Opini  

Argumentasi Sikap Politik HIMMAH NWDI

Oleh: Indrawan Nur Fuadi

(Anggota Biro Partisipasi Pembangunan dan Hubungan Internasional DPP HIMMAH NWDI)

Tidak lebih dari dua minggu pasca Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat HIMMAH NWDI Periode 2023-2025 selesai dilaksanakan. Pada moment itu pengurus DPP HIMMAH NWDI menyatakan siap merawat dan berkomitmen penuh dalam mengemban amanah organisasi. Pada kesempatan itu juga Ketua Umum menyampaikan komitmennya untuk mengawal arah pembangunan Indonesia ke depan, baik ditingkat nasional maupun regional. Komitmen itu tidak lantas menjadikan organisasi absen dalam menilai kinerja pemerintah. Ketua Umum DPP HIMMAH NWDI dalam orasinya menyinggung masalah ketahanan pangan Indonesia. Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022 menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih berada di bawah rata-rata global dengan indeks 62,2. Tidak stabilnya ketahanan pangan Indonesia tersebut dari sudut pandang Ketua Umum HIMMAH NWDI disebabkan oleh proses mapping pangan yang kurang tepat dan kurang akurat, sehingga hasilnya pun tidak sesuai target dan tidak tepat sasaran. Namun, kritik itu disampaikan bukan berarti bahwa HIMMAH NWDI pesimis melihat arah pembangunan Indonesia, melainkan tumbuhnya rasa optimis dan realistis bahwa Indonesia akan lebih baik di masa mendatang.

Pelantikan DPP HIMMAH NWDI bertepatan dengan momentum politik, dimana segala hal menjadi sangat sensitif, opini-opini liar bergentayangan di ruang publik. Di luar kendali dan rencana pada momentum politik inilah pengurus baru Dewan Pimpinan Pusat HIMMAH NWDI dilantik. Hal yang kemudian memaksa organisasi turut memberi respon terhadap isu-isu politik yang berkembang di ruang publik. Oleh karena itu, pada momen pelantikan tersebut ketua umum menyampaikan dengan tegas bahwa organisasi harus siap mengawal kontestasi politik tanah air hari ini. Turut serta menjadi garda terdepan untuk pemilu dan kampanye damai. Ketua Umum menyampaikan bahwa tiga perwakilan calon presiden hari ini merupakan anak-anak bangsa terbaik yang siap membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Pada momentum pelantikan itu pula ketua umum menegaskan bahwa sikap politik organisasi adalah tegak lurus mengikuti instruksi pimpinan tertinggi organisasi yakni Ketua Umum PB NWDI Syeikh Tuan Guru Bajang. Berkomitmen untuk memenangkan pasangan Calon Presiden H. Ganjar Pranowo dan Calon Wakil Presiden Prof. Mahfud MD.

Banyak yang bertanya-tanya, kenapa organisasi yang berlabel mahasiswa ini harus ikut dalam politik praktis. Pertanyaan ini mengundang diskusi dan perdebatan yang hampir tidak pernah usai, sebagian mempertahankan keyakinan bahwa HIMMAH NWDI adalah organisasi yang basisnya merawat idealisme mahasiswa sehingga tidak perlu terlibat politik praktis. Namun, karena politik adalah ruang praktis, seluruh elan vital organisasi, akrabnya disebut sebagai pengurus dan pemikir organisasi, melakukan kajian ulang dengan pendekatan kebijaksanaan terhadap pernyataan itu. Apakah sikap ini melanggar kitab suci organisasi, dalam hal ini AD/ART? tentu tidak. Sebab penafsiran tidak boleh dibatasi hanya secara tekstual saja melainkan juga harus dilihat dari sudut pandang historis, sosiologis dan psikososial yang berkembang di masyarakat. Terlebih melihat posisi HIMMAH NWDI sebagai badan otonom dari organisasi induk NWDI, maka yang menjadi mahkamah konstitusinya ialah organisasi induk itu sendiri. Oleh karena itu, keputusan tertinggi ada di organisasi induk.

