Umum  

Menyapa Pagi di Tepi Sawah

Tak seperti biasa. Pada akhir pekan yang cerah ini, tak tau kenapa kakiku tiba-tiba saja beranjak mengitari embun-embun pagi di sawah para petani. Berjalan perlahan layaknya pengantin di tengah iring-iringan di jalan raya. Ku saksikan langit masih gelap disambut cuitan burung-burung yang berterbangan.

Embun pagi membasahi sandal jepitku tiap langkah yang aku pijakkan. Namun perlahan semakin hilang ketika Mentari pagi bermunculan dari arah timur. Bundar penuh dengan silauan saat aku arahkan pandangan padanya. Ku pandangi langit, penuh dengan kebiruan. Menandakan cuaca hari ini tengah bersahabat bagi para pencari rezeki jalanan pun persawahan.

Kupandangi pepohonan kelapa, sejauh mata memandang. Terus menjulang dengan diam-diam. Iya, diam, sebab tak nampak suara angin berhembusan yang kerap mengajaknya bergoyang dan menari-nari. Kupandangi pepadian, ada yang hijau, ada yang kekuning-kuningan. Menandakan Pak Tani sebentar lagi menikmati hasil jerih payahnya.

Ada juga yang tengah berbaring sudah agak kecoklat-coklatan. Menandakan pak tani sudah menuai hasil dari panennya. Ada juga yang sudah dijejerkan untuk dikeringkan dan dijual kepada para pengrajin Gerabah di Desa ku. Ya, tak lantas ditumpuk atau dijejerkan kemudian dibakar di tempat (sawah) seperti banyak ku lihat di dearah lain yang kurang pemanfaatan. Di Desa ku, jerami kerap dimanfaatkan sebagai bahan pembakaran Gerabah. Bahkan saat musim penghujan tiba, harganya bisa berlipat.

Kaki ku terus melangkah. Berhenti sejenak tatkala melihat ibu-ibu tengah bercengkrama dengan pohon-pohon cabai di tengah sawah. Sepertinya mereka buruh tani harian yang tengah disuruh memetik buah cabai oleh pemilik sawah. Entah berapa upah mereka. Perkilo mungkin. Atau mungkin saja perkarung. Atau bisa saja borongan. Entahlah aku tak tau. Mau bertanya terkesan tak enak.

Tiba-tiba saja, seseorang dari mereka melontarkan pernyataan padaku ketika melihat aku mengarahkan kamera HP ke sudut-sudut sawah. “Pagi-pagi sudah moto-moto, belum saatnya orang ngaro” katanya mencandaiku. Lalu ku dekati mereka sembari mengarahkan mata kamera kapada mereka yang tengah asik saling intip dan main petak umpet dengan buah-buah cabai yang tengah dipetiknya.

Ternyata benar saja, mereka semua adalah buruh tani yang sedang diminta petani atau pengepul untuk memetik cabai dengan sistem upahan. “Siapa yang punya sawah ini?” tanyaku pada mereka yang sedang main petak umpet sama buah padi. “Inaq Mul” jawab seseorang. “Ternyata benar, mereka buruh tani yang sedang mencari upah. Entah harian. Entah hitungan kiloan. Entah karungan”. Ujarku dalam hati. Tapi yang jelas, raut-raut muka mereka seolah tanpa beban dan penuh keceriaan dan kegembiraan meski sebentar lagi trik sinar matahari akan menghantam tubuh keriput ibu dan nenek-nenek ini.

Saat bercengkrama dan mengobrol satu sama lain, mentari pagi sudah semakin tinggi. Saat ku arahkan pandangan padanya, seperti telur mata sapi yang siap saji. Ku balikkan arah dari para Kartini-kartini pejuang rupiah yang penuh semangat ini. Di tengah jalan menuju pulang, ku temui salah seorang petani yang sedang memegang sabit. Saat ku tanya, ternyata dia sedang mengarahkan air ke sawahnya yang sedang panen. Bukan panen cabai. Bukan juga panen padi. Namun panen Kangkung. Terlihat banyak buruh tani yang sedang memilah kangkung yang layak untuk dipetiknya. Namun sama saja kayak buruh-buruh tani cabai yang tadi aku lihat. Saling intip kayak main petak umpet.

“Mau menyabit rumput” tanyaku melihat dia sedang membawa sabit. “Tidak, lagi mengangkat sampah yang menyumbat arus air di selokan” jawabnya. Setelah itu, aku tinggalkan dan balik melangkahkan kaki ke arah pulang. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah berugak reot milik salah seorang petani. Ku mampir sembari melihat dan duduk di atasnya. “Siapa sih yang punya, kok enggan untuk diperbaiki. Jangankan manusia, nyamuk atau lalat saja kalo lagi berkerumunan, pasti reot” ucapku dalam hati.

Kutinggalkan dan berlalu menuju pulang sembari menyaksikan Mentari yang sudah beranjak naik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *