Mataram – Politisi TGH Najamuddin Mustafa mengungkapkan kekagumannya kepada anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan asal dapil NTB II (Pulau Lombok) H Rachmat Hidayat. Bagaimana tidak, Najamuddin mengaku H Rachmat Hidayat merupakan sosok politisi senior yang nyaris tidak ada politisi lain yang mampu mengimbangi pemikiran, sumbangsih, dan kinerjanya untuk masyarakat NTB.
Dijelaskan Najam, dalam perjalanan karier politiknya yang secara generasi berada di bawah H Rachmat Hidayat, Najam mengaku mulanya tak begitu tertarik dengan gaya politik H Rachmat Hidayat.
Sejak dahulu, Najam mengaku jarang sealiran pemikiran di kancah politik dengan H Rachmat Hidayat. Namun, perbedaan itu justru membuat Najam kian penasaran. Akhirnya, dirinya mengamati gerak-gerik dan tingkah-polah politik yang dijalankan H Rachmat Hidayat.
“Saya mengamatinya sejak usia belasan tahun, sekitar 1982. Saya mengenal beliau, sering datang ke tempat saya, bertemu kakak saya. Saya tidak pernah membayangkan jadinya akan seperti ini. Yang saya bayangkan Rachmat Hidayat ini orang “jenggo” lah. “Begal” lah gayanya. Apa yang mau saya dapatkan dari orang semacam ini. Maka saya ndak mau ikuti,” kata Najamuddin di hadapan H Rachmat Hidayat saat santap siang di Prime Park Hotel Mataram pada Selasa (22/8).
Sejak ia amati mulai tahun 1987-1988, hidup H Rachmat Hidayat, kata Najam memang seperti itu. Ia adalah sosok politisi yang lahir dari kelas bawah (akar rumput). H Rachmat Hidayat termasuk target operasi rezim orde baru bersama teman seperjuangannya yang lain semisal Raden Suweno dan Sutomo.
Yang paling berkesan dari figur H Rachmat Hidayat menurut Najam adalah perihal konsistensi dan loyalitas.
“Yang saya lihat di beliau ini soal konsistensi dan loyalitas. Dia berani melawan rezim orde baru dan cara melawannya kekeh dan tak surut. Hidupnya beliau seperti pengembara. Di kampung saya ndak asing lagi, wara-wiri di Sakra. Dia konsisten membela Megawati di saat orang lain lari karena gertakan orde baru,” ujarnya.
Dengan pengalaman dan upaya persekusi oleh rezim kala itu, Najam tak membayangkan bahwa sejarah politik H Rachmat Hidayat akan secemerlang ini. Semestinya, dengan keberanian berteriak lantang membela Megawati di saat masa krisis, H Rachmat Hidayat tentu sangat dekat dengan bahaya.
“Rachmat lahir dari golongan yang sangat bawah, tapi sekarang? nyaris tidak ada yang tidak mengenalnya di masyarakat bawah, apalagi politisi-pejabat kelas tinggi. Maka bagi saya politisi baru ini di bawah masa beliau, saya berkesimpulan bahwa beliau memang besar karena tidak pernah pilih-pilih, bergaul dengan semua orang dan kalangan, tidak melihat latar belakang,” jelasnya.
Nobatkan Sebagai Bapak Pluralisme NTB, Punya Kesamaan Pemikiran dengan Gus Dur
TGH Najamuddin yang juga merupakan Putra Kandung salah seorang ulama yang menyebarluaskan ajaran Nahdlatul Ulama (NU) di NTB yakni TGH Mustafa Ghazali kelahiran Dusun Batu Sambak Desa Montong Tangi Kecamatan Sakra Timur Kabupaten Lombok Timur itu mengaku takjub juga dengan aliran pemikiran H Rachmat Hidayat. Salah satu yang paling mencolok menurut Najam adalah H Rachmat Hidayat mampu menjadi pengayom lintas kalangan.
Kebaikannya tak pandang bulu dan latar belakang manapun. Karakteristik itu, menurut Najam sangat relevan dengan pemikiran Presiden ke IV RI yang juga ulama kharismatik Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Dur dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Ia dikenal mampu menjadi ‘orang tua’ di balik keberagaman dan kemajemukan Indonesia.
“Saya pernah beberapa tahun ikut Gus Dur. Di Ciganjur saya kenal dengan Yenni Wahid putri beliau. Saya melihat ada persamaan cara berpikir H Rachmat Hidayat dengan Gus Dur. Saya bilang begini dari hati saya. Beliau ini sangat nasionalis, pluralismenya tinggi. Dia perlihatkan itu dalam setiap tindakannya, pikirannya mencerminkan kebangsaan,” jelasnya.
Najamuddin mencontohkan, H Rachmat Hidayat getol sekali membangun sarana ibadah bagi umat agama lain semisal Hindu dan Nasrani. Tak hanya tempat ibadah, H Rachmat Hidayat pula membangun sarana pendidikan bagi kelompok masyarakat agama lain di luar dirinya, yakni islam.
Sikap yang ditunjukkan politisi kharismatik Bumi Gora itu dinilai sangat berpegang teguh pada semangat kemanusiaan. Ia mengeliminasi perbedaan pandangan keberagamaan. Ia rajut itu dalam semangat kebhinekaan yang memiliki kesamaan hak sebagai anak bangsa.
“Ketika tokoh kita membangun masjid, pesantren, itu biasa. Tetapi ketika ada orang muslim membangun tempat peribadatan bagi orang Hindu, Nasrani, kita ndak salah mengatakan bahwa beliau sangat pluralis,” ujarnya.
Dengan sikap konsisten itu, anggota DPRD NTB itu mengaku tak salah jika dirinya memberikan label “Bapak Pluralisme NTB” kepada H Rachmat Hidayat.
“Maka saya berkesimpulan orang ini saya nobatkan sebagai Bapak Pluralisme NTB. Dari hasil kinerjanya, sangat paham keberagaman. Kalau Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia, Rachmat Hidayat yang Bapak Pluralisme di NTB,” bebernya.
“Saya ini tokoh NU, saya melihat bahwa seorang H Rachmat Hidayat sangat layak menjadi panutan kita. Baik dari sisi perilaku dan ketokohan (senioritasnya). Cocok jadi Bapak bangsa kita di NTB,” sambungnya.
Tak hanya melihat dari pandangan mata saja, Najam mengaku kiprah H Rachmat Hidayat juga diakui oleh kelompok umat agama lain. Najam mengaku sering bertanya kepada kawannya soal apa yang telah diperbuat H Rachmat Hidayat.
Menurut Najam, perhatian dan sumbangsih H Rachmat Hidayat telah diakui dan diacungi jempol. Taj hanya oleh kelompok masyarakat muslim, melainkan juga non-muslim.
“Saya juga bertanya kepada teman-teman Budha, dikatakan Rachmat orang baik, pengayom kita, bukan hanya islam. Di teman-teman China dan Nasran, apa respon mereka? Beliau itu orang bagus. Sangat perhatian ke kita. Kalau orang kami mengatakan bagus, kenapa kita tidak,” ulasnya.
“Ketika ada orang yang membangun tempat pendidikan agama lain, itu sangat luar biasa bagi saya. Bukan saya menyinggung, ngapain. Tapi ini bentuk perhatian dan kecintaan saya berdasarkan pandangan dan kacamata empirik dari apa yang beliau lakukan. Ini diakui nurani dan batin saya,” imbuh anggota Komisi I DPRD NTB itu.
Di NTB, kata Najam tidak ada politisi dan tokoh publik sekelas H Rachmat Hidayat. Secara pribadi, Najam mengaku tak akan mampu mengimbangi apalagi menyamai apa yang telah di darma-baktikan H Rachmat Hidayat kepada masyarakat NTB, khususnya Pulau Seribu Masjid.
“Tokoh NTB tidak ada yang seperti beliau. Saya sendiri ndak mampu mengimbangi pekerjaan beliau. Karena saya masih punya rasa takut, beliau punya tingkat keagamaan yang tinggi (makrifat) tidak peduli pandangan manusia. Ini maqomnya lain. Ini bedanya beliau dengan tokoh-tokoh kita yang lain. Ini jadi pelajaran, tauladan kita semua,” jelasnya.
Terakhir, Najam mengakui bahwa kemampuan dan ketajaman pemikiran yang dimiliki H Rachmat Hidayat tak diraih atau by given dari orang lain. Melainkan itu buah dari sejarah kehidupan panjang yang dijalaninya secara otodidak.
“Ini tidak mudah saya sampaikan. Dia ini menurut saya tidak dapat ilmu dari orang, dia dapat ilmu dari dirinya, perjalanan hidupnya dia dapat ilmu dari alam. Maka saya bangga, serius saya bangga,” jelasnya.
Dalam konteks NTB, Najam mengakui akan sangat sulit menemukan lagi tokoh seperti H Rachmat Hidayat. Butuh waktu ratusan bahkan ribuan tahun lagi untuk melahirkan sosok yang dapat mengimbangi apa yang telah diperbuat H Rachmat Hidayat. (*)