Judul Buku: Dawuk – Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit dan Tahun Terbit: Marjin Kiri, 2017
Jumlah Halaman: 181
Genre: Fiksi
Ulasan oleh: Muhammad Hidayat
Guru Sosiologi dan Pengurus Pemuda NWDI Paraya Barat
Berawal dari sebuah warung kopi, kisah dan cerita Mat Dawuk berawal dan berakhir di mulut Warto Kemplung. Warto Kemplung seorang pengunjung tetap warung kopi dengan modal cerita dan keberanian untuk berhutang kepada Siti si pemilik warung kopi, dengan modal cerita dan bualan-bualannya lah kemudian ia mendapatkan kopi dan rokok gratis. Seperti lazimnya orang yang minum kopi maka akan bertambah nikmat dengan kepulan asap rokok di mulut. Namun sudah dipastikan Warto Kemplung si pembual tidak memiliki rokok, jangankan uang untuk membeli rokok kopi yang ia minum harus berhutang. Maka dengan bakat membualnya ia mulai mencari korban siapakah orang yang sudi dan mau mendengar ceritanya. Namun tak seorang pun yang mau mendengar bulannya, sampai saat seorang wartawan yang menimpalinya “Ah membual kamu To!, To oh, inikah warto? Warto yang terkenal di warung kopi itu? dari seorang wartawan yang terbius dan terhipnotis oleh Warto Kemplung si pembual kisah cinta Mat Dawuk dan Inayatun dimulai.
Mat Dawuk memiliki nama asli Muhammad Dawud. Nama Dawuk sendiri melekat pada dirinya karena ia memiliki wajah kumuh, kumal, tak terawat sehingga orang mengejeknya Dawuk. Dawuk sendiri merupakan nama yang disematkan orang Rumbuk Randu untuk kambing yang berbulu kelabu. Mat Dawuk dibenci oleh orang-orang Rumbuk Randu bukan karena perangainya yang jahat. Ia dibenci hanya karena mukanya yang buruk rupa, selain mukanya yang buruk nasibnya juga tak kalah buruknya. Ibunya meninggal saat melahirkan Mat Dawuk, bapaknya tak mau mengakuinya sebagai anak, kakeknya menghilang entah kemana dan Dawuk hidup sebatang kara.
Inayatun sendiri diceritakan sebagai perempuan yang cantik. Semenjak bayi ia menjadi idaman ibu-ibu di kampungnya. Para ibu yang sedang hamil pun berharap kelak anak yang lahir dari rahimnya akan seperti Inayatun. Namun menjelang dewasa Inayatun berubah 180 derajat. Para istri yang ada di Rumbuk Randu tatkala mendengar nama Inayatun atau Ina akan menimpali dan menambahkan namanya dengan Innalillah. Hal ini disebabkan Inayatun yang sudah berbadan dua saat umurnya baru menginjak empat belas tahun ibarat buah yang matang sebelum waktunya.
Pertemuan Inayatun dan Mat Dawuk pun bukanlah di Rumbuk Randu namun di negeri Jiran. Inayatun yang dikejar oleh mantan suaminya ditemukan sedang menangis histeris karena dikejar oleh suaminya yang menolak pisah dengan Inayatun. Malang nian bagi mantan suami Inayatun dalam keadaan marah dan emosional yang membuncah ia harus berhadapan dengan Mat Dawuk yang mengaku sebagai saudara Inayatun. Perkelahian pun tak terelakkan. Mat Dawuk menghempaskan dan mengalahkan mantan suami Inayatun hanya dalam beberapa gerakan. Dari sinilah babak baru kehidupan Inayatun dan Mat Dawuk dimulai.
Setelah diselamatkan oleh Mat Dawuk, Inayatun akhirnya tinggal di tempat Mat Dawuk. Setelah empat bulan mereka pun memutuskan untuk menikah. Bayangkan saja, Inayatun yang cantik jelita dan Mat Dawuk yang buruk rupa, kisah ini seperti si cantik dan si buruk rupa versi indonesia. Setelah tujuh bulan hidup sebagai pasangan suami istri Mat dan Ina pun memutuskan pulang ke Rumbuk Randu dan seakan kebahagian yang dirasa oleh pasangan ganjil hanyalah sementara.
