Lombok Barat – Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Barat (WALHI NTB) gelar konsolidasi dan pelatihan paralegal bagi kelompok tani lingkar hutan di wilayah perhutanan kaki Rinjani Desa Karang Sidemen Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) dan Desa Karang Bayan Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Jum’at (25/3).
Kegiatan tersebut bertujuan untuk memperkuat persatuan dan meningkatkan kapasitas kaum tani lingkar hutan dan meneguhkan peran organisasi rakyat dalam menjaga hutan dan mempertahankan wilayah kelolanya sebagai sumber penghidupan.
Pelatihan paralegal secara khusus, bertujuan untuk membekali kaum tani dan masyarakat lingkar hutan tentang pengetahuan dasar atas hukum dan upaya pertahanan dan pembelaan diri dalam berbagai perkara hukum yang terkait dengan keselamatan diri. Serta hak akses dan kelolanya atas hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Kegiatan konsolidasi dan pelatihan paralegal tersebut dihadiri masing-masing 37 orang dari perwakilan kelompok tani Desa Karang Bayan dan Desa Karang Sidemen. Selain itu dihadiri juga perwakilan dari Kepala Seksi Perencanaan Pengelolaan Hutan dan kepala Sektor Jangkuk KPH Rinjani Barat, Kepala Desa, Pokdarwis, dan Ketua Gapoktan.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTB, Amri Nuryadin, SH mengatakan, WALHI adalah organisasi yang menjalankan peran advokasi, kampanye, dan pemberdayaan serta bentuk-bentuk pembelaan lainnya terhadap masyarakat, baik yang berada di kawasan hutan, pesisir, maupun di wilayah perkotaan.
Basis utama pelaksanaan perannya berfokus pada kelestarian lingkungan hidup, keadilan iklim, serta pengelolaan dan distribusi sumber daya alam yang berkeadilan, dengan prinsip-prinsip perlindungan dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan dan keadilan gender.
WALHI meyakini bahwa pengorganisasian maupun penguatan terhadap organisasi-organisasi rakyat adalah salah satu dasar kekuatan bagi WALHI. Artinya, kata dia, WALHI menyandarkan perjuangannya berdasarkan kepentingan dan keadaan konkrit yang dihadapi oleh rakyat.
Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan bagi penghidupan Rakyat, Amri mengatakan, WALHI secara nasional memiliki konsep yang disebut Wilayah Kelola Rakyat (WKR), sebagai pijakan untuk mewujudkan keadilan dan kedaulatan bagi rakyat dalam mengakses, mengelola, dan menikmati sumber daya alam sebagai sumber penghidupannya, baik di kawasan hutan maupun pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Konsepsi WKR sendiri dalam tatanan pembangunannya memiliki empat pilar, yakni tata akses, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi,” jelas Amri.
Amri menambahkan, secara khusus di sektor kehutanan, WALHI bertekad untuk ambil bagian terus memperkuat organisasi-organisasi rakyat lingkar hutan melalui berbagai upaya peningkatan kapasitas dan pendampingan untuk mendapatkan akses dan kedaulatan dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam lainnya sebagai sumber penghidupan masyarakat lingkar hutan.
“Sekaligus sebagai Pilar perlindungan terhadap hutan agar tetap lestari dan terlindungi dari berbagai potensi kerusakan,” tukasnya.
Masih kata dia, WALHI berkomitmen untuk ambil peran dalam proses perjuangan masyarakat lingkar hutan dalam mendapatkan izin hak kelolanya, maupun dalam memajukan kelembagaan masyarakatnya, serta dalam mengembangkan pengelolaannya atas hutan.
“WALHI saat ini juga sedang merancang pembangunan plot-plot pelatihan dan pusat-pusat pembelajaran bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di sekitarnya, serta pembangunan sistem distribusi untuk menyambungkan masyarakat secara langsung dengan pasar produksinya atas hasil hutan,” pungkasnya.
Kepala Resort Rinjani Barat, Edi Resmiyadi mengatakan, KPH berharap dan sangat berkepentingan untuk melakukan sinergi dengan seluruh elemen masyarakat dan lembaga lainnya untuk menjaga kelestarian hutan.
“Kami bersyukur dengan kehadiran WALHI NTB yang saat ini berkomitmen untuk mendampingi masyarakat lingkar hutan, khususnya di Desa Karang Bayan yang merupakan salah satu dari enam desa yang merupakan cakupan Wilayah tugas dan tanggung jawab sebagai salah satu instrumen Pemerintah di Kecamatan Lingsar,” ujarnya.
Dengan demikian, kata dia, kami berharap segala hal yang menyangkut perizinan dan hal administratif lainnya dapat diproses dengan cepat dan lancar.
Ketua Kelompok Tani Argapura Desa Karang Bayan, Ariadi mengatakan, petani lingkar hutan Desa Karang Bayan sangat berharap agar segera mendapatkan izin pengelolaan kawasan, sehingga tidak selalu merasa was-was dan tertekan dalam mengelola hutan.
Untuk itu, kami berharap agar tetap didampingi oleh WALHI NTB, baik dalam proses mendapatkan izin kawasan, penguatan organisasi, maupun dalam pengelolaan kawasan yang terintegrasi ke dalam perspektif perlindungan terhadap hutan, lingkungan, serta pemanfaatan atas kawasan tersebut dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Desa Karang Sidemen, M. Romy menegaskan, petani lingkar hutan Desa Karang Sidemen telah mendapatkan izin pengelolaan kawasan tersebut dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1998 seluas 403 hektar, yang digarap oleh 721 Kepala Keluarga (KK) yang tergabung kedalam 17 kelompok tani.
Namun hari ini, kelompok mendapat masalah berkaitan dengan luasan wilayah HKm yang kami kelola hanya 360 hektar, sementara 30 hektar lainnya diklaim oleh TAHURA melalui izin yang diperoleh pada tahun 2017, dan sisanya digunakan untuk pengelolaan mata air.
“Sebagian anggota kelompok tani pengelola HKm, saat ini berada di atas klaim kawasan Tahura dan terikat dalam kontrak kemitraan dengan Tahura,” ujarnya.
Selain overlapping izin, kata dia, klaim tersebut berdampak pada berkurangnya riil area kawasan kelola masyarakat Desa Karang Sidemen.
Dampak lainnya, kelompok harus membayar distribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang melebihi luas area yang sebenarnya kami kelola. Selain itu, masyarakat yang telah terikat dalam kontrak kemitraan Tahura bahkan harus membayar double dari hasil pengelolaannya atas kawasan, yaitu sharing untuk membayar PNBP dan bagi hasil dengan Tahura pada sisi yang lain.
Romi juga menambahkan bahwa, pihaknya juga memiliki masalah terkait harga hasil produksi pengelolaan hutan. Menurut dia, petani masih sulit mengakses pasar, sehingga hasil hutan yang dikelola, maupun produk dari olahan hasil hutan yang diproduksi tidak dapat menjangkau pasar dengan harga yang layak dan menguntungkan bagi petani.
“Sebagai contoh saja, satu tandan buah pisang harganya hanya Rp. 2000, buah Alpukat hanya Rp. 2000-6000/Kg. Demikian juga dengan hasil alam lainnya yang harganya sangat rendah,” ujarnya. (HH)