Di sisi lain, sebagai organisasi yang menjadikan ideologi sebagai fundamental thought. Tentunya tools of analysis yang digunakan tidak boleh kaku dan sempit. Mengaku diri sebagai wadah intelektual tentunya juga harus mengerti how to use knowledge and how knowledge works. Membatasi sikap politik dan keraguan menentukan sikap politik pada momentum pemilu adalah keliru. Sebab mau tidak mau baik sebagai individu maupun kolektif, semua lapisan masyarakat pasti akan terlibat dalam politik praktis. Tolak ukur paling sederhana untuk melacak keterlibatan itu ialah semua masyarakat yang memiliki hak suara ikut menentukan pilihan dan datang ke TPS untuk mencoblos, itu juga disebut sebagai politik praktis. Memang ada pembatasan dalam bersuara dan dipaksa bersikap netral, namun pembatasan itu hanya kepada ASN, TNI dan Polri. HIMMAH NWDI bukan bagian dari ketiga institusi tersebut, oleh karenanya sah-sah saja untuk menentukan sikap politik. Bahkan sebagai organisasi yang memperjuangkan masyarakat justru sikap politik yang tegaslah yang perlu diperlihatkan, sebab ini momentum politik. Sehingga kedepannya organisasi punya komitmen dan standing position dalam mengawal arah kerja pemerintah.

Mempertegas argumentasi di atas, Gramsci menjelaskan bahwa Intelektual tidak hanya dicirikan oleh aktivitas berpikir yang dimiliki oleh semua orang, tetapi oleh fungsi yang mereka jalankan. Semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang punya fungsi intelektual. Maksud dari fungsi intelektual ini adalah semua orang harus memfungsikan intelektualnya sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, baik dalam kegiatan ekonomi, politik dan kebudayaan. Oleh karena itu, tidak berani menyatakan sikap politik ketika ada kekuatan kolektif yang menopang, sikap itu justru adalah bagian dari kekeliruan yang berkembang menjadi penyakit ragu dan pesimis. Terlebih ketika konteks yang dibicarakan adalah menatap Indonesia di masa mendatang. Jika cita-cita dari sebuah organisasi itu adalah merawat idealisme dan kebebasan berpikir maka ruang yang memantik pikiran-pikiran itu hidup tidak boleh dibatasi. Organisasi harus membangun konfidensial kolektif dalam menentukan arah ke depan serta berani memastikan identitas intelektualnya mampu berperan sebagai organisator dalam seluruh lapisan sosial. Hari ini politik menjadi central isu yang sedang alot diperbincangkan dan ini perlu direspon oleh organisasi. Oleh karenanya, pada momentum pemilu ini inisiatif-inisiatif politik sangat diperlukan agar organisasi juga ikut berperan dan memetakan arah pembangunan Indonesia ke depan.

Pendekatan Sikap Politik

Setelah melalui pertimbangan yang matang dan diskusi yang panjang, proses dan titik temu dalam pengambilan sikap politik HIMMAH NWDI didasarkan pada beberapa pendekatan yakni pendekatan historis, pendekatan rasional, dan pendekatan pragmatis.

Pertama, pendekatan historis. Semua calon presiden dan wakil presiden hari ini bukanlah makhluk mitos melainkan ketiga calon presiden ini memiliki jejak historisnya masing-masing. Maka dalam hal ini, rekam jejak menjadi pertimbangan yang penting untuk mengukur pantas dan tidak pantasnya salah satu dari ketiga paslon hari ini untuk memimpin Indonesia ke depan. Cara paling fair untuk mengukur jejak historis capres cawapres hari ini tentunya tidak terlepas dari sistem kekuasaan yang berkembang di Indonesia yakni sistem trias politika. Oleh karenanya, akan sangat adil jika tolak ukur dalam melihat kapasitas capres cawapres hari ini ialah melalui rekam jejaknya sebagai eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dari ketiga capres cawapres yang telah ditetapkan oleh KPU, pasangan Ganjar-Mahfud memiliki jejak historis paling komplit, baik sebagai eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ganjar Pranowo selaku calon presiden nomor urut tiga memiliki pengalaman mengisi ruang legislatif dan eksekutif. Bahkan tercatat kiprah Ganjar Pranowo hanya sekali saja bekerja di luar bidang politik yakni pada tahun 1995 hingga 1999 sebagai konsultan sumber daya manusia di salah satu perusahaan, selebihnya sejak tahun 2004 hingga saat ini Ganjar aktif berkecimpung di dunia politik. Hal yang menandakan bahwa ruang-ruang politik menjadi ruh perjuangan seorang Ganjar Pranowo, sebagaimana semboyannya yang selalu mengatakan “tuanku ya rakyat”. Pada tahun 2004 hingga 2009, Ganjar Pranowo merupakan anggota Komisi V DPR. Selanjutnya, tahun 2009 sampai 2013, Ganjar menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR. Ganjar kemudian berkiprah di eksekutif sebagai Gubernur Jawa Tengah dua periode. Sebagai gubernur Ganjar mampu membawa Provinsi Jawa Tengah ke arah yang lebih baik, terbukti Provinsi Jawa Tengah tiga kali terpilih sebagai provinsi terbaik pertama dalam Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) yakni pada tahun 2019, 2020, dan 2023. Penghargaan khusus juga diberikan oleh Bappenas RI kepada Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, di bawah kepemimpinan Ganjar, Jawa Tengah diakui sebagai Provinsi yang memulai inisiasi awal untuk Sirkulasi Ekonomi.

Tentu tidak hanya itu, melainkan masih ada keberhasilan lain yang telah dicapai oleh Ganjar Pranowo sebagai gubernur Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah juga pernah dinobatkan sebagai provinsi paling berintegritas versi KPK tahun 2019, serta juara umum antikorupsi KPK tahun 2019 dan 2020, bahkan Ganjar telah menyelamatkan uang negara sebesar 1 triliun melalui E-Budgeting. Penghargaan lain yang juga diterimanya ialah penghargaan Green Leadership Nirwasita Tantra 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ganjar Pranowo juga di anugerahkan Gelar Tanda Kehormatan Satya Lencana Pembangunan dan Wira Karya pada tahun 2023 karena keberhasilan menjalankan program peningkatan kesejahteraan petani di Jawa Tengah, yang di tandai juga dengan keberhasilan Jawa Tengah meraih penghargaan peringkat ke-2 nasional dalam hal produksi beras dan hortikultura. Keberhasilan-keberhasilan Ganjar selama memimpin Jawa Tengah tentu tidak akan dibahas secara menyeluruh dalam tulisan ini, sebab fokus penulis bukan hanya pada itu saja.

Tidak usai hanya pada jejak historis Ganjar Pranowo yang telah berkiprah di dua ruang dari trias politika yaitu legislatif dan eksekutif. Paslon nomor urut tiga menjadi paslon yang dianggap paling komplit sebab memiliki cawapres yang mampu menyempurnakan capresnya. Kehadiran sosok Prof. Mahfud MD sangat melengkapi kekurangan yang ada pada Ganjar Pranowo. Prof. Mahfud MD tidak pernah absen mengisi ruang trias politika, bahkan sangat aktif berperan sebagai pemain inti dalam pemerintahan dan percaturan politik tanah air. Memulai kiprah politiknya pada tahun 1999 hingga 2000, Mahfud mulai melaksanakan perannya sebagai Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara urusan HAM. Pijakan awal tersebut makin berbuah manis setelah tahun 2000, Mahfud sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan dari tahun 2000 hingga 2001. Karir di bidang legislatif juga pernah diteliti, pada tahun 2004 hingga 2008 Mahfud MD tercatat sebagai anggota Komisi III DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Setahun terakhir di DPR kala itu, Mahfud sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi DPR. Tak berhenti di sana, Mahfud juga meniti karir di bidang yudikatif, pencapaian tertingginya adalah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Jejak historis pasangan calon nomor urut tiga inilah yang menjadi pertimbangan sehingga sikap politik HIMMAH NWDI menjadi sangat tegas dan jelas.

Tanpa mengesampingkan jejak historis dari paslon yang lain, komparasi telah dilakukan sehingga keputusan berani ditetapkan. Tanpa bermaksud juga menyudutkan paslon mana pun, pendekatan yang paling ideal untuk mengkomparasikan siapa yang terbaik dari sudut pandang jejak historis ialah keterlibatan setiap paslon dalam mengisi ruang trias politika, dan yang memiliki jejak paling komplit mengisi ruang-ruang tersebut serta mampu saling mengisi satu sama lain adalah pasangan capres cawapres nomor urut tiga, Ganjar-Mahfud.

