Sastra  

Sajak-sajak Zajima Zan

sumber: pexels.com

menghitung jarak ke mars

 menghitung jarak ke mars

lalu kita pergi menghilang

 

kita tidak akan di sini lagi

udara semakin mengental

penuh kemacetan di permukaan kata-kata banner sepanjang jalan kota

suara-suara mesin kendaraan, obrolan-obrolan di sebuah ruang yang sia-sia

sebelum perang sebagai monument kebajikan dalam mata pelajaran sejarah kita

dan kita harus membacanya dalam keadaan terpaksa di meja kerja

di tengah-tengah pemanasan global antara anak-anak miskin

yang meminta-minta dan orang-orang kaya yang tampil bijaksana

 

semuanya berputar bersama-sama di dekat kita

lalu menjadi cuaca yang selalu mendesak dalam keadaan lapar,

lalu membisik pada kita ‘kekacauan datang’

kekacauan datang

saat cinta sudah tidak bisa tumbuh aman dari berbagai harapan

 

tapi mars terlalu jauh

itu sebabnya kita pergi menghilang

meninggalkan diri kita

jauh dari kesia-siaan

 

tapi mars terlalu jauh

menghitung jarak ke mars juga sia-sia

bahkan di dalam puisi ini

sekali lagi, itu sebabnya kita pergi menghilang

 

rahim

 selama sembilan bulan

aku adalah mimpi

di dalam kandungan

 

ibu selalu mengajariku

bagaimana cara menjadi anak-anak

dan tumbuh menjadi bianglala

 

nanti, saat waktunya aku dilahirkan

ibu menjanjikan surga di telapak kakinya

di sana aku tumbuh besar

juga tempat ibu menyayangi

dan mengajakku tumbuh bersama bunga

 

sebagai balasannya

aku menjadi anaknya

dan berusaha penuh dengan cinta

 

di sebuah pantai

pada suatu petang

 keinginan-keinginan bermula dari laut,

mimpi yang luas dan tidak bisa kau taklukkan

pada suatu petang, saat langit mengalah pada warna merah pekat

kau diam menatapnya di sebuah pantai: sebuah batas

yang memisahkan tubuhmu dengan angan-angan itu

 

dan kau hanya laki-laki biasa

dengan rumah tangga yang rentan luka

setiap melangkah kau selalu terhempas ombak

yang mengirimkanmu buih-buih janji

lalu mendesak ke paru-parumu

sesaat sebelum ditarik kembali ke laut,

melebur lagi sebagai mimpi-mimpimu

 

mencoba istirahat

 mengistirahatkan diri dalam kata-kata

tapi mereka perlahan-lahan membuatmu kecewa

sebab, semakin kau tahu siapa dirimu, semakin kau peka

kau melihat segalanya adalah sia-sia

 

Zajima Zan, tinggal di Aikmel, salah satu kecamatan tertua di Lombok Timur. Menyelesaikan sarjana pendidikannya di Universitas Hamzanwadi. Pernah menjadi ketua bidang Kepenulisan di Sanggar Narariawani dan membubuhkan karya-karyanya bersama teman-teman komunitas dalam antologi puisi Merawat Kenangan (2018). Ia juga, pada tahun 2020, pernah memerankan tokoh Pozo dari naskah Menunggu Godot karya Samuel Beckett dalam pementasan akhir tahun Teater Kapas Putih. Menguatkan niatnya sebagai penulis di komunitas nirlaba, Rabu Langit. Telah menerbitkan Buku Kumpulan Cerpen yang judulnya Aku Menanggalkan Tubuhku, Kemudian Menjadi Dirimu (2018).

Media Sosial IG: Pintu Puisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *