Opini  

Terorisme dan Politik Imagologi (Kebencian Berkedok Pencitraan Berujung Penghancuran)

Oleh: Imron Hadi, S.HI.,M.HI.

(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Mataram)

SALAH satu isu yang menggetarkan dunia dan kemanusiaan kontemporer saat ini adalah terorisme (irhâb). Isu ini telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari kemanusiaan, peradaban, politik, ekonomi, hingga kehidupan beragama. Pada dasarnya terorisme merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk meraih tujuan yang tidak manusiawi, mengancam keamanan, menebar ketakutan, intimidasi serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Terorisme juga terkait erat dengan media informasi dan citra palsu (false Image), sehingga tujuannya bukanlah kehancuran atau kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran atau ancaman dalam bentuk teror bom tersebut menjadi “tontonan publik” yang menarik dan diliput oleh berbagai media nasional dan internasional kemudian disebarluaskan ke seantero dunia untuk menumbuhkan rasa ketakutan massal.

Aksi terorisme yang terjadi saat ini juga tidak lepas dari “kebencian” mendalam terhadap doktrin ajaran tertentu, komunitas, pemerintah dan kelompok-kelompok tertentu yang dilatarbelakangi oleh persoalan prinsip dan bersifat pribadi. Terorisme menyentuh sisi kemanusiaan karena ia telah menjadi momok menakutkan bagi setiap anak manusia yang dapat menimbulkan ketakutan, kengerian, kebencian, tragedi kematian dan kepiluan mendalam. Terorisme juga menyentuh aspek peradaban karena sering dikaitkan dengan peralihan kontroversi dunia dari perang dingin menjadi bentrok peradaban berkepanjangan, seperti yang telah digambarkan dalam hipotesis Samuel P. Huntingtoon “The clash of civilization” yang menganggap Islam sebagai sebuah entitas peradaban menjadi ancaman serius bagi peradaban Barat. Terorisme ternyata tidak hanya menyentuh aspek peradaban saja, tetapi juga telah menyentuh persoalan politik dan ekonomi karena menimbulkan kekacauan dan kegaduhan politik dan ekonomi global, nasional dan transnasional masa kini dan mungkin juga masa depan.

Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial keagamaan misalnya, terorisme menjadi problem baru karena acapkali sebuah teror muncul disebabkan adanya “kebencian” mendalam terhadap doktrin atau perilaku umat tertentu. Meskipun agama bukan sebagai satu-satunya faktor penyebab utamanya, tetapi agama sering disangkutpautkan dengan terorisme. Dalam konteks ini terkadang suatu pemerintah kerena terlalu takut terhadap ancaman terorisme dan tekanan pihak tertentu, boleh jadi akan mengambil tindakan yang menyinggung perasaan penganut agama tertentu dengan memberikan lebel teroris, yang menyebabkan terjadinya keretakan dan disharmoni antara penganut agama dengan pemerintah.

 

Makna Terorisme

Secara umum, mungkin semua kita sudah maklum dan mengetahui makna dari kata terorisme baik secara bahasa maupun istilah yang pada umumnya berkonotasi negatif dan desktruktif. Namun tidak salah kemudian jika meninjau kembali untuk menyegarkan ingatan kita akan makna substansi dari kata terorisme. Para pengkaji dan peneliti terorisme menyebutkan adanya kesulitan dalam mendefinisikan arti terorisme secara mendalam. Juliet Lodge misalnya menyebutkan adanya kesulitan dalam mendefinisikan isu tersebut, demikian juga H.H. Tucker yang menyebutkan hal yang sama. Namun, jika dilihat secara literal, dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World disebutkan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan secara sengaja, tidak dapat dibenarkan dan bersifat acak, demi tujuan politik dengan sasaran orang-orang yang dilindungi, pelakunya biasanya Negara, agen Negara atau perorangan yang bertindak sendiri.

Kemudian dalam The Social Science Encyclopedia disebutkan bahwa terorisme adalah tindakan untuk menyebarkan intimidasi, kepanikan dan kerusakan dalam masyarakat. Tindakan ini dapat dilakukan oleh individu atau kelompok yang menentang sebuah Negara atau bertindak atas kepentingannya sendiri. Menurut Ayatullah Syaikh Muhammad Ali Tasykiri bahwa terorisme adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk meraih tujuan yang tidak manusiawi atau buruk (mufsîd) serta menghancurkan system kemananan, dan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terorisme sesungguhnya bertalian erat dengan dua hal yakni “kekerasan” dan “penghancuran” (perusakan). Dua variable tersebut menjadi bagian strategi yang harus dieksekusi secara bersamaan dan simultan. Kekerasan dalam bentuk ancaman atau intimidasi terhadap kelompok tertentu sering dilakukan dalam bentuk teror yang berujung pada perusakan atau penghancuran, seperti penembakan dan pengeboman yang mengakibatkan jatuhnya korban manusia serta merusak fasilitas umum sebagaimana yang terjadi selama ini di Indonesia.

 

Terorisme: Media dan Citra Palsu

 Terorisme dalam aksi-aksi dan tujuannya sangat erat kaitannya dengan media informasi. Hal itu dikarenakan tujuan utama terorisme bukanlah kehancuran dan kematian itu sendiri, melainkan sebuah atraksi atau “panggung tontonan” menarik agar diliput dan disajikan lewat media cetak, elektronik dan digital lainnya yang diharapkan dapat didiseminasi atau sebar luas beritanya se-antero dunia. Artinya, bahwa setiap aksi teror yang dilakukan oleh para teroris umumnya memilih lokasi-lokasi publik tertentu yang dikerumuni banyak orang dan mudah diakses oleh media massa agar dapat disebarluaskan ke dunia internasional. Semakin banyak orang yang mendengar, membaca dan melihatnya,  maka semakin dahsyat pula efek ketakutan, kengerian dan traumatik yang ditimbulkannya.

Jika melihat perkembangan terorisme dewasa ini, isu menakutkan tersebut sudah berevolusi menjadi pertukaran simbol (symbolic exchange) atau perang simbol (symbolic war) yang di dalamnya terdapat ketakutan, kehancuran dan kematian yang dijadikan sebagai pertanda (signifier) yang diharapkan dapat memproduksi makna tertentu. Misalnya dengan terjadinya rentetan peristiwa pengeboman dan bom bunuh diri di tanah air, seperti bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar Sulawesi Selatan pada hari minggu 28 Maret 2021 kemarin, bom bunuh diri di Legian Bali tahun 2004-2005, pengeboman JW Marriot tahun 2008 dan pengeboman di Tamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu. Dengan aksi teror tersebut  maka Indonesia sebagai tempat terjadinya aksi teror akan diklaim sebagai sarang terorisme. Makna tersebut dapat dipertukarkan dengan unsur lain, misalnya akses investigasi militer ke wilayah teritorial Indonesia oleh Negara tertentu yang berkepentingan semakin digencarkan, dan tuduhan negatif terhadap Indonesia kian meluas, seperti yang terjadi selama ini di Afganistan dan Irak. Dua simbol tersebut pada dasarnya merupakan permainan tingkat tinggi yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap Negara atau kelompok lain yang ingin dieksploitasi secara massif, baik yang menyangkut ekonomi, politik dan budaya, dengan memanfaatkan isu terorisme.

Lebih jauh terorisme saat ini telah menjelma menjadi “ideologisasi teror” dalam rangka menciptakan kategorisasi siapa yang teroris dan bukan teroris atau siapa yang salah dan siapa yang benar. Ideologisasi teror telah menciptakan apa yang disebut dengan “kesadaran palsu” pada tingkat psikologi masyarakat global, melalui distorsi informasi besar-besaran tentang terorisme di dalamanya. Jika boleh menuding sebuah Negara, Ideologisasi teror selama ini ditengarai didalangi oleh Negara adi daya dan sekutunya. Ideologisasi teror selama ini secara tidak sadar berlangsung dalam konteks politik kekuasaan dan “politik imagologi” atau politik pencitraan palsu yang dikaitkan dengan terorisme yang selama ini terjadi yang tujuan utamanya adalah untuk menunjukan superioritas melalui pemaksaan secara halus. Dalam kondisi demikian dunia politik internasional seperti yang dikatakan Walter Truet Anderson akan tetap terkungkung dalam sebuah “teater realistis” yang di dalamnya terdapat sajian-sajian peristiwa teror yang boleh jadi sengaja diciptakan, dikemas apik dalam sebuah narasi dan pencitraan palsu untuk kemudian diceritakan dan dipertontonkan di hadapan masyarakat global secara fulgar dan telanjang untuk menumbuhkan kengerian dan ketakutan massal.

 

Terorisme: Kebencian dan Pengahancuran

Dalam tingkatan tertentu, terorisme juga dapat disebut sebagai kejahatan bermotif kebencian, atau setidaknya disulut oleh motif kebencian. Hal itu merupakan suatu fenomena yang kini sering muncul dalam kehidupan manusia, terutama dalam pergaulan antar kelompok. Dalam konteks terjadinya suatu kejahatan yang bermotif kebencian, pelaku dan korban tidak berdiri sendiri sebagai individu, tetapi masing-masing mewakili kelompok tertentu. Biasanya perbuatan jahat yang dilakukan pelaku bersumber atas prasangka atau penilaian negatif kelompoknya terhadap korban sebagai wakil kelomopok lain yang menjadi sasaran kebencian. Itulah sebabnya korban tindakan kejahatan yang bermotif kebencian tersebut sering kali menyasar orang-orang yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu apa-apa sama sekali.

Kejahatan bermotif kebencian ini pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, seperti dalih untuk mempertahankan eksistensinya, melaksanakan misi suci agama, melakukan retalisasi atau pembalasan dendam dan lainnya. Kebencian terhadap suatu Negara yang dianggap “taghut” oleh kelompok radikal tertentu biasanya akan melakukan upaya intimidasi, kekerasan dan serangan senjata atau bom terhadap Negara tersebut dan agen-agennya yang berujung pada jatuhnya korban manusia yang tidak berdosa, seperti yang terjadi di Paris, Indonesia dan negara-negara lainnya beberapa waktu lalu. Penghancuran fasilitas umum menjadi sasaran utama yang tak terelakkan dari setiap aksi serangan teroris selama ini. Penghancuran dan pengerusakan fasilitas umum pada dasarnya menjadi target utama dan strategi para pelaku teroris untuk membuat ketakutan, kepanikan dan trauma massal agar target yang diinginkan tercapai.

Oleh karena itu, jika kita kembali kepada konteks ajaran agama dan norma hukum posistif, setiap perusakan, penghancuran, pembunuhan dan ancaman terhadap  individu atau kelompok, baik yang berlabel “terorisme” atau lainnya, merupakan perilaku yang dikutuk dan “diharamkan” oleh agama dan dilarang oleh hukum, karena kontradiksi dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, keadilan dan perdamaian hidup abadi.

Wallahu a’lamu bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *