Dongeng Anak Negeri
Dongeng apa lagi yang kau ceritakan padaku
menusuk telingaku hingga berdarah-darah
Sepotong kain saja belum selesai kau rajut
Kain yang lain sudah kau koyak dan robek-robek
Pemandangan apalagi kau perlihatkan padaku
mencolok mataku hingga bernanah-nanah
Satu lubang belum selesai kau timbun
Malah kau buat lubang-lubang beruntun
Setiap lorong kudengar nyanyian-nyajian terkutuk
Setiap layar kusaksikan mulut-mulut busuk
Inikah tarian kaum bermodal
Ataukah kompromi elit brutal
Lombok Timur, 18/10/22
Kidung Whatsapp
Hati kita ditautkan di era empat titik kosong
Di mana orang-orang berlomba viral meskipun bohong
Otak manusia sudah tertukar oleh aplikasi gadget
Maka, tak ada pilihan lain kecuali harus berburu kuota internet
Kita pun tiba di sebuah malam yang begitu halu
Emotikon warna tahi dengan ekspresi yang lebih mirip monyet kau kirim lewat aplikasi hijau
Aku pikir, bagaimana harus membalasmu,
Aku memilih bentuk yang lebih mirip anjing
Lalu kau balas dengan kata,
“Dasar Kau Anyiiiing”
Busyeet, Bagaimana monyet dan anjing bisa bertemu di musim gigil ini.
Yang ada hanya pertaruhan melawan ego sendiri
Bukankah kita tak ingin itu terjadi?
Cukuplah hubungan kita seperti hape dan silikon
Meskipun siapa yang jadi hape, siapa yang jadi silikon, kita tak peduli.
Sebab tak cukup waktu untuk berdebat soal itu lagi
Kita cuma butuh rindu yang saling mengerti.
Lombok Timur, 02/11/22
Suatu Hari di Sebuah Musim
Aku berdiri di tepi jurang kehidupan
Kutatap langit yang penuh beban
Rembulan enggan bercerita
Malam yang begitu payah
Tak ada senda gurau serangga
Tak jua burung-burung bercerita
Begitu pun gelak tawa katak muara
Aku hanya mendengar jerit hatiku sendiri
Sesekali ususku beringas
Adakah roti hambar yang bisa diremas-remas
Bukan, bukan itu maksudku
Ini soal waktu
Soal jam dinding yang tak berkelamin
Jarum detik dan menitnya yang disiplin
Nadinya terus berdenyut berlalu
Derap langkahnya menyusuri hari
Namun tak akan pernah kembali lagi
Sementara aku hanya menyesali
Lombok Timur, 16/10/22
Tentang Penulis
Abduh Sempana (nama pena), nama asli Abdul Hayyi, lahir 1983 di Dasan Tumbu Desa Tumbuh Mulia, Kec. Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. Suka menulis cerpen, puisi, dan artikel untuk kebutuhan blog pribadinya basindon.blogspot.com
Karya-karyanya yang sudah diterbitkan antara lain Lelaki di Ujung Sunyi (kumpulan cerpen, 2020), Jejak Tersapu Ombak (kumpulan puisi, 2013), dan beberapa karya dalam bentuk buku antologi bersama penulis lain.
Sekarang masih aktif mengajar di MTs NW Boro’Tumbuh. Selain itu aktif pula di Komunitas Literasi Madrasah (Ka-Lam) yang didirikannya pada 2017 lalu.