Mataram – Qwadru P Wicaksono sering blusukan, mencari kopi yang berkualitas, kebun kopi masyarakat dimulai dari Pulau Lombok, ke Timbanuh, Joben, Bornong, Pringga Jurang, Aikmel Utara, TeteBatu, Sapit, Sajang, dan Sembalun, lalu ke Sumbawa sampai Bima.
Menurut Qwadru, ketika ngobrol via telpon Senin (31/10), “Sekarang saatnya musim panen kopi, mari kita blusukan,” ajaknya.
Menyebut jenis Kopi Arabika sembalun yang ditanam di daerah tinggi, menurutnya mengandung kandungan antioksidan yang semakin banyak, tumbuh di atas tanah pegunungan membuat biji kopi Sembalun memiliki aroma menyegarkan saat diseduh.
Tak heran di antara biji-biji kopi yang dihasilkan di Lombok, biji kopi Sembalun punya harga yang paling tinggi.
“Per kemasan 500 gr saja, biji kopi Sembalun bisa memiliki harga hingga di atas seratus ribuan dan kalau sudah di roasting bisa sampai 500 ribu lebih per kilo,” terangnya.
Di Sembalun sendiri sudah mulai dikembangkan, seperti yang dilakukan kebun kopi Sembalun Bumbung seluas 10 Ha, yang mencoba melakukan pembenihan sendiri kemudian membagi-bagikan kepada calon petani kopi.
Qwadru, sang penemu puluhan cita rasa kopi di Nusa Tenggara Barat (NTB), Ia mengaku prihatin karena nama kopi NTB justru belum menasional. Bahkan yang merajai di Lombok adalah kopi-kopi sachetan yang bahan bakunya entah didatangkan dari mana.
Bicara kopi, kata Qwadru, berarti bicara tentang Dunia. Karena hampir seluruh penjuru negeri, kopi bukanlah komoditas asing. Kopi bahkan telah menjadi komoditas penting bagi suatu negara hingga melakukan penjajahan kepada bangsa lain.
Di Nusa Tenggara (Nusra), jejak-jejak penjajahan juga masih tersimpan sejarahnya di sebuah kawasan kopi di desa Oi Bura, kecamatan Tambora, Kabupaten Bima NTB juga potensial sebagai daerah penghasil kopi kualitas dunia.
NTB beruntung, menjadi daerah penghasil kopi. Jenis kopi Robusta dan Arabika adalah kekayaan lokal yang belum terkelola dengan baik. Sayangnya lagi, kata Qwadru, sampai saat ini, kopi NTB belum menasional. Orang hanya familiar dengan kopi dari daerah-daerah tertentu. Sebut saja kopi Gayo dari Sumatera atau kopi Kintamani dari Bali.
“Disayangkan pengembangan kopi di daerah ini justru terkesan sebelah mata,” kata pensiunan Kementerian PDT ini.
Enam tahun lebih, Qwadru telah mengeksplorasi tanah-tanah tempat tumbuhnya pohon kopi. Dari ujung barat, sampai ujung Timur NTB. Dari sanalah ia menjumpai potensi pengembangan kopi yang cukup besar di NTB.
Kopi NTB menurutnya memiliki cita rasa yang beragam. Satu kawasan, bisa menghasilkan cita rasa yang berbeda-beda.
Menjadi petani kopi menurut Pakar kopi ini, ibarat menjaga perempuan yang harus dibedak, digincu da dirawat sehingga ia menjadi cantik. Demikian juga kopi, tidak bagus batangnya berlumut, atau bersemut, apalagi bersemak. Faktor-faktor itulah yang memengaruhi kualitas kopi dan citarasa yang dihasilkan.
Lebih lanjut Qwadru menjelaskan, Kopi boleh ditanam tumpang sari dengan pohon lain. Misalnya pohon buah. Karena dengan tumpang sari, cita rasanya juga akan berpengaruh. Misalnya, tumpang sari dengan durian, rasa kopinya beraroma durian. Tumpang sari dengan tumbuhan rempah-rempah, rasanya kopinya beraroma rempah-rempah.
Di Oi Bura ditemukan ada 4 spesies kopi yaitu kopi Robusta, Arabika, Liberika dan Excelsa dan terdapat 17 Varietas kopi di sana. Masing-masing dengan cita rasa dan aroma yang berbeda beda. “Satu rasa yang juga unik, kopi beraroma Nangka jenis Liberika bila kita campur dengan gula pasir maka rasanya akan berubah kopi beraroma Vodka,” ujar Qwadru.
Di sebuah kawasan kopi di desa Oi Bura, kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Dalam penjelajahannya, dirinya, menemukan kawasan kopi bekas penjajahan Belanda. Kopi khas aroma nangka ini menurutnya cerita Masyarakat setempat yang dijumpainya.
Dulu Belanda membuatnya kawasan khusus, petaninya tidak sembarangan dan penikmatnya juga tak sembarangan. Bekas-bekas gudang kopi dan peralatan Belanda juga masih bisa dijumpai. Sebagai bukti sejarah, NTB dulunya daerah jajahan untuk dikuasai kopinya.
“Artinya, menurut Qwadru, kita tidak saja menjual kualitas dan cita rasanya. Kita bisa juga menjual story’ atau sejarahnya terutama kepada tamu asing pasca pandemi covid -19 para wisatawan mulai berdatangan, misalnya saat WSBK Nopember mendatang. Kita bisa memperkenalkan kopi NTB kepada tamu-tamu kita dari luar negeri,” tegasnya
Selama melakukan eksplorasi, ia juga transfer ilmu pengetahuan tentang kopi kepada petani-petani kopi. Terbukti, di tahun kedua, cara petani berbeda memperlakukan pohon kopinya. Dari cara menanam, merawat, bahkan panen, biji kopi yang dipanen juga diajarkan tak sembarangan. Demikian juga pengelolaan pascapanen. Transfer ilmu pengetahuan dilakukan.
Terbukti, di tahun kelima, petani kopi yang didampinginya membuktikan dari sisi cita rasa yang didapatnya. Kualitas kopi, kata Qwadru, ditentukan 60 persen dari proses di petaninya. 30 persen di pascapanen dan 10 persen di barista (peraciknya). Dari Wangi-wangi De Ngupi-lah ia sedang berusaha mengangkat marwah kopi NTB.
“Karena cita rasa kopi kita tidak kalah dengan cita rasa kopi yang sudah terkenal dari daerah-daerah lain. Hanya saja belum terlalu diperhatikan dari hulu sampai ke hilir,” demikian ungkap Qwadru. (Asbar)