Lombok Barat – Program Studi Sosiologi Universitas Mataram menggelar Seminar Nasional dengan tema Pembangunan Berkelanjutan Masyarakat Pesisir & Kepulauan: Pariwisata, Mitigasi Bencana, Pendidikan, dan Resolusi Konflik. Seminar ini juga dirangkaikan dengan presentasi panel hasil kajian dari para peneliti, akademisi, praktisi dan beberapa pihak lainnya. Kegiatan ini dilakukan secara bauran antara online dan offline yang dilaksanakan di Hotel Jayakarta, Kamis (2/12).
Rosiady H. Sayuti, Ph.D. selaku Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Mataram dalam sambutannya menyampaikan bahwa saat ini Program Studi Sosiologi Universitas Mataram fokus pada isu kajian Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sehingga tema yang diusung pada Seminar Nasional Sosiologi 2021 kali ini yaitu Pembangunan Berkelanjutan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan. “Kita harapkan kepada para pemakalah dapat berkontribusi pada seminar kali ini dengan kajian pesisir dan kepulauan yang akan dipublikasikan di jurnal Resiprokal, JSEH, dan RCS,” ucapnya.
Menurutnya, berbagai permasalahan pembangunan di daerah pesisir saat ini masih jauh dari pemerataan. Padahal potensi sumber daya alam lautan Indonesia begitu melimpah. Kondisi ini tentu membutuhkan berbagai upaya dan strategi untuk mengatasi persoalan yang ada.
Sementara itu, dalam pemaparan materinya Prof. Wiresapta Karyadi, Guru Besar Sosiologi Universitas Mataram menyampaikan potret masyarakat pesisir dan kepulauan di Indonesia masih bergelimang kemiskinan yang sudah berlangsung secara sistemik dan sejak lama.
Oleh sebab, itu dibutuhkan upaya untuk membangun eksistensi masyarakat pesisir dan kepulauan kembali pada jati diri dan martabat bangsa yang merdeka dan berdaulat. “Sangat perlu, solusinya adalah pembangunan berkelanjutan melalui kesadaran masyarakat yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi yang dibangun secara berkesinambungan,” bebernya.
Permasalahan Sumber Daya Alam pada masyarakat pesisir dan kepulauan merupakan persoalan penting yang menjadi perhatian kita bersama. Permasalahan ini juga menjadi perhatian pemerintah dan ditetapkan sebagai salah satu program prioritas sebagai visi pembangunan ekonomi hijau bagi masyarakat pesisir dan kepulauan.
Sosiolog Unair yang juga Asisten Staf Juru Bicara Presiden, Novri Susan, Ph.D, menyampaikan pentingnya pembangunan yang sensitif konflik. Sebab konflik yang tidak terkelola dan tidak dapat terselesaikan maka pembangunan tidak akan berkelanjutan. “Sebab energi dari berbagai aktor yang ada hanya akan fokus menghadapi konflik,” tegasnya.
Lanjutnya, dalam pembangunan berkelanjutan, tata kelola konflik menjadi salah satu pilar penting. Ketika masyarakat dan pemerintah dapat membangun sebuah kelembagaan tata kelola konflik maka keniscayaan pembangunan berkelanjutan akan lebih cepat tercapai. “Pembangunan berkelanjutan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk dicapai daripada ketika tidak memiliki tata kelola konflik yang baik,” jelasnya.
Sementara itu, pada tahun 2020 hingga 2024 Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi secara akumulasi sebesar 544 triliun rupiah. Bahkan secara nasional NTB masuk ke dalam sepuluh besar kerugian terbesar pada sektor kelautan dengan akumulasi kerugian sebesar 15,32 triliun. “Sehingga tekanan terhadap kebencanaan di daerah pesisir semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim,” ucap Dr. Moh. Taqqiudin selaku Direktur Konsepsi NTB saat memaparkan materinya.
Salah seorang peserta, Dodi, menekankan pentingnya pasca kegiatan ini untuk membuat semacam policy brief kepada pemerintah sebagai tindak lanjut apa yang telah disampaikan para narasumber. “Ini menjadi penting untuk kemudian dijadikan sebagai rekomendasi kebijakan dan harus pula dikawal bersama,” ujar Dodi. (*)