Sastra  

Kesedihan Nancy

Sumber: pixabay.com

Cerpen : Rifat Khan

Alice pagi itu tengah main kejar-kejaran dengan Pudel –anjing kesayangannya. Gadis kecil itu teramat riang hingga tak menyadari dirinya berlari hingga ke tepi jalan, semakin berlari, sampai benar-benar gadis kecil itu sudah berada di tengah jalan. Sebuah mobil berwarna putih dengan keras menghantam tubuhnya. Tubuh kecil itu terpental dan menghantam sebuah tiang. Darahnya mengucur, kepalanya pecah. Ia tewas seketika.

Kabar duka itu membuat seisi rumah dirundung pilu. Langit menghitam di hati Laurence –ibu kandung Alice, juga menggumpal di benak Nancy –kakak perempuan Alice. Nancy dan Alice hanya terpaut usia dua tahun. Nancy berusia 17 tahun. Duka semacam ini membuat dadanya hancur. Setelah keluar melihat tubuh Alice yang penuh darah, Nancy menangis sejadi-jadi kemudian masuk dan mengurung diri di kamar, sementara Nyonya Laurence menangis semalaman. Nyonya Laurence teramat menyayangi Alice, jauh melebihi Nancy. Entah apa sebabnya.

Nancy tiba-tiba membenturkan kepalanya sendiri di tembok kamar. Berbagai kenangan dengan Alice menggumpal dan menghampirinya. Salah satunya saat mereka duduk di balkon rumah memandang bintang. Saat itu, tengah malam, dan Nancy baru saja selesai mengepang dua rambut Alice.

“Kamu cantik Alice” Sambil Ia terus mengelus rambut Alice yang pirang dan tampak berkilauan. Alice hanya diam menatap dalam ke mata Nancy. Nancy sesekali tersenyum dan membelai lembut rambut adiknya itu.

“Aku mirip Ibu kan Kak?” Gadis kecil itu bertanya. Wajahnya terus mendongak menatap bintang yang terus saja memancarkan cahayanya. Nancy berdiri di belakangnya. Masih terus mengelus rambut yang agak pirang itu.

Nancy masih terdiam, tak menjawab pertanyaan adiknya. Ia terus saja mengelus rambut adik kesayangannya itu dan wajahnya juga mendongak melihat bintang yang paling terang. Bintang yang tiap malam ia yakini datang dan setia mengawasi segala tingkah mereka.

“Itu adalah Bapak” Alice tiba-tiba bicara sembari menunjuk bintang yang terlihat paling terang –bintang yang juga sedang dipandangi Nancy.

Nancy sesaat termenung, Ia teringat dengan Bapaknya yang meninggal beberapa tahun lalu. Ia ingat apa yang sering diucapkan Bibi Nerude –perempuan yang digaji untuk mengurus kebersihan rumah mereka. Bibi Nerude pernah bilang kalau orang baik meninggal, Ia akan menjelma bintang. Bintang yang paling terang.

“Iya, itu adalah Bapak” Nancy membalas dengan suara sendu.

“Apakah Bapak tersenyum melihat kita?” Alice bertanya.

“Ia pasti tersenyum dan pasti sangat kangen ingin memeluk kita” Nancy menjawab sembari memejamkan kedua matanya sebentar. Kemudian ia kembali membuka matanya.

“Nanti, kalau Ibu sudah pergi, pasti Ibu juga akan menjadi bintang yang terang dan pasti akan selalu di samping bintang Bapak” Alice menambahkan.

Nancy terdiam kembali. “Iya kan Kak?” Alice bertanya lagi.

Nancy tak menjawab, gadis itu hanya diam dan entah kenapa pandangannya tiba-tiba menatap bintang yang paling redup. Paling di redup di antara semua bintang yang muncul malam itu.

***

Nancy masih menangis di kamar dan spontan ia meronta dan membenturkan kepalanya di dinding kamar. Dialog-dialog dengan Alice seperti nyata dan terus memenuhi dirinya. Gadis itu kembali menangis. Sesaat dilihatnya jemari manis di tangan kirinya yang terpotong. Jari manis itu ia potong sendiri saat Bapaknya meninggal. Gadis itu bisa melakukan apa saja saat sedang sedih. Ia sering menyakiti dirinya sendiri.

