Matahari tengah terik-teriknya hari itu. Sabtu, 10 April 2021. Sekitar pukul 11:30. Beberapa anggota tim massmedia berangkat menuju lokasi penyeberangan di Gili Lampu. Rencana menginap di Gili Kondo. Tiga belas orang berangkat menggunakan mobil bak terbuka miliknya Kang Asep, salah satu wartawan Massmedia. Kebetulan Kang Asep tidak sempat ikut karena ada tugas mulia yang tengah diurus. Hanya menitip mobilnya, yang kemudian dikemudi si gondrong, Mirzoan Ilhamdi atau lebih akrab disapa Ming.
Helmy, salah satu tim berangkat lebih awal bersama rekan spearfishing. “Aku kayaknya berangkat jam 7 pagi besok. Usahakan berangkat sebelum jam satu siang biar ombak tidak terlalu besar” ungkapnya pada Jum’at malam saat rapat persiapan. Ages menunggu di persimpangan jalan setelah mengikuti rapat di Kantor Desa. Mba Atik mendadak tidak bisa ikut. Kesel deh aku ” Waduh Bu’ Bendahara tidak jadi ikut” umpatku dalam hati. Namun semua pendanaan sudah dilimpahkan ke Ming. “Alhamdulillah” ucapku syukur sembari mengangkat kedua telapak tangan.
Mobil kami meluncur ke arah timur setelah keluar dari gang rumah Bu’ Komisaris. Mampir di toko Kang Asep untuk meminjam cok roll. Setelah menaruh cok roll di mobil, tangan Kang Asep lantas bergeser ke buah nanas yang rencana kami bawa ke Gili. Diembatlah sebuah. Entah, langsung dimakan atau disimpan atau dikasi ke orang spesialnya. Aku tidak tahu. Mobil kami berbalik arah dan meluncur dengan laju membawa rombongan ke arah timur di bawah terik sinar matahari yang terus saja menghantam. Syukurnya hembusan angin sedikit membantu mengademkan dari terik sinar matahari yang dari tadi terus mengintai dan menghantam tubuh kami.
Mobil dilajukan terus sama Ming. Entah gigi berapa yang dipakai. Yang jelas, banyak mobil dengan kecepatan tinggi dikejarnya, apalagi yang larinya seperti siput. Dalam perjalanan, kami terus saja dibuatnya zikiran ketika melintas di jalan yang bertikung-tikung. Goyang kanan- goyang kiri dan kadang dihentak tatkala roda mobil melindas jalan yang berlubang.
“Pelan-pelan Pak Ming” ujar salah seorang penumpang di belakang. Tak diindahkan. Mobil pun tak mau nurunin gas, bahkan melaju semakin kencang. Masuklah kami ke pertamina untuk mengisi bensin.” itu sudah pelan tadi” jawab Ming di lokasi pom bensin Aikmel sambil melempar senyum pada kami, penumpangnya.
Mobil kembali melaju. Melewati lalu lalang para pengendara yang tengah sibuk di jalan raya. Di pinggiran jalan yang penuh pemandangan dan persawahan hijau sejauh mata memandang. Canda tawa di atas mobil membuat perjalanan terasa dekat. Dalam perjalanan, ada yang main gitar, ada yang tiduran, ada yang terus melirik ke arah spion memastikan perempuan yang duduk di depan membalas pandanganya. Namun tak juga terbalas. Dicuekin malah. Atau mungkin si cantik tak tak tahu kalau sedang diperhatikan lewat kaca spion. Entahlah. Yang nampak malah wajah Pak Direktur yang kebetulan di samping si cantik. Aku sendiri sempat terlelap.
Tak terasa tibalah kami di Gili Lampu sekitar pukul 12 siang lebih sedikit. Kami turun sembari membawa barang keperluan pribadi dan kelompok. Masuk ke rumah Pak Yanto, salah satu penghuni yang punya restoran di Gili Lampu. Kami istirahat. Makan dan sholat sembari menunggu boat yang akan membawa rombongan kami menyebrang ke Gili Kondo. Rayuan gombal ke si Cantik, salah satu tim perempuan Massmedia pun tak luput dari pendengaran mata dan telingaku yang terus dilempar sama Oji dan Yani. Husnul juga aku perhatiin terus melempar senyum sama si cantik. Kadang pake bahasa diam yang sulit kutebak.
Tiba-tiba saja “Ayooo jalan” panggil salah satu karyawan paruh baya mengarahkan kami ke boat yang baru saja landing. Kami pun bergegas dan berkemas sembari mengecek barang bawaan supaya tak satupun ketinggalan. Boat melaju membelah laut menuju ke lokasi perkemahan di Gili Kondo. Dalam boat yang terisi 14 orang sama boatman, ada yang sambil main gitar, ada yang abadikan moment, ada yang wajahnya terlihat sedang curi-curi pandang di tengah hati yang sedang berbunga-bunga, ada juga yang terlelap. Aku sendiri fokus melihat pemandangan. Sesekali menunjuk ke arah kanan mengarahkan pandangan si cantik “itu tujuan kita” ucapku menunjuk PLTU. Sayangnya si cantik tak percaya sama candaanku. Ternyata pernah ke Gili juga. Apes deh, niat ngerjain malah aku yang kena sendiri.
Akhirnya setelah dua puluh menitan dalam ombang-ambing laut disertai hembusan angin yang sepoi-sepoi, tibalah kami di salah satu Pulau kecil di ujung Pulau Lombok ini. Disambut pepohonan yang seolah memanggil menawarkan kesejukan di bawah terik sinar matahari yang terus mencekam. Pasir putih yang terus memanjakan mata. Gili Kondo namanya.
Tiba di lokasi perkemahan, matahari semakin menyengat. Semakin garang sebelum pada akhirnya pamitan ditelan senja. Pengunjung masih kelihatan sepi dari pantauan. Sementara itu, rekan-rekan sudah mulai ada yang pasang tenda, ada yang baringkan badan, ada yang menyeruput kopi, ada yang menyantap nanas, ada yang main ayunan, ada yang main hammock dan yang tidak pernah absen adalah ada yang terus menggombal. Padahal udah punya di rumah. “kalah deh yang bajang-bajang” ujarku diam-diam.
Matahari kini sudah tidak garang lagi. Sudah pengen mendekati senja. Boatman pun semakin terlihat ramai berdatangan. Membawa para rombongan yang juga mau berkemah. Terus dan terus berdatangan. Cuaca sudah malu bersahabat, bibir pantai sudah semakin ramai. Pun pantai sudah ramai dihuni para lelaki telanjang dada. Telanjang kaki. Syukurlah tak ada nampak satu pun dari alam yang kalau mandi, kerap membuat lelaki kerap tak berkedip. Si bule maksud ku…hehehe
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, pandanganku melihat si Helmy, rekan Massmedia yang datang lebih awal bersama tim spearfishingnya. “Wah mantap ini, ada cewek cantik lagi temannya” ucapku dalam hati. Api unggun sudah terlihat mengeluarkan asap. Ikan hasil buruan Helmi dan temannya satu persatu disodorkan ke mulut api setelah dibersihkan isi yang tak diperlukan. Entah rekan-rekan lapar atau doyan sama ikan laut, matang satu langsung ludes. Begitu seterusnya hingga yang tersisa hanya tulang belulangnya.
Udara sudah mulai agak bersahabat senja itu. Aku pantau satu persatu kawan-kawan Massmedia. Ada yang lagi asik mandi, ada yang terpapar di tenda, ada yang sedang di berugak sembari menyeruput kopi, ada yang di pinggir api unggun, ada juga yang tidak kelihatan. Mungkin sedang muter keliling Gili “ucapku dalam hati. Yang tidak pernah absen dari penglihatan dan pendengaranku, ada saja yang terus menggombal. Akupun juga sesekali sih..hehe
Hari sudah masuk waktu magrib, sementara sajian Ibu Hajah tempat kami memesan makanan sudah siap disantap. “Ayoo makan, ayo pada makan” panggil Bu Hajah yang sesekali dengan nada agak memaksa lantaran tak ada yang mau merapat karena sibuk dengan keasikan masing-masing. Barulah tim Helmy yang akan segera kembali menyelam merapat, disusul Ming yang kerap mengundang perhatian. Bersila di mana dia suka menyantap nasi yang digunungkan seperti Gunung Rinjani di atas piringnya. Tak puas menggunung ditambahnya lagi dengan porsi yang agak datar seperti pelawangan. Dan rekan yang lain yang kelihatanya sudah mulai lapar.
Sementara aku, menunda makan dan beranjak ke mushola bersama Pak Direktur, Yani dan Ages untuk menunaikan sholat. Selesai sholat, barulah kami sebagin beranjak ke warung Bu Hajah, pemilik warung. Lauknya banyak. Ada ikan laut, plecing, tahu dan tempe. Banyaklah kalo dibanding menu anak kos-kosan. Pokoknya “maknyos” seperti kata Bonda. Enaknya lagi, ditemenin si cantik Rani. Makanku pun lahap hingga yang tersisa hanya tulang cabe dan tulang ikan.
Api unggun semakin membesar. Saat ku samperin, rekan-rekan sudah mengatur diri seperti lingkaran. Semakin ku mendekat menyaksikan rekan-rekan yang tengah asyik memainkan irama musik ditemani petikan gitar. Dari arah kananku, muncul lah seperti dua sosok bidadari. Semakin mendekat, wajahnya semakin kelihatan. Dan ternyata Ica dan temannya yang juga teman dari temanku, Bang Helmy. Dia merapat setelah aku dan Yani membantunya mendirikan tenda.
“Boleh ikut gabung?” ujar salah satu dari mereka. Hampir semua menjawab silahkan. Termasuk aku yang dengan suara semangat seolah mencari perhatian. Dan benar saja, mereka duduk di sebelah kiriku. Jaraknya seukuran kucing hamil lewat. Kalo misalkan ku umpamakan. Musik pun terus berirama dengan petikan nada senar berbeda-beda tiap lagunya. Para gitaris pun ambil bagian menunjukan kepiawaian mereka memainkan senar gitar. Tak terkecuali Ica. Pak Direktur, Ming dan beberapa rekan yang piawai. Aku hanya jadi penikmat. Palingan cuma ikut-ikut nyari, itupun beberapa lirik yang ku hafal. Kecuali pas Ica yang metik senar, barulah mulut aku komat-kamitkan meski sebenarnya tak hafal liriknya….hihihi
Malam semakin larut. Suara musik dari berbagai arah terus berkumandang. Pun lampu-lampu tenda. Api unggun semakin membesar. Tiba-tiba temanya Helmi datang membawa ikan-ikan hasil tangkapan. Ku perhatikan. Tak nampak wajah Helmy. Kali ini, ikannya semakin besar” Makan besar, ngemil ikan laut” ucapku ngawur kepada rekan-rekan.
Kamipun bagi tugas, ada membersikan, ada yang mencari kayu, ada yang bagian memanggang dan lain sebagainya.Kulihat Rani, fokus menyalakan HP sebagai penerang didampingi Husnul yang terus menempel namun tetap protokol. Sesekali ku ganti tempat duduknya Husnul, sesekali Oji menyekak tanpa permisi. Tiba-tiba muncul lagi Helmy membawa hasil tangkapan. Besar dan panjang.
Malampun kian larut. Ada yang mengantuk, bergeser cari tenda atau tempat teduh untuk mengamankan diri. Ada yang terus bertahan bahkan sampai pagi. Suara musik tak juga mau berhenti. Dari segala penjuru arah. Utara, selatan, timur, barat. Seperti pasar malam. Ku lihat Pak Direktur, sudah tak nampak, Ages, sudah menggulung diri di hammocknya. Yani, sama seperti Ages, melilit diri seperti lilitan tembakau perokok yang baru belajar. “Sudahlah, yang penting si Rani, Ica dan satu lagi teman yang aku lupa namanya, masih belum masuk tenda, kupaksakan saja mati ini” ujarku.
Kulihat Baterai HP, semakin sekarat. Ku charge sambil masuk ke tenda sembari menunggu. Ternyata Pak Direktur sudah mengamankan diri di tenda. Lagu lawas terus dimainkan Ming lewat salonnya. Kunikmati satu persatu hingga akhirya terlelap di samping Pak Diektur. Beberapa jam sebelum Subuh, aku terbangun. Ku lihat Pak Direktur di sampingku. Tak ada. Suaranya terdengar lagi ceramah di luar bersama Oji, Husnul dan Sandia. Aku pun bangun dan ikut nimbrung sembari menyeruput kopi yang aku buat sendiri.
Waktu Subuh pun tiba. Dan kami melakukan sholat yang diimami Pak Direktur. Sembari menunggu matahari terbit, tak lupa kunyalakan beberapa rokok dan menyeruput kopi. Tiba-tiba, bibir pantai mulai ramai. Orang-orang mulai berbondong menyaksikan matahari terbit dan mengabadikan momen. Ku lihat Ming yang tengah asik duduk bersama dua perempuan. Ku datangi dengan dengan niat mengganggu kemesraan yang yang tadi terlihat dari jauh. Barulah aku sadar, ternyata masih berjarak. Protokol lah, kalo istilah sekarang yang kerap bermunculan, baik di dunia nyata pun dunia maya. Ku photo mereka bertiga, namun yang satunya menutup muka. Mungkin malu atau mungkin takut kalau-kalau nantinya ku posting di sosial media. Dan betul saja, sehari setelahnya jariku memposting foto itu. Banyak komet, termasuk Miing yang notabene ada dalam photo tersebut.
Tak lama Ibu Hajah memanggil menandakan sarapan sudah siap. Kamipun bergegas sembari menyantap nasi goreng yang Ibu Hajah, dengan bantuan tangan lembut si Rani. Tak mau kalah sama Bu Hajah, Ming pun membuat sendiri seperti sedang menyiapkan sarapan buat tamu-tamu waktu dulu masih aktif dan ramai dibooking trip Gunungnya. Waktu hampir jam delapan, sesuai perjanjian untuk kami minta dijemout sama boatman. Sekitar pukul delapan, semua Tim besiap dan naik Boat meninggalkan Gili Kondo. Di tengah laut, baru aku sadar ada sesuatu yang ketinggalan yaitu KENANGAN.
Good by Gili Kondo….(Wan)