panduan dalam penyelesaian permasalahan hukum di masyarakat. Sebagai contoh adalah Nuruddin Ar-Raniri (hidup di abad 17 M) menulis kitab hukum Islam berjudul “Sirathal Mustaqim” pada tahun 1628. Menurut Hamka, kitab hukum Islam yang ditulis Ar-Raniri tersebut merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara. Kemudian oleh Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari seorang mufti asal Banjarmasin, kitab “Sirathal Mustaqim” tersebut diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan sebagai pegangan dalam penyelesaian sengketa antara ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Perkembangan hukum Islam tidak hanya terjadi di wilayah Sumatera saja, namun juga diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di kerajaan Demak, Jepara, Tuban , Gresik, Ngampel dan Mataram.
Dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Nusantara (Indonesia), hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang berdampingan dengan adat kebiasaan dan tradisi penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara. Menurut Soebadri (1976) terdapat beberapa bukti yang menunjukan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh tersebut merupakan penetration pasifique, tolerante et contructive (penetrasi secara damai, toleran dan membangun).
Kemudian pada tahun 1596, organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten Jawa Barat. Tujuan semula adalah untuk berdagang, namun kemudian haluannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia dengan memberlakukan dua fungsi yakni sebagai fungsi dagang dan sebagai badan pemerintahan. Menurut Supomo (1955), untuk menjalankan kedua fungsinya itu, VOC menggunakan hukum Belanda di daerah yang dikuasainya dengan membentuk badan-badan peradilan namun dalam prakteknya susunan badan peradilan tersebut yang disandarkan pada hukum Belanda tidak dapat berjalan, dan membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti semula tanpa ada penghapusan. Misalnya di Jakarta (Batavia) dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk semua bangsa itu tidak dapat dilaksanakan, VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus menggunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah VOC meminta D.W. Freijer untuk menyusun satu compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki oleh para ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC pada tahun 1760 dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Tidak hanya Compendium Freijer yang dibuat di zaman VOC, terdapat banyak kitab di antaranya adalah kitab hukum Mugharer untuk pengadilan Negeri Semarang, Pakem Cirebon yang berisi tentang kumpulan “hukum jawa yang tua-tua” dan peraturan yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas prakarsa B.J.D. Clootwijk. Posisi hukum Islam di zaman VOC selama kurang lebih dua abad lamanya dari tahun 1602-1800, berlangsung secara dinamis tanpa terlalu banyak penekanan kala itu. Kemudian pada waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintah Belanda menguasai kepulauan Indonesia. Sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilakukan secara pelan-pelan dan sistematis. Di zaman Daendels (1808-1811) yang merupakan Gubernur Hindia Belanda pertama, perubahan itu masih belum dimulai. Di masa itu pendapat umum mengatakan hukum Islam merupakan hukum asli orang pribumi, karena pendapat yang demikian Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal hukum orang jawa tidak boleh diganggu, juga hak-hak penghulu mereka untuk memutus perkara perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh pemerintah Belanda. Kemudian pada waktu Inggris menguasai Indonesia pada tahun 1811-1816, keadaan juga tidak berubah. Menurut Supomo (1955) Thomas Rafles Gubernur Jenderal Inggris pada waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku di kalangan rakyat atau masyarakat pribumi adalah hukum Islam. Rafles menyatakan The Koran is forms the general law of Java (Qur’an merupakan hukum yang dipraktikan di masyarakat jawa atau Nusantara). Artinya pemerintah kolonial Inggris juga tidak terlalu menekan dan mengintervensi keberadaan hukum Islam kala itu bahkan membiarkannya hidup. Setelah Indonesia dikembalikan kepada Belanda berdasarkan konvensi yang ditandatangani di London pada tanggal 13 Agustus 1814. Pemerintah kolonial Belanda membuat suatu undang-undang tentang kebijakan pemerintah, susunan peradilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di Asia. Undang-undang tersebut mengakibatkan perubahan di hampir semua bidang kehidupan termasuk di bidang hukum yang akan merugikan perkembangan hukum Islam pada masa-masa berikutnya. Menurut H.J Benda (1958), pada abad ke 19, banyak orang belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat menghilangkan pengaruh Islam di Indonesia. Selain itu juga untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah Belanda mulai melaksanakan apa yang disebut dengan “politik hukum yang sadar” terhadap masyarakat Indonesia. Adapun dimaksud politik hukum yang sadar adalah politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum Indonesia dengan hukum