Kedua, pendekatan rasional. Jika dari pendekatan historis tolak ukurnya ialah melihat rekam jejak, maka pendekatan rasional ini dibatasi pada apa yang akan dilakukan ke depan. Dengan bekal historis yang cukup, kami menilai Ganjar-Mahfud dalam menatap Indonesia ke depan penuh rasa optimis dan percaya diri. Begitu banyak program-program strategis yang direncanakan untuk mentracking arah pembangunan Indonesia. Program-program dalam bidang pendidikan, penegakkan hukum, ekonomi, kesehatan, pengadaan lapangan pekerjaan, UMKM, ketersediaan pangan, dan juga bidang-bidang lainnya, menjadi perhatian yang sangat penting untuk segera direvitalisasi. Kami menilai, Ganjar-Mahfud berkomitmen penuh menuju Indonesia Unggul melalui program-program unggulan yang di dasari pada kebutuhan negara dan rakyat. Di antaranya memastikan keluarga miskin tetap bisa menikmati pendidikan dengan program satu keluarga miskin, satu sarjana. Memastikan guru-guru mendapatkan gaji yang layak sehingga masuk dalam kategori sejahtera. Berkomitmen membuka 17 lapangan kerja, menghidupkan UMKM dan Koperasi. Memastikan pasokan pangan aman, satu desa satu fasilitas kesehatan, satu tenaga kesehatan, uang saku untuk kader posyandu dan berkomitmen membangun 10 juta hunian untuk rakyat. Masjid sejahtera dan pengurus masjid terlindungi, guru ngaji dan guru agama lain di gaji. Internet gratis untuk pelajar dan yang tidak kalah menarik juga adalah KTP sakti untuk memastikan jaminan sosial, bantuan sosial tepat sasaran kepada masyarakat yang memang berhak mendapatkannya. Tentu banyak lagi hal lain yang ingin dilakukan ke depannya, memperbaiki apa yang perlu diperbaiki, mengubah apa yang perlu diubah, melanjutkan apa yang perlu dilanjutkan.

Program-program itu tentu tidak hanya sekedar rencana yang hanya berhenti pada tataran narasi. Ganjar-Mahfud sering menyampaikan bahwa hal yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan dengan baik, program-program strategis tidak memenuhi target yang ingin dicapai, pertumbuhan ekonomi tidak signifikan, semua hal itu dan semua permasalahan lainnya disebabkan oleh hal yang sama yakni praktik korupsi yang hampir tidak terkendali, proses penegakkan hukum dan ham yang tidak berlandaskan pada keadilan dan birokrasi yang tidak meritokrasi. Dalam beberapa diskusi, Ganjar-Mahfud selalu menegaskan hal yang sama dan sikap itu mempertegas bahwa pasangan Ganjar-Mahfud punya analisa dan arah yang jelas bagaimana membawa Indonesia ke depan. Tentu jejak historis pasangan ini memberi rakyat keyakinan bahwa semua cita-cita besar yang disampaikan hari ini akan terlaksana di masa mendatang.

Tanpa mengesampingkan paslon lainnya, tentu masing-masing dari mereka memiliki visi dan misi untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun, tulisan ini tidak untuk memaparkan program dari semua calon, tidak juga bermaksud membandingkan program-program yang ditawarkan. Sebab setiap program punya unsur kepentingan dan memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap paslon membawa ide dan gagasannya masing-masing. Namun, politik adalah soal keberpihakan dan saling melegitimasi pihak yang diklaim, bahwa yang didukung itulah yang paling bagus ide dan gagasannya. Hampir bisa dipastikan penilaian yang digunakan selalu bersifat subjektif. Oleh karena itu, tulisan ini ingin menghindari perdebatan itu sebab tolak ukur baik dan tidaknya hanya pada keberpihakan, sehingga tidak akan bisa objektif dalam menilai, selalu menganggap paslon masing-masinglah yang paling baik, sehingga perdebatan pun akan semakin alot tanpa ada titik temu, hal yang wajar, because it’s politics. Maka dari itu, titik rasionalnya adalah memastikan bahwa program-program yang akan dilaksanakan oleh setiap paslon

bisa dipahami dan dimengerti dengan baik dan siap mengawal setiap program itu agar bisa terlaksana. Dalam pandangan kami, program-program yang ditawarkan oleh paslon kosong tiga mampu kami serap sehingga itu menjadi ‘standing position organisasi’ dalam keikutsertaannya mengawal arah pembangunan Indonesia ke depan. Menurut kami, sikap seperti inilah yang akan memberikan pendidikan politik yang baik untuk masyarakat, sebab titik fokusnya adalah pada bagaimana setiap program dapat dipahami substansinya dan berkomitmen mengawal semua program itu agar dapat terlaksana. Sebab kalau hanya terus mengkomparasikan, kita hanya menghabiskan waktu untuk suatu perdebatan yang tidak akan pernah usai. Oleh karena itu kita perlu berpihak kemudian mengkaji dan memahami, kawal dan pastikan itu akan terlaksana sehingga masyarakat dapat menikmatinya.

