Opini  

Quo Vadis HIMMAH NWDI Pasca Pelantikan?

Oleh: Hazairin Alfian (Koordinator Biro Partisipasi Pembangunan dan Hubungan Internasional DPP HIMMAH NWDI Periode 2023-2025)

Usai sudah seremonial pelantikan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HIMMAH NWDI periode 2023-2025. Spirit “Himmahturrijal tahdumul jibal” tidak boleh berakhir hanya sebagai euforia sesaat. Sebab, tantangan yang akan dihadapi oleh organisasi ke depan tidaklah semakin mudah. Disrupsi yang terjadi di segala lini menjadi batu uji kemampuan setiap organisasi dewasa ini merawat spirit gerakannya, tak terkecuali untuk HIMMAH NWDI sendiri.

Beker (2023) bahkan menyebut organisasi gerakan telah mengalami kemunduran terutama dalam tugasnya merawat demokrasi. Sebabnya antara lain adalah karena adanya kekerasan dalam jangka panjang (longue duree coercion), kriminalisasi, kooptasi, dan fragmentasi. Selain itu, pragmatisme dan hedonisme yang tumbuh subur di kalangan mahasiswa juga melemahkan spirit mereka untuk turut bergabung dan berkontribusi dalam gerakan sosial organisasi. 

Berangkat dari hal tersebut, “Fastabiqul khairat” sebagai spirit gerakan organisasi yang diwariskan oleh Maulana Syaikh ini mesti mampu diterjemahkan secara lebih kontekstual sesuai dengan ruang gerak HIMMAH NWDI yang perhatian di bidang intelektual agar mampu mengurangi krisis tersebut. Sumbangsihnya untuk pembangunan sudah seharusnya tidak keluar pada ruang itu. Faktanya, gerak langkah ber-“fastabiqul khairat” dalam ruang itu belum mampu diaktualisasikan secara maksimal. Untuk itu, peta jalan memanifestasikan spirit itu harus disusun rapi dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Pierre Bourdieu menjelaskan ada empat hal yang harus ditingkatkan agar fenomena krisis gerakan sosial tersebut mampu direvitalisasi setidaknya dalam tubuh HIMMAH sendiri. Pertama, modal kultural. Modal dasar perjuangan yang telah ditanamkan dalam-dalam oleh guru besar kita yang juga pahlawan nasional Maulana Syaikh adalah modal utama dan paling dasar untuk menjalankan organisasi. Sejak awal pergerakan yang ditandai dengan didirikannya pondok Al-Mujahidin oleh beliau, beliau menanamkan berbagai macam habitus yang bersumber pada pengetahuan transenden bahwa segala bentuk aktivitas, terlebih aktifitas yang baik yang mendatangkan maslahat untuk ummat harus disandarkan semata untuk “Lii’la ikalimatillah izzul islam wal muslimin”. Inilah yang kemudian menjadi fundamental moral untuk mencapai segala tujuan berhimpun, yaitu membentuk pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi moralitas dalam mencapai segala tujuan di semua ruang gerakan. Termasuk salah satunya dalam ruang politik. 

Guru kita, syaikh TGB memperjelas asas dasar ini dalam bahasa yang lebih mudah kita pahami, bahwa segala niat baik atau segala tujuan baik harus ditempuh dengan jalan-jalan yang baik. Jalan yang baik adalah yang menghargai dan menjalankan konstitusi tanpa tendensi yang bersifat manipulatif misalnya dengan cara berupaya merubah konstitusi itu agar dapat mengakomodir kepentingan suatu kelompok maupun individu. Jika kita dapat berkomitmen secara tulus menjalankan konstitusi yang menjunjung tinggi moralitas, maka secara tidak langsung akan berdampak pada penghargaan atas nilai kemanusiaan dan kemaslahatan alam semesta (rahmatan lil alamin). 

Tujuan yang baik harus dicapai dengan jalan yang baik bukanlah sekedar wacana yang tidak berkoresponden dengan realitas. Guru kita TGB telah membuktikannya. Melalui komitmen menempuh “jalan yang baik” yang teraktualisasi dalam good governance selama 10 tahun beliau membawa NTB mengalami kemajuan yang signifikan di berbagai sektor. Good governance inilah yang kita sebut dalam jargon HIMMAH dengan istilah Profesional. Lalu, jika dalam ruang yang lebih besar saja nilai ini berhasil diaktualisasikan, mengapa tidak untuk ruang yang lebih kecil seperti di HIMMAH tidak akan berhasil? 

Lebih jauh, kader HIMMAH yang profesional harus dapat mewujudkan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas kader adalah sebuah keniscayaan. Kader yang kritis yang mampu menganalisis secara metodologis masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan adalah kader yang sungguh-sungguh menempa diri dalam pendidikan. Pendidikan jangan selalu diidentikkan dengan ruang kelas. Kader bisa belajar di manapun. Namun, sebelum itu organisasi harus menyediakan terlebih dahulu ruang itu dengan semaksimal mungkin. Maka dari itu, kurikulum HIMMAH sebisa mungkin dijalankan dengan baik melalui proses kaderisasi yang sudah tersedia yaitu WAPA 1, WAPA 2 dan WAPA 3. 

Namun agar pengetahuan kader lebih kosmopolitan, maka kurikulum itu sendiri mesti terus dievaluasi. Sebab tidak ada konsep yang selalu relevan sepanjang zaman. Oleh karenanya, dalam masa bakti ke depan, pengurus baru mesti memperkaya kurikulum itu dengan menambahkan kajian literasi digital, kajian feminisme, etika politik, kajian geopolitik, dan etika lingkungan, serta kajian insan berkebutuhan khusus. Selain menambah materi kajian, proses kaderisasi mesti menggunakan alat ukur yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Salah satunya adalah penyediaan instrumen assesment pencapaian kader dan keefektifan metode dan bahan ajar. 

Untuk memenuhi proses itu, peningkatan kapasitas kader tidak cukup hanya melalui pendidikan organisasi langsung melalui proses kaderisasi. Untuk melahirkan kader yang unggul secara intelektual, organisasi harus mendorong para kadernya untuk dapat meraih pendidikan yang lebih tinggi seperti level magister maupun doktoral. HIMMAH memang patut berbangga memiliki kader intelektual yang telah menyumbang banyak karya ilmiah seperti Prof. Jamal, Prof. Mahyuni, Prof. Abdul Fatah, dan lain lain. Tetapi siapa yang akan meneruskan jika tidak disiapkan dari sekarang? Untungnya, melalui persiapan beasiswa yang dilaksanakan HIMMAH beberapa waktu lewat beberapa kader (beberapa di antaranya menduduki jabatan struktural di DPP) dapat meraih pendidikan magister melalui berbagai beasiswa di antaranya beasiswa NTB dan LPDP. Kami optimis, jika kegiatan ini dimaksimalkan maka tidak menutup kemungkinan semakin banyak kader yang dapat meraih master bahkan doktor. 

Namun demikian, kader yang unggul tidak cukup hanya memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni. Mereka juga mesti mampu mengaktualisasikannya secara praktis sehingga dapat memberi manfaat bagi khalayak. Dalam masterpiecenya Madilog, Tan Malaka menyoroti fenomena gagapnya mahasiswa memberi sumbangsih ke masyarakat, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah, dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tdk diberikan sama sekali”. Kader yang seperti disebutkan Tan Malaka ini yang disebut dengan istilah intelektual menara gading. 

Pengabdian masyarakat ini sendiri dapat disalurkan dalam dua bentuk: pertama sebagai agen kontrol (agent of control). Sbg agen kontrol, kader HIMMAH mesti dapat memberikan kontribusi pikirannya melalui kritik terhadap segala bentuk anomali kekuasaan ataupun sosial. Kritik sebagai bentuk kontribusi pembangunan di bidang intelektual harus didasarkan pada kesadaran moral untuk memperbaiki objek yang dikritik agar berjalan di atas kebenaran, yang didukung oleh penguasaan mumpuni atas objek kritik (yang merupakan ciri dari profesional). Tanpa dua hal itu, kader hanya menjadi alat kepentingan suatu kelompok penguasa yang seringkali cenderung reaktif sentimental dan jauh dari kata ilmiah. 

Kasus yang sedang viral salah satu contohnya di mana sekelompok mahasiswa di Aceh dengan bangga mengusir pengungsi Rohingya hanya dari sentimen negatif yang tersebar luas di sosial media. Pertanyaannya, apakah mereka sudah menguasai ihwal materi geopolitik? sudah pahamkah mereka hak-hak pengungsi (refugees) sebelum mereka melakukan pengusiran itu? Apakah mereka sudah memahami secara baik tentang literasi digital sebelum bermain media sosial? Prof. Budiman menyebut perilaku tersebut dalam bukunya, “Aku klik maka aku ada” dengan istilah homo brutalis (manusia brutal) yang lahir dari ketidakfahaman atas isu berpadu dengan kurangnya penguasaan literasi digital. 

Kedua, kader harus menjadi agen perubahan (agent of change). Dalam konteks ini cermin besar kita adalah Maulana Syaikh. Kehadiran beliau telah mampu merubah secara radikal kondisi masyarakat. Ilmu yang mencerahkan pikiran beliau bukan hanya dinikmati sendiri, tetapi mampu ditransformasikan secara praksis guna merubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. Kita mungkin terlalu tinggi jika menginginkan menyamai pengaruh sang maha guru. Tp kita bisa melakukan peran yang secara substantif sama meski dalam ruang yang lebih sempit. Misalnya dalam konteks agama, pengetahuan yang kita timba selama berada di HIMMAH harus mampu menuntun kita memberikan dampak positif ke masyarakat. 

Masyarakat tidak akan bertanya tentang teori Burhani, Bayani, dan Irfani. Tapi mereka akan bertanya apakah kita bisa menjadi imam sholat mereka, mereka akan bertanya apakah kita mampu menjadi khatib, dan sebagainya. Jika hal sederhana ini mampu kita penuhi, maka kita tidak akan sulit menyampaikan ide-ide yang lebih berat kepada mereka. Inilah bagian dari strategi dakwah yang merupakan salah satu ruang gerak perjuangan organisasi induk.

Kita patut bersyukur sebagian kader HIMMAH yang kami tahu telah mampu menjalankan fungsi kedua mahasiswa tersebut. Banyak diantara mereka yang dipercaya masyarakat menjadi patron dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Bahkan di antaranya diberikan amanah dalam struktur pemerintahan. Walaupun demikian, itu tidak membuat kita menutup mata bahwa sebagian kader juga blm mampu menjalankan fungsi tersebut. Oleh sebab itu, dalam kepengurusan kedepan, peran-peran sosial paling dasar tersebut mesti dipastikan tercapai pada tahap WAPA 1 dalam kurikulum kaderisasi. Sebelum mereka memahami wacana ilmiah, terlebih dahulu mereka harus diajarkan menjadi imam sholat, khatib, dan juga menjadi pemimpin dalam acara-acara keagamaan lainnya.

Selain mampu menjadi agen perubahan di dunia nyata, kader juga harus mampu di dunia digital. Kasus mahasiswa yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan contoh nyata di mana dunia digital kita didominasi oleh satu ujaran kebencian (hatred speech) di berbagai platform yang kemudian mempengaruhi kesadaran orang untuk membenci suatu kelompok. Ceruk ini menjadi yang paling banyak disorot oleh syaikh TGB untuk kader HIMMAH agar lebih proaktif menyuarakan nilai-nilai baik dan pengetahuan yang benar untuk publik melalui media sosial. Oleh karenanya, selama dua tahun ke depan porsi peran “agen perubahan” harus lebih banyak diarahkan di situ melalui program-program kerja yang akan dibahas setelah pelantikan ini.

Modal kedua yang harus dimiliki kader adalah modal sosial. Salah satu strateginya adalah apa yang kami jelaskan sebelumnya. Jika kader mampu menjadi patron masyarakat dalam hal-hal baik, maka secara tidak langsung mereka mendapatkan hati masyarakat itu sendiri. Sehingga jika seandainya kader punya kepentingan yang lebih pragmatis maupun ideologis, mereka akan mudah diterima. Kedua. Kader, melalui organisasi harus diarahkan lebih bersikap inklusif untuk menjalin kerjasama dengan organisasi luar baik itu berupa OKP ataupun LSM/NGO lokal, nasional, lebih-lebih internasional. Christiansen dalam teori perkembangan organisasinya mengatakan bahwa penyatuan dimulai dari penyelarasan kepahaman atas suatu isu. Jika saja kita mampu mengarahkan organisasi untuk perhatian pada ranah kajian maupun kerja praksis organisasi, maka tentu penerimaan organisasi luar yang konsen atas isu yang sama menjadi lebih mudah. Jika kerjasama bisa terjalin maka pergerakan akan lebih mudah dilaksanakan. 

Guru kita, syaikh TGB menjadi contoh kita pada konteks ini. Beliau menjadi salah satu anggota Organisasi Majelis Hukama yang ide dasarnya adalah membawa kedamaian bagi seluruh dunia, bukan hanya antar manusia tetapi juga bagi alam. Tanpa inklusivitas, menerima perbedaan sebagai suatu rahmat, tidak mungkin dapat menjalin komunikasi dengan kelompok yang berbeda. HIMMAH harus memulai untuk meniti langkah ke arah yang sama dengan gurunya.

Ketiga, kader harus mandiri secara ekonomi. Sering terjadi bahwa kemandirian ekonomi berpengaruh terhadap kemandirian idealisme. Rasulullah sudah memberi peringatan dalam haditsnya, bahwa “kemiskinan dekat dengan kekufuran”. Dalam konteks organisasi kekufuran bisa diinterpretasikan dengan ketidakmampuan mereka berkontribusi di organisasi, yang disebabkan karena kekurangan mereka secara ekonomi. Sebab dalam organisasi nirlaba seperti HIMMAH, tidak ada jaminan untuk mendapatkan target-target pragmatis. 

Walaupun demikian, bukan berarti organisasi lepas tangan dalam hal ini. Meski belum dapat dikatakan berhasil, organisasi beberapa kali membuat usaha yang berorientasi profit. Kita tidak boleh berhenti untuk mencoba, ke depan HIMMAH mesti membentuk badan usaha milik organisasi secara lebih serius sebagai bentuk usaha agar lebih mandiri secara ekonomi. 

Selain itu, jika HIMMAH tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi kadernya, setidaknya mesti ada bimbingan karir secara lebih terukur. Banyak sekali pekerjaan yang dapat kader HIMMAH isi (bukan hanya menjadi ASN/P3K), misalnya di bidang NGO yang sesuai dengan ruang gerak HIMMAH yang bisa dijemput namun membutuhkan bimbingan teknis semisal mengisi aplikasi dan interview. Ceruk ini harus mampu dilihat dan dirancang dalam bentuk program bimbingan agar kader menjadi lebih siap jika ingin mencobanya.

Terakhir, modal simbolik. Penggunaan simbol sebagai media ber-fastabiqul khairat ini pada satu sisi dapat merevitalisasi reputasi organisasi, di sisi lain dapat menjauhkan organisasi pada tujuan yang lebih substantif. merevitalisasi reputasi bisa dalam arti menjaga citra organisasi sbg organisasi gerakan yang selalu ikut terlibat dalam setiap gerakan sosial. Namun penggunaan ini bukanlah tujuan suatu gerakan. Karena jika dianggap sebagai tujuan, ini bisa menimbulkan distingsi yang tajam dengan kelompok lain. Akibatnya akan terjadi gesekan dan perebutan ruang gerakan demi unjuk eksistensi yang berujung pada fragmentasi. Alih alih berkoalisi malah justru saling benci.

Uraian di atas mungkin tidak dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan judul. Namun setidaknya menjadi catatan bagi pengurus baru sebelum merancang program kerja dan menjalankan program kerja tersebut. Program kerja harus disusun secara terukur dan berangkat dari permasalahan nyata kader secara khusus dan seluruh mahasiswa secara umum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *