Jakarta – Dalam rangkaian penutupan peringatan hari bumi 2022, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Eksekutif Daerah WALHI Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Papua (BANUSRAMAPA) mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengevaluasi dan menghentikan ekspansi investasi skala besar yang selama ini merusak sekaligus menghancurkan bentang alam BANUSRAMAPA.
Tak hanya itu, WALHI mendesak pemerintah untuk segera menegakkan hukum bagi para pelaku pencemaran laut.
Bentang alam di Bali, NTB, dan NTT, terancam oleh ekspansi proyek infrastruktur dan industri pariwisata; Bentang alam Maluku Utara terancam oleh ekspansi industri pertambangan nikel dan perkebunan kelapa sawit, sedangkan Papua terancam oleh ekspansi industri pertambangan, infrastruktur, dan perkebunan kelapa sawit.
Pada saat yang sama, wilayah perairan di lima wilayah ini juga terdampak pencemaran yang sangat parah akibat masifnya industri ekstraktif. Bali menghadapi degradasi hutan mangrove yang sangat parah dan hilangnya kawasan pesisir yang berubah menjadi kawasan perhotelan, hutan Maluku Utara terus tergerus dan lautnya tercemar oleh limbah pertambangan, serta sungai-sungai dan wilayah perairan di Papua terus tercemar limbah tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Dalam sepuluh tahun terakhir, NTB dan NTT, tak lepas dari pencemaran laut akibat industri tambang mineral, migas, dan PLTU. Pencemaran di Teluk Bima yang baru saja terjadi menunjukkan pencemaran terus terjadi tanpa adanya penegakan hukum.
Pencemaran Laut
Kurang dalam sepekan ini, Nusa Tenggara Barat digemparkan dengan terjadinya pencemaran laut dan pesisir di Perairan Teluk Bima. Permukaan laut di sepanjang perairan Teluk Bima, tepatnya di sepanjang pantai Amahami, Lawata dan sekitarnya ditutupi oleh busa kental berwarna kecoklatan setebal kurang-lebih 10 cm.
Sementara air di bawahnya juga menunjukkan perubahan warna menjadi kehitaman. Hamparan busa yang menyebar semakin luas di permukaan laut bahkan terlihat bagaikan padang pasir.
Walaupun perubahan warna pada perairan pesisir tersebut tidak disertai dengan perubahan bau yang menyengat, namun dampaknya telah merusak ekosistem dan biota laut setempat dan dirasakan oleh masyarakat sekitar, dimana telah menyebabkan banyaknya ikan-ikan yang mati di seluruh wilayah terjadinya pencemaran.
Nelayan bahkan tidak berani melaut, selain karena takut atas dampak pencemaran tersebut secara langsung, juga takut atas kemungkinan adanya kandungan racun pada ikan-ikan diseluruh wilayah perairan tersebut. Nelayan-nelayan Budidaya yang bahkan jauh dari pusat wilayah pencemaran, sudah merasakan dampaknya, dimana ikan-ikan dan jenis budidaya mereka banyak yang mati.
Dampak langsung lainnya, bahwa dalam dua hari pasca kejadian tersebut, terdapat setidaknya sepuluh orang Warga di Kabupaten Bima mengalami keracunan setelah mengkonsumsi ikan mati yang bersumber dari wilayah terdampak pencemaran tersebut.
Kenyataan lainnya yang semakin mengkhawatirkan, seluruh gejala pencemaran yang muncul di permukaan tersebut tampak semakin tebal dan dalam waktu yang relatif cepat sudah menyebar semakin luas, bahkan sudah memasuki perairan Kabupaten Bima.
Walaupun pihak Pemerintah belum menyebutkan penyebab utama terjadinya peristiwa tersebut, Direktur Eksekutif WALHI NTB, Amri Nuryadin, menduga keras bahwa hal tersebut terjadi akibat dumping limbah yang bersumber dari kegiatan usaha di sekitarnya. Lebih jauh, WALHI NTB juga menduga adanya kemungkinan yang disebabkan oleh limbah kegiatan usaha Pertamina yang ada persis di sekitar area pencemaran tersebut.
Dugaan WALHI NTB bahwa pencemaran tersebut besar kemungkinannya disebabkan oleh dampak kegiatan usaha Pertamina, karena di sekitarnya memang terdapat tangker penampungan minyak milik pertamina yang juga memiliki pipa yang tertanam di dalam laut. Pihak Pertamina belum memberikan klarifikasi atau tanggapan apapun.
“Demikian juga dengan pemerintah setempat, belum melakukan tindakan pencegahan ataupun pemulihan selain uji lab sampel busa dan air yang diambil dari wilayah yang tercemar,” tambahnya.
Menurut Amri, berdasarkan PERDA Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP-3-K) di dalam pasal 48 ayat 2, bahwa Teluk Bima masuk sebagai salah satu kawasan pemanfaatan alur laut untuk pemasangan kabel/pipa bawah laut, tepatnya dimana kegiatan usaha pertamina berada.
“Hal ini memperkuat dugaan bahwa peristiwa pencemaran air laut akibat dumping limbah yang terjadi di sepanjang laut Kota Bima tersebut, diduga berasal dari kegiatan usaha pertamina atau bahkan mungkin adanya kebocoran dari pipa bawah laut yang berada di sekitar kawasan teluk Bima,” tegasnya.
Di tempat yang berbeda, Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengecam peristiwa pencemaran laut di Teluk Bima, NTB. Peristiwa ini akan berdampak negatif bagi ruang kelola nelayan dan rusaknya daya dukung laut.
“WALHI NTT menyatakan solidaritas bagi para nelayan dan masyarakat setempat yang terkena dampak. Selain itu, meminta Pemda NTB untuk meminimalisir dan menghentikan luasan pencemaran karena berpotensi juga mencemari laut di NTT,” ungkap Umbu.
Umbu mengingatkan negara bahwa peristiwa pencemaran dan pengrusakan kawasan pesisir dan laut juga terjadi di NTT. Beberapa diantaranya, kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor, Kasus pencemaran oleh PLTU Bolok di Kupang serta pencemaran oleh PLTU Ropa di Ende. “Ini sudah sangat menyusahkan dan berdampak negatif ribuan masyarakat khususnya para nelayan dan daya dukung alam,” tegasnya.
Umbu menambahkan praktek pencemaran pesisir dan laut di NTT berpotensi makin menggila kedepannya, dengan masuk investasi pariwisata skala besar, industri monokultur tambang.
“WALHI NTT meyakini dengan kondisi NTT yang belum punya kebijakan pengelolaan ramah lingkungan maka investasi investasi itu akan memperparah kondisi di NTT. Soal sampah industri saja mungkin sudah jutaan ton mencemari perairan di NTT. Sampai sekarang NTT bahkan belum miliki kebijakan pengurangan sampah secara massif,” terang Umbu Wulang.
Pencemaran Laut dan Penghancuran Pulau Pulau Kecil di Maluku Utar. Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela mengecam kejadian pencemaran yang terjadi di teluk Bima. Peristiwa ini sangat berdampak buruk bagi warga 4 desa yang bermukim di wilayah pesisir barat dan pesisir timur teluk Bima terutama dampak bagi nelayan.
Pemanfaatan potensi perikanan di wilayah pesisir teluk Bima oleh masyarakat di wilayah terdampak limbah dipastikan lumpuh total dan nelayan mengalami kerugian ekonomi akibat dari dampak ekologi dan ekonomi. Untuk itu Pemerintah NTB harus segera memastikan upaya pemulihan ekonomi dan ekologi serta menindak tegas para pihak yang menyebabkan pencemaran di teluk Bima.
Walhi Maluku Utara mendukung sepenuhnya dan solidaritas kepada seluruh nelayan 4 desa di pesisir barat dan pesisir timur teluk Bima yang saat ini merasakan dampak pencemaran limbah. Peristiwa yang terjadi di teluk Bima menjadi bukti bahwa kondisi perairan di Indonesia khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sedang dalam bahaya.
Negara masih meletakkan pesisir laut sebagai bagian terpisah antara daratan dan laut, sehingga dalam upaya penguasaan dan pengelolaan dalam konteks pemberian izin investasi tidak mempertimbangkan dampak yang terjadi dari hulu ke hilir.
Kondisi yang terjadi di Bima juga terjadi di Maluku Utara, dimana provinsi Maluku Utara yang Maluku Utara yang merupakan salah satu Provinsi kepulauan di Indonesia dengan luas wilayah 145.801,1 Km2 dengan luas daratan 45.069,66 Km2 atau 23,72 persen dan luas perairan-nya 100.731,44 Km2 atau 76,28 persen telah dihuni oleh investasi pertambangan, perkebunan monokultur sawit dan industri kehutanan yang berakibat penurunan kualitas lingkungan di pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara.
Jika model kebijakan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang masih meletakkan investasi sebagai lokomotif pendapatan ekonomi tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terutama pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, maka dipastikan masyarakat dan pemerintah provinsi Maluku Utara akan menanggung beban kehancuran ekologi secara masif dan biaya pemulihan ekologi dipastikan sangat besar yang harus ditanggung akibat kesalahan pemerintah.
Deforestasi hutan Papua dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Papua mengalami penurunan yang sangat signifikan seluas 663.443 hektar. WALHI Papua mencatat, setiap tahun rata-rata hutan alam Papua hilang seluas 34.918 hektar. Angka deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektar.
Berdasarkan riset lapangan kurun Mei – Oktober 2019, diduga limbah sawit mencemari sungai Porowai dan Manguwaho di Kaptiau.
Direktur WALHI Papua, Maikel Primus Peukimengatakan, berdasarkan hasil uji sampel menunjukkan nilai indeks pencemaran air di Sungai Maguwaho adalah 12,63 atau dikategorikan tercemar sedang skala tiga. Sedangkan air Sungai Porowai diperoleh nilai indeks pencemarannya dikategorikan cemar skala empat.
Di lapangan, kata Maikel Primus Peuki, perempuan dan anak adalah kelompok rentan dari pembukaan lahan perkebunan sawit. Selain itu, Konflik horizontal terjadi antara masyarakat adat dengan masyarakat adat, masyarakat adat dengan perusahaan, dan masyarakat adat dengan pemerintah.
“Perampasan lahan masyarakat adat terjadi karena tidak ada transparansi dengan mekanisme FPIC yang kredibel. Misalnya masyarakat adat Kapitiauw tidak mengetahui tanah ulayat mereka dilepaskan dan masuk dalam areal konsesi perusahaan sawit,” ungkapnya.
Ekspansi Proyek Infrastruktur di Pesisir dan Taman Hutan Raya Mangrove Bali.
Pada 31 Januari 2022, Kementerian PUPR melakukan penataan mangrove yang berada di kawasan Tahura dan ditargetkan kelar seluruhnya pada September 2022 sehingga dapat digunakan sebagai showcase mangrove di KTT G20.
Menanggapi hal tersebut, Direktur WALHI Bali, Made Krisna “Bokis” Dinata, S.Pd menyampaikan bahwa ajang showcase mangrove di KTT G20 tersebut, menguji keseriusan Pemerintah dalam menjaga mangrove tahura. Karena, menurut Bokis, dibalik showcase mangrove untuk KTT G20 tersebut, masih ada permasalahan yang mengancam mangrove di Tahura Ngurah Rai, seperti Perpres 51/2014 yang sampai saat ini masih mengancam Teluk Benoa untuk direklamasi.
“Sampai saat ini Perpres 51/2014 yang menjadi instrumen hukum untuk mereklamasi Teluk Benoa masih berlaku”, ujarnya.
Bokis juga menegaskan, dalam perhelatan internasional tersebut, selain memastikan Mangrove di Tahura Ngurah Rai tersebut bersih dari sampah, Pemerintah juga seharusnya memastikan Tahura Ngurah Rai bersih dari izin-izin yang berpotensi merusak kelestarian Mangrove di tahura, dengan cara mencabut Perpres 51/2014 dan kembali menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Jika hal tersebut dilakukan Pemerintah, maka pemerintah layak menampilkan mangrove dalam perhelatan G20.
“Tindakan itu menjadi tolak ukur apakah pemerintah serius untuk melindungi Mangrove Tahura”, tutup bokis.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali menemukan bahwa hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai mengalami penyusutan seluas 62 hektare.
Walhi Bali juga mempertanyakan apa penyebab penyusutan tersebut yang dimana hal tersebut terkuak dalam konsultasi publik terkait penataan blok Tahura Ngurah Rai yang digelar oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali pada 23 Agustus 2021 lalu.
“Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena dari masa ke masa area Tahura terus menyusut. Pada saat ditetapkan, Tahura luasnya 1.203,55 hektare sekarang tersisa 1.141,41 hektare,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Bokis Dinata.
Reklamasi pengembangan Pelabuhan Benoa yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III telah menyebabkan kerusakan alam, yaitu matinya kawasan hutan bakau (mangrove) di sekitar daerah tersebut seluas 17 Hektar. “Sampai detik ini tidak ada langkah konkret dari pemerintah Bali untuk memperbaiki mangrove yang rusak,” tandasnya.
Tak lupa juga kami WALHI Bali turut bersolidaritas terhadap apa yang menimpa Teluk Bima dan masyarakat yang disekitarnya akibat pencemaran limbah minyak. Kejadian tersebut justru memperparah dan menambah deretan kerusakan pesisir dan menambah fakta jika pesisir kita dalam keadaan yang terancam.
“Tidak hanya oleh pembangunan yang eksploitatif terhadap alam yang mendegradasi kualitas lingkungan akibat merubah bentang alam, namun dari aktivitas perusahaan yang teledor dalam beroperasi dan mengancam hajat hidup orang banyak” imbuhnya.
Selamatkan BANUSRAMAPA, Tegakkan Hukum untuk Pelaku Pencemaran Laut
Wilayah BANUSRAMAPA merupakan bagian penting dari Indonesia. Dengan karakter geografi yang bercorak kepulauan, wilayah perairan, dan hutan tropis yang sangat penting, bentang alam di lima wilayah ini merupakan surga terakhir yang harus dijaga untuk generasi yang akan datang.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddin, menegaskan, eksploitasi sumber daya alam di BANUSRAMAPA atas nama investasi hanya akan mewariskan Indonesia yang collapse pada masa yang akan datang.
“Dengan demikian paradigma dan praktik pembangunan selama ini yang bercorak eksploitatif dandestruktif di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, tidak boleh dijiplak (copy paste) begitu saja di BANUSRAMAPA karena memiliki bentang alam dan kerentanan yang berbeda dengan pulau-pulau besar,” ungkapnya.
Terkait dengan pencemaran laut, dia menjelaskan bahwa telah sejak lama terjadi. Sejak tahun 1999 sampai tahun 2022 tercatat sebanyak 43 kasus pencemaran laut yang didominasi oleh tumpahan minyak (data terlampir). Namun sayangnya, penegakan hukum terkait dengan pencemaran laut di Indonesia tidak menggembirakan.
“Penegakan hukum itu terkait dengan sanksi terhadap pencemar, pemulihan ekosistem laut, dan pemulihan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, masih tidak jelas sampai sekarang,” katanya.
Ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menegakan hukum sebagaimana yang dimandatkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. (*)