Belanda. Politik tersebut didorong oleh keinginan untuk melaksanakan di Indonesia kodifikasi hukum yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1838, berdasarkan anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia (termasuk hukum Islam). Untuk melaksanakan tujuan tersebut pemerintah Belanda membentuk satu komisi yang diketuai oleh Mr. Schotlent Van Out Harlem yang bertugas antara lain untuk melakukan penyesuaian undang-undang Belanda dengan kondisi masyarakat pribumi saat itu. Mengenai kedudukan hukum Islam Mr. Schotlent Van Out Harlem menulis sebuah nota kepada pemerintah Belanda yang berbunyi “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, atau mungkin juga perlawanan jika terjadi pelanggaran terhadap orang pribumi dan agama Islam, maka harus diupayakan sedapat mungkin agar mereka dapat tinggal tetap di lingkungan (hukum) serta adat-istiadat mereka.” Mungkin pendapat Schotlen inilah yang menyebabkan pasal 75 RR. atau Regering Reglement (peraturan yang menjadi dasar pemerintah Belanda menjalankan kekuasaanya di Indonesia, staatsblad 1855:2) menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan mereka, sejauh tidak bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Menurut Sajuti Thalib (1980) di samping pasal 75 RR. dan pendapat umum yang menyatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi mereka yang beragama Islam di Nusantara, juga terilhami oleh pendapat Schotlen Van Harlem yang mendorong pemerintah Hindia Belanda mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (1882), karena dalam pasal 78 ayat 2 RR. Ditegaskan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang pribumi atau dengan mereka yang disama dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim Agama atau kepada masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara tersebut menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka yang berlaku. Gambaran tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan dari para pakar hukum Belanda terhadap eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sudah ada sejak masuknya Islam ke Nusantara.
Menurut Prof. Daut Ali (1982) pengakuan tentang keberadaan, hidup dan berkembangnya hukum Islam di Indonesia juga dilontarkan oleh Salomon Keyzer (1823-1868) yang merupakan seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia Belanda yang banyak menulis tentang (hukum) Islam di Jawa, ia mengatakan bahwa dikalangan para ahli hukum dan kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. Kemudian pada era berikutya pandangan Salomon Kayzer itu dikuatkan oleh ahli hukum Belanda Loderwijk Willem Cristian Van den Berg (1845-1927). Menurutnya Hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk hukum Islam, maka hukum Islam lah yang berlaku baginya. Karena pendapat dan karyanya itu, LWC Van den Berg disebut sebagai orang yang menemukan dan memperkenalkan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Menurutnya orang Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan. Pendapat itu kemudian melahirkan teori “reseptio in Complexu”. Teori tersebut berbunyi, yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak hanya bagian-bagian hukum Islam, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan yang utuh. Artinya bagi ummat Islam pribumi baginya berlaku hukum Islam secara utuh walaupun dalam pengamalannya masih terdapat kekurangan. Namun pendapat atau teori “reseptio in complexu” Van den Berg tersebut ditentang oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936), Menurut penasehat pemerintah Hindia Belanda tersebut urusan Islam dan Bumi Putera bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap orang-orang Aceh dan Gayo sebagaimana termuat dalam bukunya De Atjhers menyatakan yang berlaku bagi ummat Islam di kedua daerah tersebut bukanlah hukum Islam melainkan hukum Adat. Pendapat ini kemudian melahirkan teori “resepsi”. Teori “resepsi” tersebut mendapat tantangan dari para tokoh pemikir Islam di Indonesia. Menurut mereka teori yang dilontarkan oleh Snouck Hurgronje tersebut mempunyai maksud politik untuk menghapuskan hukum Islam di Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonial Belanda.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika setelah Indonesia merdeka banyak kritikan yang dialamatkan pada teori “resepsi” tersebut dan para tokohnya seperti Betrand ter Har. Lebih keras lagi Hazairin (1905-1975) tokoh hukum adat dan hukum Islam menyatakan bahwa teori resepsi tersebut merupakan teori “Ibslis” yang diciptakan oleh Belanda untuk memusnahkan hukum Islam di Indonesia. Dari pernyataan Hazairin tersebut muncullah teori “resepsi in contrario” yang menentang habis teori “resepsi” tersebut. Pengakuan terhadap keberadaan hukum Islam di Indonesia semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu dan diusirnya Belanda dari Indonesia yang ditandai dengan kemerdekaan Indonesia. Pengaruh hukum Islam paska kemerdekaan semakin strategis dikarenakan aspek rasionalitas dan spirit kemajuan yang terkandung di dalamnya, termasuk juga pengaruhnya terhadap proses awal pembentukan dan pembinaan hukum Nasional Indonesia.
Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional
Hukum Islam (syari’at Islam) adalah hukum yang bersifat universal dan berlaku bagi ummat Islam dimanapun berada. Sementara hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu. Dalam konteks Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia sebagai pengganti hukum Belanda. Untuk mewujudkan suatu tatanan hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama, memang tidaklah mudah. Pembangunan hukum nasional haruslah berlaku untuk semua tanpa melihat suku, golongan dan agama. Agama Islam misalnya mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di Negara yang mayoritas beragama Islam, unsur hukum agama memang harus benar-benar diperhatikan secara massif.
Menurut Prof. Daut Ali, Mengenai pengaruh dan peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, baru terlihat jelas dalam pidato pengarahan Menteri Kehakiman Ali Said (1981) kala itu, menurut beliau, disamping hukum adat dan hukum eks-Barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum Nasional. Lebih lanjut menurutnya bahwa tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sebagian besar rakyat Indonesia terdiri dari ummat Islam dan secara substansi terdiri dari dua bidang yakni bidang ibadah dan muamalah. Pengaturan hukum yang berkorelasi dengan ibadah bersifat rinci, sementara yang berkorelasi dengan muamalah bersifat tidak rinci hanya prinsip-prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara Negara. Oleh karena itu hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial ummat Islam dan mempengaruhi segala aspek kehidupannya. Maka jalan terbaik yang harus ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional sepanjang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dari pernyataan Menteri Kehakiman tersebut dan merujuk pada realitas sejarah Indonesia, terlihat jelas bahwa kontribusi hukum Islam dalam proses pembentukan hukum nasional sangat besar dan menjadi salah satu sumber hukum setelah hukum adat dan eks-hukum barat. Karena nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam hukum Islam bersifat universal, humanis dan menjangkau aspek-aspek sosial lainnya. Adanya pandangan tentang ketidaksesuaian hukum Islam diterapkan di Indonesia merupakan wacana “usang” karena tidak melihat sejarah secara komprehensif dan hanya memandang hukum Islam dalam kacamata sempit dan rigid, seolah-olah hukum Islam berorientasi kepada kekerasan, tidak demokratis, tidak humanis dan melanggar Hak Asasi Manusia. Padahal Islam menentang segala bentuk kekerasan dan mengajarkan pemeluknya untuk bersifat lemah lembut dan menebar kasih sayang kepada seluruh ummat manusia. Islam juga agama demokratis yang mengarahkan suatu pemerintahan yang bertumpu kepada musyawarah dan mengedepankan kepentingan rakyat. Islam juga menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia jauh sebelum Amerika mendeklarasikan Declaration of Human right. Oleh karena itu dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam dari sejak awal kemunculan dan perkembangannya memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi kemerdekaan dan perkembangan bangsa Indonesia serta juga memiliki peranan yang sangat strategis dalam membentuk dan membina hukum Nasional Indonesia. Wallahu a’lamu bissawab.