Seperti yang akan dilakukan juga malam ini. Kabar kematian Alice seperti gemuruh yang sangat hebat menyambar dadanya. Dilihatnya sebuah pisau yang berkilau. Nancy beranjak berdiri dan melangkah untuk mengambil pisau itu. Matanya masih saja basah oleh tangisan. Dengan pelan dipotongnya telunjuk tangan kirinya, hingga benar-benar terputus. Telunjuk yang terpotong itu jatuh ke lantai. Ia menjerit kesakitan, darah mengucur begitu deras. Kemudian Ia berjalan mengambil obat merah dan memotong perban untuk menutup jarinya.

***

Pagi hari, Nyonya Laurence marah besar. Ia melihat sisa darah di keramik lantai kamar Nancy. Dilihatnya Nancy tidur dengan menutup seluruh badannya dengan selimut. Disingkapnya selimut itu, Nancy terperangah. Dipegangnya tangan Nancy dan Ia terkejut saat melihat jemari tangan kiri Nancy sudah kehilangan dua jarinya.

“Kamu gila Nancy, kau mau menghabiskan semua jarimu. Kau tak bisa terus-terusan begini. Lama-lama Mama akan masukkan kamu ke rumah sakit jiwa” Nyonya Laurence marah. Pipinya tampak merah saat merah. Urat-urat lehernya seakan hendak keluar.

Nancy hanya terdiam. Gadis itu kembali menangis, sejadi-jadinya. Ia kembali terharu, dan dialog-dialog dengan Alice kembali mengepungnya.

“Nancy, Nancy, Ibu membeli tiga baju baru untukku. Ini cocokkan buat aku?” Alice berlari mendekati Nancy sambil memperlihatkan baju barunya. Ada warna hijau, merah dan kombinasi kuning dan pink.

“Segala baju cocok untukmu” Suara Nancy datar. Ia kemudian mencoba memberi senyum kepada Alice.

“Ibu membelikanmu apa?” Alice bertanya dengan riang.

“Ibu membelikanku baju juga. Sama denganmu” Nancy tersenyum manis.

Saat itu Nancy sebenarnya berbohong, Ia sama sekali tak dibelikan apa-apa. Malah saat itu, Ia baru saja diomeli lantaran menumpahkan segelas susu. Ia disuruh mengepel lantai dan memungut pecahan gelas yang berserakan. Serta hukuman tambahan, membersihkan kamar mandi. Sebab bibi Nerude saat itu tengah pulang kampung.

Nancy tersadar dari lamunannya saat Nyonya Laurence kembali memarahinya. “Kamu benar-benar sudah gila. Kau terus saja potong jemarimu. Terus saja kau potong hingga habis” Kali ini ia benar-benar teriak.

Nancy terdiam dan masih saja tersedu.

“Nerude.. bersihkan sisa darah ini” Nyonya Laurence memanggil Bibi Nerude. Dengan gesit, perempuan berumur 51 tahun itu masuk ke kamar Nancy dan membersihkan darah yang berceceran di lantai kamar. Nyonya Laurence beranjak keluar. Bibi Nerude mendekati Nancy.

“Kenapa kamu melakukan ini? Bibi Nerude mengelus bahu Nancy.

“Aku sedih Bibi” Jawab Nancy sambil tersedu.

“Lalu kenapa musti menyakiti dirimu sendiri?”

“Sebagai tanda kalau aku berduka. Aku merasakan sedikit rasa tenang saat memotong jemariku” Jawab Nancy masih tersedu.

Bibi Nerude hanya menggeleng dua kali dan menghembuskan napas panjang. Tak tau musti ngomong apalagi.

“Kau bisa bayangkan bagaimana kesakitan yang dialami Alice. Kepalanya pecah, lalu dia dikubur di tanah. Sendirian. Tanpa teman. Sakit ini sangat tak seberapa dengan kesakitannya. Sakit ini sangat tak seberapa” Nancy kembali bicara.

“Sudahlah, kau tenangkan dirimu. Jangan menangis lagi, Ibu nanti bisa memarahimu lagi. Aku akan buatkan segelas teh hangat” Bibi Nerude lalu beranjak keluar. Tak lupa ia menutup pintu kamar Nancy.

***

Hari demi hari terus berjalan. Datar dan biasa saja. Sering pula Nyonya Laurence memarahi Nancy gara-gara hal sepele. Sering Nancy menangis dan membentur-benturkan kepalanya. Hingga beberapa bulan, Nancy masih saja dirundung sedih dan hanya bisa menatap bintang dari balkon rumah –saat malam sepi, saat sepertiga malam.

