Umum  

Lima dari Sepuluh Orang di Enam Kota Besar di Indonesia Rentan terhadap Serangan Hoaks

Jakarta – Menurut hasil survei UNICEF dan Nielsen pada kwartal satu 2023, sekitar lima dari 10 warga Indonesia rentan terhadap serangan hoaks. Hal ini dikarenakan mereka  belum mampu mengenali ciri-ciri hoaks. Sementara itu, sekitar empat dari 10 warga lainnya mampu mengidentifikasi hoaks. Survei ini dilakukan oleh UNICEF dan Nielsen melibatkan 2.000  responden yang terpilih secara acak di enam kota besar Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

Hasil survei ini disampaikan pada Lokakarya Penguatan Kolaborasi Penanganan Hoaks Kesehatan di Jakarta, 27 Juli 2023. 

Dari survei ini juga ditemukan bahwa hanya sedikit (14%) warga Indonesia yang aktif mencari informasi untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima. Bila ternyata informasi tersebut hoaks, maka hanya 0,1% warga saja yang melaporkannya ke kanal-kanal yang tersedia. Sementara warga lainnya yang menerima hoaks kebanyakan mengabaikan saja (48%) dan  segera menghapus (25%). Lalu 18% warga lainnya mengaku menghindari atau memblokir sumber informasi tersebut. 

Selama pandemi COVID-19, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat lebih dari 2.300 isu hoaks COVID-19 tersebar di media sosial di Indonesia. Hoaks menimbulkan masalah dalam penanggulangan COVID-19, diantaranya keengganan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, dan keragu-raguan terhadap vaksinasi COVID-19. Hoaks ini  memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan dan melemahkan upaya penanganan kesehatan masyarakat. 

Rizky Ika Syafitri, Spesialis Perubahan Perilaku dan Sosial UNICEF Indonesia sekaligus Ketua Kelompok Kerja Risk Communication and Community Engagement (Pokja RCCE) mengatakan bahwa maraknya peredaran hoaks atau infodemi di Indonesia sangat berpengaruh pada upaya pencegahan penularan COVID-19 termasuk vaksinasi. Selanjutnya, Rizky menyampaikan bahwa hoaks juga dapat memicu keraguan masyarakat terhadap layanan kesehatan esensial lainnya, seperti imunisasi rutin untuk anak. 

UNICEF Indonesia melihat kebutuhan mendesak untuk memperkuat penanganan hoaks melalui kerjasama dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, akademisi dan pihak swasta. Dukungan UNICEF melalui Pokja RCCE, Mafindo dan ICT  Watch diharapkan dapat menghasilkan berbagai inovasi dan memperkuat upaya kolaborasi. 

Kerja Bareng Penanganan Infodemik di Indonesia

Mafindo telah memulai upaya penanganan hoaks sejak tahun 2016. Sejumlah upaya yang  dilakukan antara lain melakukan social listening, periksa fakta, pengembangan chatbot Kalimasada dan edukasi masyarakat. Dengan dukungan UNICEF dan Pokja RCCE, Mafindo melakukan sejumlah inovasi untuk memperkuat upaya penanganan hoaks yang dilakukan selama ini.

Pertama, Pengembangan dashboard Manajemen Infodemi dashboard.rcce.id yang menampilkan analisa dan visualisasi data dari berbagai data terkait sebaran hoaks, vaksinasi COVID-19, dan perilaku masyarakat. Dashboard ini dapat digunakan oleh pemangku kepentingan dan pegiat penanganan hoaks untuk menganalisa situasi, menentukan prioritas program dan perumusan kebijakan. 

Kedua, Pengembangan progressive web application cekhoax.id untuk masyarakat umum. Aplikasi ini menyediakan fungsi cek fakta, pelaporan hoaks, belajar literasi digital dan bergabung dalam komunitas penanganan hoaks. Ketiga, Pembentukan pokja manajemen infodemi di tujuh kota di Indonesia, yaitu: Surabaya, Semarang, Aceh, Makassar, Jayapura, Kupang, dan Mataram. Keempat, Pengembangan materi edukasi literasi digital untuk masyarakat umum. 

“Kita tidak bisa sendiri dalam menghadapi hoaks atau infodemi ini, masalahnya cukup rumit dan sumberdaya terbatas,” tambah Harry Sufehmi, Pendiri Mafindo. 

Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat juga dilakukan oleh ICT Watch. Dalam enam bulan terakhir, dengan dukungan UNICEF, ICT Watch melakukan pelatihan literasi digital di 10 kota di Indonesia, Pelatihan ini menggunakan pendekatan komunikasi antarpribadi (KAP). Pelatihan ini menyasar kader kesehatan, guru, siswa, pegiat sosial, penyuluh agama, pegiat digital dan anak muda di Surabaya, Mataram, Kupang, Semarang, Banda Aceh, Makassar, Ambon, Jayapura, Yogyakarta, dan Jakarta. 

Hingga saat ini, lebih dari 2.500 komunikator yang tersebar di 10 kota tersebut tengah aktif melakukan kegiatan edukasi tangkal hoaks langsung di tengah masyarakat. Sampai akhir Juni, lebih dari 85.000 orang terpapar dengan materi literasi digital. 

Indriyatno Banyumurti, Direktur Eksekutif ICT Watch menyampaikan, “Edukasi literasi digital harus menyasar berbagai kelompok di masyarakat dengan pendekatan yang lebih praktis. Tidak hanya dengan metode edukasi konvensional seperti kelas pelatihan, seminar dan sebagainya, tetapi juga harus dapat disampaikan oleh siapapun dan kapanpun. Pendekatan komunikasi antarpribadi atau KAP membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mampu menyampaikan pesan-pesan edukasi literasi digital dalam berbagai kesempatan dengan cara menyenangkan.”

Dalam sesi diskusi panel, Ibu Rizki Ameliah, Koordinator Literasi Digital dari Kemkominfo menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendirian di tengah derasnya gempuran hoaks. Penanganan bersama terbukti merupakan cara yang tepat untuk mengatasi sebaran hoaks di masyarakat. 

Hal serupa diungkapkan oleh Ibu dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid Kepala Biro Komunikasi dan Pelayan Publik Kemenkes. Beliau menyampaikan betapa hoaks kesehatan sangat penting untuk ditangani dalam bentuk kolaborasi. Hoaks dalam jangka panjang akan berdampak pada capaian program kesehatan dan status kesehatan masyarakat. Ia juga menyampaikan pentingnya memberdayakan kaum perempuan yang punya peran besar dalam menjaga kesehatan keluarganya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *