Oleh: Amrul Arahap
Tokoh Muda Desa Pengadangan
Sejarah telah mencatat bahwa pemuda merupakan “lokomotif” perubahan.
Tahun 1908 mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA mendirikan Boedi Oetomo wadah perjuangan pertama yang memiliki struktur organisasi modern. Kemudian Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia mendorong ide persatuan dan melahirkan peristiwa maha penting yang menyatukan seluruh pemuda Indonesia dalam satu derap langkah perjuangan. Peristiwa tersebut kita kenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dua peristiwa ini dalam berbagai literatur dinyata-tegaskan sebagai cikal -bakal keutuhan dan kesatuan tekad perjuangan yang pada akhirnya melahirkan kemerdekaan dari “rahim” segenap rakyat nusantara.
Dalam konteks kekinian setelah 77 tahun bangsa ini merdeka tantangan untuk membawa bangsa ini ke “pangkuan” kemajuan yang bermuara pada keadilan dan kesejahteraan tentu jauh berbeda. Boedi Utomo, Sumpah Pemuda kemudian peristiwa Rengasdengklok yang diinisiasi oleh Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” pada tanggal 16 Agustus 1945 merupakan gerakan-gerakan pemuda dalam satu tujuan yang sama yakni membebaskan bangsa ini dari jeratan rantai penjajah. Lalu pada situasi sekarang, melahirkan pemimpin eksekutif dari tataran desa sampai kepala negara, memilih wakil rakyat dari tingkat kabupaten sampai pusat menjadi faktor signifikan yang semestinya membutuhkan kepedulian, perhatian dan perjuangan pemuda karena bagaimanapun tidak bisa ditampikkan dengan sistem yang dianut oleh bangsa ini keputusan yang bersifat publik dan mengatur segala lini kehidupan, pertanian, kesehatan, seni dan budaya, pendidikan, perdagangan dan lain-lain ditentukan oleh jajaran tersebut.
Garis kontinum yang bisa ditarik dari dua bentuk perjuangan pemuda di era yang berbeda tersebut adalah proses ‘’politik” yang dilakukan oleh pemuda sebagai warga negara dalam usaha mewujudkan kebaikan. Aristoteles mengungkapkan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Gabriel A. Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif. Dengan demikian, politik berkaitan erat dengan proses pembuatan keputusan publik, berkaitan dengan siapa yang berwenang, bagaimana cara menggunakan kewenangan tersebut, dan apa tujuan dari suatu keputusan yang disepakati. Jika ditarik benang merahnya, definisi politik menurut Almond juga tidak lepas dari interaksi dalam masyarakat politik (polity) untuk menyepakati siapa yang diberi kewenangan untuk berkuasa dalam pembuatan keputusan publik.
Sementara itu, jika kita berkaca pada keadaan saat ini masih banyak pemuda yang anti dan apatis terhadap proses politik yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Padahal, proses politik inilah yang memiliki pengaruh dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Politik sudah identik dengan berbagai intrik. Akibat dari “ulah” sebagian politikus yang sering mempertontonkan hal-hal negatif secara perlahan telah melukis paras politik menjadi muka yang buruk rupa dalam perspektif sebagian pemuda.
Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut tentu saja akan menjadi suatu kerugian besar. Apakah tongkat perjuangan yang telah diwariskan oleh pemuda-pemuda hebat terdahulu akan kita abaikan? Bukankah jika pemuda tetap apatis itu sama saja memberikan restu pada orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab untuk menduduki kursi kekuasaan dan menjadi orang yang berwenang. Padahal dalam setiap keputusan tersebut ada masa depan pemuda, ada nasib orang tua kita dan kemajuan masyarakat secara umum.
Tahun 2023 dan 2024 adalah tahun politik. Dalam dua tahun tersebut akan dilangsungkan pesta demokrasi besar-besaran yang akan menentukan masa depan bangsa ini. Mulai dari Pemilihan Kepala Desa, DPRD, Bupati, Gubernur sampai dengan Presiden. Sudah saatnya pemuda ikut terlibat langsung dalam kesepakatan-kesepakatan yang akan terjadi dalam setiap proses politik tersebut. Dengan kecerdasan disandingkan dengan niat tulus untuk membawa tanah kelahiran ke pangkuan kemajuan tentu akan mengembalikan fitrah pemuda sebagai lokomotif perubahan.
Tentu akan berat jika kita bayangkan harus memulai dari Indonesia secara universal. Bagaimana tidak negara tercinta ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Terdiri dari 1.340 suku bangsa dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia. Keluasan dan kemajemukan ini berpotensi melahirkan rasa pesimis lalu pasrah akan keadaan. Bagaimana mungkin seorang/sekelompok pemuda akan mampu merubah keadaan bangsa yang begitu luas dan majemuk ini?
Bagaimana seandainya Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke ini kita kerucutkan sampai kemudian sama besar dengan kemampuan kita. Meminjam istilah yang dijadikan judul buku oleh Emha Ainun Najib salah satu budayawan dan penulis termasyhur di negeri ini yakni “Indonesia Adalah Bagian Dari Desa Saya”. Dalam kalimat ini tersirat sebuah formula luar biasa untuk mengabdi kepada negeri. Konsep mengerucutkan indonesia atau menjadikan Indonesia lebih kecil dalam pemikiran dan perspektif sampai kemudian menjadi bagian dari desa kita. Ketika sudah melihat Indonesia dari sudut pandang seperti itu maka sekecil apapun yang kita sumbangkan baik berupa tenaga dan pemikiran tentu akan memberikan dampak signifikan.
Misalnya, mulai dari memberikan edukasi pada tetangga agar tidak tergiring dalam budaya politik yang kotor, aktif dan terlibat langsung dalam proses politik di tingkat desa, menginisiasi gerakan-gerakan pemuda untuk bersatu lalu bersinergi dalam mewujudkan kebaikan bersama dan berbagai hal positif lainnya yang dianggap sederhana tapi memberikan dampak luar biasa.
Pergerakan dari desa adalah salah satu cara mudah dan sederhana bagi Pemuda untuk mengubah semesta Indonesia karena Presiden, Gubernur, Bupati, DPR RI, DPRD adalah jajaran yang berwenang membuat keputusan publik dan semua itu dipilih oleh warga negara yang sebagian besar berdomisili di desa-desa.