Mataram – Hingga saat ini Presiden Joko Widodo belum kunjung mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights atau Jurnalisme Berkualitas. Padahal sejumlah organisasi pers dan organisasi media telah menyepakati lahirnya regulasi tersebut.
Ketua Komunitas Kabar Baik, Satria Zulfikar Rasyid mengatakan regulasi tersebut dipandang perlu untuk melahirkan jurnalisme yang sehat di tanah air dan tentunya menekan peredaran informasi hoax.
“Saya rasa rancangan Perpres Publisher Rights ini sangat penting untuk segera disahkan oleh presiden. Mengingat salah satu klausul pasal menjelaskan peran platform digital untuk berkontribusi mencegah hoax,” katanya di Mataram, Senin 25 September 2023.
Selain menangkal hoax, melalui perpres tersebut juga mengatur tentang sistem bagi hasil antara platform digital dengan perusahaan pers. Platform digital yang menjalankan bisnis di Indonesia sudah seharusnya membayar setiap pemanfaatan konten berita pada platform tersebut.
Dijelaskan Satria, dalam klausul pasal rancangan perpres tersebut peran platform digital salah satunya adalah melakukan skema bagi hasil dengan perusahaan pers atas pemanfaatan konten berita.
“Era digital saat ini belanja iklan yang seharusnya masuk ke perusahaan pers sudah diambil oleh platform. Ini salah satu faktor yang menyebabkan media konvensional mati, seperti koran, majalah hingga radio. Belanja iklan yang masuk lebih cendrung ke platform digital,” ujarnya.
“Jadi jangan hanya mempermasalahkan social commerce seperti TikTok Shop aja, tetapi juga bagaimana raksasa teknologi itu menggerus segala pemasukan yang seharusnya diterima oleh perusahaan pers,” katanya.
Satria juga mengatakan konten kreator tidak perlu khawatir atas munculnya Perpres Jurnalisme Berkualitas, karena yang menjadi subjek hukum adalah perusahaan pers dan platform digital, bukan dengan konten kreator.
“Saya rasa yang dikhawatirkan konten kreator terlalu berlebihan. Subjek hukum dalam perpres tersebut mengatur hubungan hukum antara perusahaan pers dan platform digital, bukan dengan konten kreator,” ujarnya.
Sebelumnya konten kreator mengasumsikan konten mereka bakal tidak terdeteksi di platform digital jika Perpres Jurnalisme Berkualitas berlaku, yang mengharuskan mereka terdata di Dewan Pers, padahal domain konten kreator bukan di Dewan Pers tapi di Kemenkominfo.
“Logikanya saja hukum yang mengatur tentang kepolisian tidak bisa diterapkan di kedokteran. Begitu juga hukum yang mengatur tentang pers tidak bisa diterapkan di konten kreator,” jelasnya.
“Dewan Pers tidak punya kewenangan untuk mengawasi konten kreator. Pengawasan terhadap konten kreator tugas Kemenkominfo dan Polri bidang Cyber Crime bukan Dewan Pers. Jadi sangat salah kaprah jika menganggap Dewan Pers akan menyeleksi konten dari konten kreator. Urusan Dewan Pers hanya terkait dengan pers,” ujar dia.
Satria juga menjelaskan, wacana Perpres Jurnalisme Berkualitas muncul dari kegelisahan Presiden Jokowi karena 60 persen belanja iklan digital lari ke platform asing. Oleh karena itu muncul inisiatif untuk membuat regulasi dengan sistem bagi hasil oleh platform digital.
“Itu muncul atas keprihatinan Presiden Jokowi saat Hari Pers Nasional di Deli Serdang Sumatera Utara. Presiden saat itu mengatakan perlunya Perpres Jurnalisme Berkualitas,” katanya. (*)