Ketiga, Pendekatan pragmatis. Harnold D. Laswell mengatakan, “politik merupakan siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”. Dalam politik, ruang ideal itu sangat sulit ditemukan, sebab begitu sulit membedakan antara kepentingan dan niat baik. Bahkan meskipun ada niat baik pasti ada kepentingan yang tersembunyi dibaliknya. Dalam konteks ber-Indonesia, dengan beragam identitas yang berkembang, perbedaan kultur, etnis, adat istiadat, perbedaan agama, dan perbedaan kelompok, semakin membuka peluang terjadinya polarisasi dan demarkasi nilai akibat adanya poitics interest. Merupakan hal yang bisa dimengerti jika dikaji menggunakan pendekatan Erving Goffman dalam analisisnya terhadap perilaku manusia. Goffman menjelaskan bahwa manusia memiliki dua sisi yang dimainkan dalam dua ruang yaitu front stage dan back stage. Setiap manusia ketika menunjukkan diri di ruang publik, hal itu tidak akan sama dengan apa yang terjadi ketika ia sendiri atau bersama dengan kelompoknya. Goffman menjelaskan bahwa manusia itu adalah makhluk sandiwara sehingga pada dasarnya manusia selalu butuh panggung untuk show off, menunjukkan dirinya, mencari perhatian, menampilkan kepalsuan demi mendapatkan perhatian dari orang lain. Ruang politik menjadi panggung yang paling memungkinkan untuk menunjukkan itu semua, baik secara personal ataupun kolektif. Dari asumsi ini kita dapat mengerti mengapa politik itu selalu dipenuhi oleh kepentingan dan kepalsuan.

Oleh karena itu, dalam momentum politik menjadi pragmatis itu adalah pilihan yang diharuskan, sebab semua sedang berperan, membawa kepentingan identitas masing-masing. Organisasi membawa kepentingan organisasinya, daerah membawa kepentingan primordialnya dan partai politik membawa kepentingan partainya. Semua bertarung, semua berpihak, semua melegitimasi diri sebagai yang terbaik. Namun, sebagai penekanan, pragmatis yang ingin kita bawa di sini ialah pragmatisme terhadap nilai-nilai positif. Dalam menentukan sikap politik, tentu semua itu tidak akan terlepas dari hal-hal pragmatis. Maka perlu dipastikan bahwa sikap pragmatis ini akan membawa dampak positif untuk organisasi. Oleh karena itu perlu dipetakan agar pembaca dan kader dapat memahaminya dengan baik. Pragmatisme yang dimaksud ialah bahwa melalui inisatif-inisiatif politik diharapkan hal itu dapat membuka akses dakwah organisasi, meluasnya ruang-ruang perjuangan organisasi, menjadi sarana mewujudkan cita-cita organisasi baik dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan dakwah. Menjadi ruang untuk menguji kekompakan kader dan jamaah, sebab jika sudah kompak dalam ruang yang paling sensitif dan memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, maka akan terasa mudah untuk kompak dalam hal yang lain.

Keterlibatan dalam politik diharapkan dapat mempermudah kader untuk mendapatkan akses-akses yang bisa mengimprove kapasitas dirinya, baik itu berupa beasiswa pendidikan, akses mendapatkan pekerjaan, pengembangan karir, kemandirian ekonomi dan lain-lain. Mendapatkan kemudahan dalam proses hukum dan administrasi sebab daya jangkaunya tidak akan terlalu jauh sehingga ketika ada kebutuhan hukum dan administrasi prosesnya tidak memakan waktu yang berkepanjangan. Membuka ruang untuk dapat memberi perhatian penuh kepada jamaah dan kader dalam semua profesi yang digelutinya. Jamaah yang berprofesi sebagai petani bisa mendapatkan akses distribusi yang cepat dari hasil sawahnya, yang berprofesi sebagai nelayan bisa mendapatkan akses pemasaran hasil laut dengan skala yang lebih luas, bukan hanya regional tetapi nasional bahkan internasional, dan masih banyak lagi hal pragmatis lainnya yang bisa menguntungkan organisasi secara nilai dan materil. Lalu kenapa politik? sebab politik telah menyentuh semua lapisan sosial masyarakat sehingga tolak ukur paling logis untuk mendapatkan semua akses-akses itu ialah terlibat dalam posisi-posisi strategis di pemerintahan. Apakah ini sikap yang egois? tentu tidak, sebab tolak ukurnya adalah pada nilai positif dan diluar sana orang lain juga memainkan peran serupa.