Malam ini, bintang yang bersinar dengan terang terlihat ada dua. Bintang Bapak, dan satunya lagi adalah Bintang Alice, Nancy meyakininya. Ia dengan jelas melihat wajah bapaknya tersenyum. Ia juga dengan jelas melihat wajah Alice tersenyum begitu manis dan rambut Alice masih saja berkepang dua. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri.

“Kau sebaiknya tidur Nancy” Tiba-tiba bibi Nerude sudah berada di belakangnya, tanpa Ia sadari.

“Apakah memang benar adanya Bibi, orang yang meninggal akan menjadi bintang yang paling terang?” Nancy menengok ke arah Bibi Nerude. Tatapannya penuh iba.

“Iya. Jika orang baik, ia akan menjelma bintang yang paling terang. Kebaikan adalah kebaikan, Nancy. Kebaikan tak akan pudar oleh apapun. Ia akan terus bersinar dan terus memberi cahaya bagi orang lain” Mata bibi Nerude terihat basah.

“Bagaimana dengan orang jahat yang meninggal?” Tanya Nancy lagi dengan polos. Ia masih memandang lekat Bibi Nerude.

“Kau lihat bintang yang redup itu. Kau pandangi!” Bibi Nerude menjawab. Kemudian ia berbalik melangkah masuk.

Nancy mencoba menatap bintang yang redup di samping dua bintang yang terang tadi. Entah mengapa bayangan wajah Ibunya seperti menatapnya tajam. Dada Nancy tiba-tiba bergetar, gadis itu memilih beranjak dan masuk ke kamarnya. Di dalam kamar, bayangan Alice kembali mengepung otaknya. Ia menutup wajahnya dengan selimut.

***

Kondisi rumah itu masih biasa saja. Tak ada canda tawa. Nancy hanya sering bicara kepada bibi Nerude, sementara Nyonya Laurence lebih memilih diam di kamar dan menyibukkan diri dengan urusan kantornya. Hingga pada suatu sore, Nyonya Laurence harus pergi ke kota yang jauh untuk urusan bisnisnya.

Sampai pada sebuah kabar duka kembali datang. Lewat pesan telepon, pesawat yang ditumpangi Nyonya Laurence jatuh. Berkeping-keping dan semua isi pesawat dikabarkan meninggal. Kaki bibi Nerude bergetar saat menerima kabar via telepon itu. Dengan hati-hati, bibi Nerude memberitahu Nancy kabar duka tersebut. Nancy langsung berlari masuk ke kamar dan mengunci pintunya.

Bibi Nerude dikepung rasa khawatir. Ia takut jikalau gadis kecil itu kembali memotong jemarinya. Bibi Nerude tak mampu membayangkan jika itu benar-benar terjadi lagi. Semalaman bibi Nerude tak bisa tidur, berkali-kali Ia mengintip ke kamar Nancy, namun tak bisa jelas Ia melihat apa yang dilakukan gadis manis itu di kamarnya. Ia berulang memanggil, tak ada jawaban dari dalam.

Sampai pada pagi, bibi Nerude kembali mengetuk pintu kamar Nancy. Dan gadis itu membuka pintu kamarnya. Suara pintu berderit. Hati Bibi Nerude sedikit lega.

“Kamu tidak apa-apa kan?” Bibi Nerude spontan menanyakan itu.

Nancy hanya tersenyum kecil. Dengan buru-buru bibi Nerude menggenggam tangan Nancy, memperhatikan jemarinya dengan seksama. Namun tak ada darah, tak ada jari yang terpotong lagi. Bibi Nerude tersenyum.

Nancy kemudian berucap, “Nanti malam, temani Nancy melihat bintang ya?” (*)

Majidi, 2021.

 

BIODATA PENULIS

Rifat Khan.
Lahir pada tanggal 24 April. Beberapa karyanya dimuat Metro Riau, Majalah Cempaka, Suara NTB, Lombok Post, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Sulbar, Banjarmasin Post, Satelit Post, Basabasi, Tabloid Nova, Detikcom, Cendana News, Majalah Simalaba, Tribun Jabar, Bali Pos, Padang Ekspres, Sinar Harapan, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Riau Pos dan Republika. Kini mukim di NTB dan bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur. Berniat berhenti menulis di bulan Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *