menghitung jarak ke mars
menghitung jarak ke mars
lalu kita pergi menghilang
kita tidak akan di sini lagi
udara semakin mengental
penuh kemacetan di permukaan kata-kata banner sepanjang jalan kota
suara-suara mesin kendaraan, obrolan-obrolan di sebuah ruang yang sia-sia
sebelum perang sebagai monument kebajikan dalam mata pelajaran sejarah kita
dan kita harus membacanya dalam keadaan terpaksa di meja kerja
di tengah-tengah pemanasan global antara anak-anak miskin
yang meminta-minta dan orang-orang kaya yang tampil bijaksana
semuanya berputar bersama-sama di dekat kita
lalu menjadi cuaca yang selalu mendesak dalam keadaan lapar,
lalu membisik pada kita ‘kekacauan datang’
kekacauan datang
saat cinta sudah tidak bisa tumbuh aman dari berbagai harapan
tapi mars terlalu jauh
itu sebabnya kita pergi menghilang
meninggalkan diri kita
jauh dari kesia-siaan
tapi mars terlalu jauh
menghitung jarak ke mars juga sia-sia
bahkan di dalam puisi ini
sekali lagi, itu sebabnya kita pergi menghilang
rahim
selama sembilan bulan
aku adalah mimpi
di dalam kandungan
ibu selalu mengajariku
bagaimana cara menjadi anak-anak
dan tumbuh menjadi bianglala
nanti, saat waktunya aku dilahirkan
ibu menjanjikan surga di telapak kakinya
di sana aku tumbuh besar
juga tempat ibu menyayangi
dan mengajakku tumbuh bersama bunga
sebagai balasannya
aku menjadi anaknya
dan berusaha penuh dengan cinta
di sebuah pantai
pada suatu petang
keinginan-keinginan bermula dari laut,
mimpi yang luas dan tidak bisa kau taklukkan
pada suatu petang, saat langit mengalah pada warna merah pekat
kau diam menatapnya di sebuah pantai: sebuah batas
yang memisahkan tubuhmu dengan angan-angan itu
dan kau hanya laki-laki biasa
dengan rumah tangga yang rentan luka
setiap melangkah kau selalu terhempas ombak
yang mengirimkanmu buih-buih janji
lalu mendesak ke paru-parumu
sesaat sebelum ditarik kembali ke laut,
melebur lagi sebagai mimpi-mimpimu
mencoba istirahat
mengistirahatkan diri dalam kata-kata
tapi mereka perlahan-lahan membuatmu kecewa
sebab, semakin kau tahu siapa dirimu, semakin kau peka
kau melihat segalanya adalah sia-sia
Zajima Zan, tinggal di Aikmel, salah satu kecamatan tertua di Lombok Timur. Menyelesaikan sarjana pendidikannya di Universitas Hamzanwadi. Pernah menjadi ketua bidang Kepenulisan di Sanggar Narariawani dan membubuhkan karya-karyanya bersama teman-teman komunitas dalam antologi puisi Merawat Kenangan (2018). Ia juga, pada tahun 2020, pernah memerankan tokoh Pozo dari naskah Menunggu Godot karya Samuel Beckett dalam pementasan akhir tahun Teater Kapas Putih. Menguatkan niatnya sebagai penulis di komunitas nirlaba, Rabu Langit. Telah menerbitkan Buku Kumpulan Cerpen yang judulnya Aku Menanggalkan Tubuhku, Kemudian Menjadi Dirimu (2018).
Media Sosial IG: Pintu Puisi