Di saat orang lain tengah melakukan hal serupa dan tanpa mengetahui niat yang terselubung dibaliknya, maka memilih untuk pragmatis itu hal yang wajar dengan catatan kita memahami betul apa yang sedang kita perjuangkan. Bukankah kita sadar dan yakin bahwa yang sedang kita perjuangkan ini adalah kebaikan? lalu apakah kita juga bisa menjamin yang kelompok lain perjuangkan juga adalah kebaikan? mengapa harus berspekulasi. Oleh karena itu, tolak ukurannya bukan lagi pada personality melainkan kolektivitas. Itulah mengapa dalam setiap momentum, kompak utuh bersatu itu merupakan spirit perjuangan yang menjadi fondasi dasar dalam bergerak.

Selain memperjuangkan nilai-nilai positif tadi, sebagai organisasi, dalam merespon isu politik, kita juga harus bersikap pragmatis secara moral. Dalam berorganisasi moralitas di atas segalanya. Memang semua punya rasio dan akal sehat, namun rasio dan akal sehat yang lahir dari banyak pikiran tidak akan pernah menyatu tanpa adanya moralitas. Menjalankan roda organisasi tentu rasio dan akal sehat sengat diperlukan, tetapi rasio dan akal sehat harus dibatasi pada kebutuhan dialektika. Setidaknya ada empat ruang dialektika yang lebih urgent untuk kita lakukan secara intens, empat ruang itu yakni ekonomi, pendidikan, sosial dan dakwah. Basis dialektikanya harus berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga pemetaan arah perjuangan organisasi bisa lebih terukur. Namun, sayang sekali kita masih sangat pasif dalam hal itu, dan ketika bicara politik semua menganggap diri paling cerdas, hal yang selama ini dipahami dengan sangat keliru oleh sebagian besar kader.

Memang menjadikan politik sebagai ruang dialektika bukan hal yang salah tetapi kurang tepat. Sebab politik adalah ruang kesepakatan dan keberpihakan, jalan untuk kita menuju sesuatu yang diharapkan. Maka lebih tepat jika hari ini fokus diskusi kita ialah fokus pada strategi memperjuangkan ekonomi, pendidikan, sosial dan dakwah melalui inisiatif-inisiatif politik, secara logis hanya ruang itu yang paling memungkinkan kita untuk mendapatkan akses yang paling cepat dalam mewujudkan cita-cita organisasi. Maka dialektika yang baik dalam konteks kita sebagai kader adalah bagaimana kita sama-sama memetakan arah kebijakan organisasi dalam ruang politik ini sehingga segala niat baik yang diharapkan dapat dilaksanakan. Jalan ini sudah ditempuh oleh pemimpin tertinggi, maka sebagai bagian dari organisasi kita harus mengedepankan moral daripada rasio dan siap mengikuti arah perjuangan pimpinan. Paling tidak kita merasa sedih jika pimpinan kita direndahkan oleh kelompok lain, merasa tidak ikhlas jika membiarkan pimpinan tertinggi berjuang sendiri, paling tidak kita siap berada di belakang pimpinan ketika pimpinan butuh support dan dukungan. Kalaupun langkah yang ditempuh hari ini membuahkan hasil yang baik, paling tidak kita bisa berbangga diri melihat sang guru mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan melalui posisi itulah segala cita-cita dan niat baik dapat dilaksanakan dan diwujudkan. Tentu untuk memahami ini, kita hanya bisa menggunakan moral bukan rasio.

Oleh karena itu, sebagai penutup. Di antara semua poin penting yang disampaikan dalam tulisan ini, moralitas di atas segalanya. Sikap politik HIMMAH NWDI adalah keputusan moral yang dihasilkan melalui proses berpikir yang panjang. Sebagai hamba yang berorganisasi kita wajib taat, percaya dan mengedepankan moralitas di atas rasionalitas. Maka dari itu, sebagai kalimat terakhir, penulis ingin mengajak seluruh pembaca khususnya kader untuk menghayati salah satu wasiat renungan masa yang ditulis oleh Maulan Syeikh yang mengatakan, “tidak ada artinya berorganisasi, kalau instruksi tidak ditaati. Itu namanya bernafsi-nafsi, bernafsu-nafsu membakar diri”.

Semoga tulisan membawa manfaat untuk kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *