Oleh: Rakha Ajinata
Staf Peneliti pada Lombok Research Center (LRC)
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah telah menjadi epicentrum bagi pembangunan pariwisata bagi daerah-lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah NTB yang menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu upaya pemerataan pembangunan ekonomi masyarakat, yaitu melalui pengembangan kegiatan wisata di pedesaan.
Salah satu daerah di NTB yang terlihat serius menggalakkan pengembangan wisata di pedesaan adalah Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Keseriusan pemerintah Lotim ini terlihat dari menjamurnya keberadaan desa-desa wisata dimana, hingga tahun 2021 telah ada 91 desa yang memperoleh Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah sebagai Desa Wisata.
Sebagai industri jasa, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lotim tentunya berharap bahwa melalui sektor pariwisata dapat memberikan kontribusi serta peran yang strategis didalam pembangunan perekonomian Lombok Timur. Selain itu, keberadaan desa wisata di Lombok Timur juga diharapkan akan memberikan kontribusi pada pendapatan asli daerah serta penciptaan lapangan kerja.
Keberadaan desa wisata di Lombok Timur sangat menarik untuk dicermati karena sejak digaungkannya kebijakan Pemprov NTB mengenai 99 Desa Wisata di NTB, banyak desa-desa di Lotim berlomba-lomba ingin menyandang status sebagai desa wisata tanpa diawali dengan suatu perencanaan dan pelibatan masyarakat secara umum. Sehingga, dari sekian banyak desa wisata di daerah ini hanya beberapa yang berkembang, selebihnya jalan di tempat.
Bagi Lombok Research Center (LRC) masyarakat tentunya harus memahami terlebih dahulu mengenai pariwisata perdesaan. Hal ini penting, karena menurut Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif (2019) terkait dengan konsep wisata perdesaan ada dua yaitu wisata pedesaan (village tourism) dan desa wisata (tourism village). Wisata pedesaan yaitu kegiatan pedesaan yang menekankan kegiatan wisata yang mengandalkan kegiatan wisata tidak terfokus pada kegiatan masyarakat didalamnya. Sedangkan menurut Hadiwijoyo (2012), desa wisata merupakan kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang yang khas, atau kegiatan ekonomi yang unik dan menarik serta memiliki potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan seperti atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya. Dari dua konsep tersebut perbedaaannya tampak jelas, yakni adanya pengalaman berinteraksi langsung dengan masyarakat dan sumber daya di desa.
Untuk itu, euforia pendirian dan pengembangan desa wisata oleh masyarakat di Lombok Timur tidak terjebak pada dua konsep tersebut, terutama terhadap fasilitas pariwisata yang ada. Hal ini penting untuk menjaga agar didalam kegiatan wisata di suatu desa wisata tidak membebani wisatawan dengan tiket namun, harusnya wisatawan didorong untuk membeli paket untuk tour di desa tersebut. LRC berharap bahwa ketika suatu desa terdapat objek wisata sudah langsung disebut desa wisata, padahal apabila menurut konsep pariwisata perdesaan itu masuk dalam konsep wisata desa.
Oleh karena itu, keberadaan 91 Desa Wisata di Lombok Timur diharapkan telah memenuhi kriteria dan bukan karena didorong oleh euforia semata. Adapun kriteria tersebut antara lain; Pertama, memiliki potensi produk atau daya tarik wisata, baik berupa alam, budaya dan karya kreatif yang unik dan khas. Berdasarkan hasil penelitian LRC menemukan terdapat desa-desa wisata di Lombok Timur yang terkesan dipaksakan yang dapat dilihat dengan berbagai fasilitas-fasilitas buatan sebagai daya tariknya dan bukan menawarkan keseluruhan suasana kehidupan mayarakat setempat yang tercermin dari keaslian kehidupan masyarakat. Semua itu tentunya dapat terlihat dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, bahkan sampai pada kekhasan tata ruang dan keaslian arsitektur bangunan yang ada. Semua itu menjadi potensi kegiatan ekonomi yang unik, menarik, dan menjadi potensi bagi desa untuk dikembangkan sebagai atraksi, akomodasi, kuliner, dan kebutuhan bagi wisatawan yang datang.
Kedua, didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pengelolaan desa wisata. Dukungan SDM ini tentunya sangat penting terutama apabila kita kaitkan dengan konsep desa wisata sebagai salah satu upaya pemerintah Lombok Timur meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pelibatan masyarakat secara aktif sangat diperlukan karena tolak ukur keberhasilan desa wisata tidak hanya pada peningkatan pendapatan saja. Dalam desa wisata berbagai pihak mendapatkan manfaat sekaligus membuat desa tetap lestari. Artinya, masyarakat lokal menjadi tuan rumah bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung ke desanya.
Desa wisata tersebut juga wajib memiliki lembaga lokal wisata, sudah ada pengurus dan struktur, sudah memiliki administrasi lembaga wisata, adanya frekuensi pertemuan antar pengurus, ikut serta dalam pelatihan wisata, memiliki kemampuan bahasa asing dan pelayanan serta aturan soal wisata yang disepakati oleh warga.
Ketiga, fasilitas sarana dan prasarana. Keberadaan fasilitas sarana dan prasarana di desa wisata sangat penting yang bertujuan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan dalam melakukan kunjungan wisatawan. Selain itu, keberadaan fasilitas tersebut juga akan mendukung interaksi antara penduduk lokal dengan wisatawan yang datang.
Hal ini sangat penting karena sesuai dengan konsep desa wisata yang menawarkan pengalaman dan pengetahuan baru seperti kegiatan pertanian secara umum dan belajar merasakan langsung kehidupan masyarakat pedesaan. Bahkan interaksi tersebut dapat dibangun di tempat akomodasi wisatawan yang dalam hal ini adalah homestay. Homestay pada desa wisata dimaknai sebagai rumah yang dihuni penduduk lokal. Setiap homestay menyediakan satu kamar untuk ditinggali wisatawan, sedangkan pemilik menempati kamar lain di dalam rumah yang sama. Homestay harus memadai yang berarti rapi, bersih dan memiliki kamar mandi sesuai standar kesehatan.
Akhirnya, LRC ingin menarik kesimpulan terkait dengan adanya ‘euforia’ pengembangan desa wisata di Lombok Timur dimana, kunci utamanya adalah pada pelibatan masyarakat desa. Hal ini sangat penting karena terkait dengan kesepakatan, tujuan, dan menjadikan desanya mau seperti apa. Bagi LRC, tidak penting memiliki desa wisata yang banyak namun, dampaknya sangat kurang bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang terpenting adalah kualitas dari suatu desa wisata, karena suatu desa yang berkualitas akan menjadi pendorong pemerataan perekonomian bagi desa-desa sekitarnya.
Jangan sampai semangat membangun desa wisata yang awalnya penuh totalitas, namun di tengah perjalanannya belum bisa optimal dan tenggelam oleh persaingan diantara desa wisata serta pelibatan dan peran masyarakat yang sangat minim akibat sejak awal merasa tidak dilibatkan didalam pengambilan keputusan untuk menjadikan desanya sebagai desa wisata.