Abdul Gafur, lahir 28 tahun silam di Lombok Timur tanpa Ibu sejak berusia 9 bulan karena ibunya meninggal dunia. Ia hidup sebatang kara sejak usia balita hingga dewasa. Sebab Ayahnya sejak tahun 1990 keluar masuk ke negeri jiran Malaysia menjadi buruh sawit hingga tahun 2023. Hingga sang ayah sempat merasakan jeruji besi hingga 3 kali di negeri jiran.
Tak pernah merasakan kasih sayang sempurna dari kedua orang tua sejak balita, Gafur dibesarkan oleh neneknya. Ayahnya, yang berlatar belakang dari keluarga miskin hanya dengan merantau lah menjadi penolong satu-satu nya untuk menopang ekonomi keluarga. Tak pelak kemudian, bukan materi dalam bentuk rumah, tanah atau sebongkah berlian yang diwariskan kepada Almarhum Gafur. Akan tetapi, warisan menjadi buruh migran.
Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi buruh migran sampai ajal menjemput. Almarhum sudah 3 kali keluar masuk negeri jiran menjadi buruh migran. Teramat naas nasib Gafur, kepergiannya yang ketiga kali ini Almarhum pergi untuk selamanya di ujung bedil suku iban, Malaysia. Ia meregang nyawa dengan luka tembak tak wajar, lebih dari 5 peluru bersarang di tubuhnya. Sampai saat ini jenazah Almarhum disemayamkan di Serawak, Malaysia Timur.
Yang lebih menyesakkan lagi, Latifa (5 tahun) dan Cahaya (8 Bulan) adalah 2 putri kesayangan Almarhum Gafur. Tentu usia yang belum mengerti dan mengetahui apa itu kematian. Latifa dengan muka yang ceria saat bermain dengan teman sebayanya ketika kami berkunjung kerumahnya. Sama sekali tidak mengetahui, Ia takkan pernah lagi berjumpa dengan bapaknya untuk selamanya, selama-lamanya. Cahaya, anak kedua dari Almarhum Gafur lebih ironis lagi, balita malang ini tak pernah satu detik pun bertatap muka secara langsung dengan sang bapak. Sebab, Ia ditinggal pergi merantau ketika masih berusia 8 bulan didalam kandungan. Cahaya mengikuti jejak bapaknya ditinggal oleh orang tua menghadap sang khalik di usia 8 bulan. Sungguh Ironi, Semoga kelak Jalan hidupmu gilang gemilang Nak.
Sementara, sang istri … Seperti tampak tak memiliki harapan lagi untuk hidup, pikirannya berkecamuk, tergambar jelas apa yang ada di benaknya . Ia berharap suaminya bisa dipulangkan dan dimakamkan di kampung halamannya agar kelak ia bisa menunjukkan pusara suaminya kepada 2 putri tercintanya. Dan tentu, sejak kabar meninggalnya suaminya itu sampai ke telinganya beberapa waktu lalu, Ia menjadi orang tua tunggal yang akan menjalani hidup dan kehidupannya bersama 2 putrinya yang jelita, Latifa dan Cahaya.
Semoga jalan sejarah tidak selalu meminggirkan hidup mereka. Latifa dan Cahaya juga berhak untuk hidup bahagia.
SEMOGA