“Kalian tahu, apakah kebahagiaan itu? ini. Lihat cangkir kopi ini. Ya, inilah kebahagiaan. Seperti kopi, cepat atau lambat, ia akan habis. Semakin enak, ia akan lebih cepat habis. Ya, ya kadang kita ingin berlama-lama menikmatinya ( hal:57).
Kepulangan masyarakat Rumbuk Randu dengan membawa suami ataupun istri yang menikah secara siri di negeri jiran dan mungkin banyak tempat di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah di hadapan masyarakat. Lalu bagaimana dengan Inayatun yang pulang membawa Mat Dawuk sebagai suami sirinya sangat sulit diterima, Inayatun mendapatkan penolakan dari Pak Imam bapaknya. Pada akhirnya Mat dan Ina memutuskan untuk tinggal di dekat hutan. mereka memanfaatkan bekas kandang sapi milik Pak Imam yang dijadikan rumah.
Kebahagian yang Mat dan Ina dapatkan hanya sebentar, karena setelah itu sebuah tragedi pun terjadi. Ina ditemukan meninggal dunia dan di samping mayatnya meninggal pula Mandor Har, Mat Dawuk dituduh membunuh Inayatun dan Mandor Har.
Selain disuguhi dengan cerita dan bualan Warto Kemplung kita juga diberikan gambaran bagaimana orang-orang Rumbuk Randu yang mencari nafkah sampai ke negeri jiran. Mengapa orang-orang ini harus sampai ke negeri jiran? bukankah seperti yang dikatakan Warto Kemplung bahwasanya rumbuk randu dekat dengan hutan dan memiliki banyak kayu jati yang bernilai ekonomis, disinilah masalah yang dihadapi mereka harus tersingkir dari tanah airnya dan mencari sesuap nasi, seperti yang disebutkan novel ini masyarakat hanya sebagai pesanggem atau penggarap lahan hutan, sejatinya eksploitasi hutan terjadi namun yang paling diuntungkan adalah para penguasa,monopoli hutan seperti yang ditulis oleh mahfud ikhwan “Rumbuk Randu beratus tahun hidup bergantung dengan hutan itu,dan telah beratus tahun juga menyesuaikan diri dengan tingkah aneh hewan-hewan penghuninya, kehidupan yang tampak maupun yang tak tampak, para penunggunya, juga dengan orang-orang berseragam hijau yang menguasainya dari waktu ke waktu”.
Kita bisa saja menyebut ini sebagai konflik agraria, konflik agraria sendiri sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini sejarah konflik agraria seperti yang diceritakan mahfud ikhwan diatas beratus ratus tahun lamanya, semenjak zaman feodalisme dan sampai sekarang era reformasi. Monopoli dan eksploitasi hutan ini pun kemudian melahirkan kelas penguasa dan kelas penjahat, kelas penguasa disini sudah bermetamorfosis dari zaman feodalisme sampai zaman reformasi, di era feodalisme kita akan berhadapan dengan para raja,di era kolonialisme masyarakat akan berhadapan dengan belanda, dan di era pasca kemerdekaan akan berhadapan dengan perhutani, adapun kelas penjahat yang dimaksud disini para pesanggem dan blandong miskin. Memori kita pun seakan akan terpanggil dan kembali diingatkan dengan kasus nenek asyani yang dituduh mencuri kayu jati, kasus ini dilaporkan sawin seorang mantri perhutani, kemudian yang menjadi pertanyaan kita bersama untuk siapakah kekayaan alam indonesia bukankah kita memiliki undang-undang yang menyatakan “kekayaan alam, air, bumi, baik di bawah maupun di atasnya harus digunakan demi kenikmatan dan kemakmuran rakyat”.