Budaya  

Belanjakan Memiliki Pesan Damai, PEPADU Memiliki Jiwa Kesatria dan Rendah Hati

Lombok Timur – Belanjakan adalah salah satu olahraga tradisional seni bela diri Masyarakat Sasak di Masbagik. Istilah dari Belanjakan itu sendiri diambil dari kata (Lanjak) yang berarti menendang, namun masyarakat sasak sering menyebutnya dengan (Belanjakan) yang berarti saling menendang.

Belanjakan adalah seni bela diri khas masyarakat Masbagik di Kabupaten Lombok Timur. Belanjakan memadukan bela diri gulat, yudo dan pencak silat juga kempo.

Belanjakan merupakan Olahraga tradisional dengan mengadu kekuatan fisik antara dua orang laki-laki yang menggunakan   teknik   tendangan, bantingan dan tepisan juga Kuncian.

Pada zaman dahulu diadakan untuk mengisi waktu setelah panen. Seringkali dilakukan pada malam hari, dengan penerangan lampu dari obor. Belanjakan adalah adu fisik antara dua orang laki-laki yang menggunakan teknik tendangan,   bantingan dan tepisan.

Untuk Belanjakan, pemain dilengkapi dengan pakaian yang disebut ‘bekancut’.diiringi Gamelan khas Lombok, menjadi iringan musik pembuka. Dua ciri khas Belanjakan, yang kemudian menjadi tradisi yang telah berumur ratusan tahun.

Para lelaki dewasa yang siap Belanjakan, berkumpul di lapangan. Siap untuk menguji nyali mereka. Ketangguhan mereka, menjadi simbol kejantanan kaum lelaki di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Di samping sebagai cara merayakan panen besar, Belanjakan juga dilakukan saat para prajurit meluapkan kegembiraannya setelah bertempur di medan perang. Di musim kemarau, masyarakat kecamatan Masbagik juga melakukan Belanjakan, meminta hujan pada bulan tujuh kalender Sasak. Namun, seiring berjalannya waktu, Belanjakan menjadi pertunjukan yang hadir untuk mengisi perayaan kesenian dan kebudayaan di wilayah Lombok.

Pertunjukan seni ini sarat dengan unsur kekerasan. Dua lelaki (yang disebut ‘pepadu’) dipimpin ‘pengembar sedi’ (wasit di bagian pinggir lapangan) dan ‘pengembar tengaq’ (wasit di bagian tengah). Belanjakan dilakukan dengan cara yang adil dan jujur.

Pertarungan dilakukan dalam 5 ronde dengan durasi 3 menit di tiap ronde. Pertarungan ‘full body contact’ ini menawarkan aksi yang mendebarkan, sekakigus menghibur, Tendangan kaki dan cara berkelahi yang tersaji mampu membuat jantung semua orang yang menyaksikan berdegup kencang. Tendangan yang dihasilkan bisa membuat ‘pepadu’ mengalami luka di bagian muka. Bahkan bisa membuat bibir berdarah. Jika sudah begitu, ‘belanjakan’ akan dihentikan dan diganti dengan ‘pepadu’ lainnya.

‘Pengembar sedi’ memiliki tugas memilih penonton yang akan melakukan ‘Belanjakan’. Penonton yang dipilih dari pinggir lapangan bisa menolak ataupun bersedia. Jika sudah ada dua ‘pepadu’ yang dipilih, wasit akan meniup pluit, pertanda pertarungan siap dimulai.

Sebelum bertanding, dua petarung mengenakan kain khas Lombok yang diikatkan di kepala(sapuq) dan di pinggang. Dengan arahan ‘pengembar sedi’, mereka diberikan instruksi dan doa untuk melancarkan 5 ronde pertarungan. Bebunyian musik yang terdiri dari dua buah gendang, satu buah petuk, rencek, gong, dan suling mengiringi pepadu saat melakukan belanjakan. Tendangan, tangkisan, dan kuncian saat ‘Belanjakan’, menjadi tontonan yang sangat menghibur sekaligus mengerikan.

Namun, di balik unsur kekerasan yang ditampilkan, ‘Belanjakan’ memiliki pesan damai. Setiap ‘pepadu’ dituntut memiliki jiwa yang berani, rendah hati, dan tidak dendam. Selesai bertarung, para ‘pepadu’ akan saling berpelukan. Simbol semangat sportif, bahwa pertarungan yang dilakukan adalah salah satu seni permainan tradisional. Tradisi leluhur yang kaya nilai filosofis.”Bersambung”(Asbar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *