Kita patut berbangga bahwa Lombok Timur mempunyai potensi pariwisata yang sudah diakui baik secara nasional maupun oleh dunia internasional. Pengakuan ini ditunjukkan dengan diraihnya berbagai juara pada beberapa ajang penganugerahan pariwisata. Sebut saja, Sembalun, pernah meraih World Best Halal Honeymoon Destination tahun 2016. Desa Kembang Kuning meraih Juara 1 pada Lomba Desa Wisata Nusantara Kategori Berkembang akhir tahun 2019.
Baru-baru ini, dunia kepariwisataan Lombok Timur khususnya, kembali menorehkan prestasi dengan terpilihnya Desa Wisata Tetebatu mewakili Indonesia pada ajang Best Tourism Villages (baca: Desa Wisata Terbaik) United Nation World Tourism Organisation (UNWTO) tahun 2021. Dengan ini tentunya Desa Wisata Tetebatu layak dibanggakan karena bisa masuk pada ajang Lomba Desa Wisata bertaraf Internasional. Terlepas dari hasilnya nanti, manfaat yang dapat diambil adalah keberadaan Tetebatu semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Namun demikian, euforia atas prestasi yang diraih tersebut tidak lantas membuat kita, khususnya pemerintah, lupa akan potensi wisata di desa-desa wisata yang lainnya. Jangan sampai torehan prestasi tersebut membuat abai pemangku kebijakan terhadap 88 Desa Wisata yang sudah ditentukan oleh Dinas Pariwisata Lombok Timur dalam kurun 2018-2019 yang lalu.
Salah satu kawasan yang layak menjadi perhatian untuk pengembangan wisata adalah kawasan selatan Lombok Timur, salah satunya adalah Kecamatan Jerowaru. Tujuh dari 15 Desa di Kecamatan Jerowaru ini sudah ditetapkan sebagai Desa Wisata melalui Keputusan Kepala Dinas Pariwisata Lombok Timur Nomor 188.47/432.a/PAR/2019 tentang penetapan Desa WIsata Kabupaten Lombok Timur Tahun 2019. Desa-desa Wisata tersebut adalah Sekaroh, Seriwe, Batu Nampar, Jerowaru, Ekas Buana, Kuang Rundun, dan Paremas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lalu Adi Permadi, dkk (2018), terdapat dua desa yang paling siap menjadi Desa Wisata, yaitu Desa Sekaroh dan Ekas Buana. Pada penelitian Identifikasi Potensi Desa Wisata di Kecamatan Jerowaru tersebut, dua desa tersebut memenuhi 6 dari 7 syarat Desa Wisata yang digunakan untuk identifikasi.
Kalau boleh kita fokuskan perhatian terhadap satu dari dua desa tersebut di atas. Maka Ekas Buana sudah selayaknya mendapat perhatian tanpa mengabaikan keberadaan Desa Wisata lainnya. Maka sudah tepat kiranya, pemerintah Lombok Timur memberikan perhatian kepada Desa Ekas Buana dengan melakukan penataan Potensi Wisata yang ada. Hal ini dipandang layak karena Ekas Buana bisa menjadi kawasan pendukung dari Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Selain alam yang potensial, juga jarak antara Mandalika dan Ekas Buana terbilang dekat. Apalagi jika ditempuh melalui jalur laut.
Apresiasi patut kita berikan kepada Pemerintah Lombok Timur dengan kesungguhannya menata kawasan Ekas Buana. Bagaimana tidak, lima Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dikerahkan untuk menata Desa Wisata Ekas Buana. Kelimanya adalah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) membangun jalan dan jembatan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) melakukan penataan pemukiman untuk warga yang direlokasi, Dinas Perumahan dan Permukiman membangun rumah untuk warga yang direlokasi dari sempadan pantai, Dinas Perhubungan melakukan penataan ruang area parkir dan pembangunan Jalan Setapak, dan Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu penataan keramba jaring apung.
Kolaborasi lima OPD di atas tentu akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pegembangan Desa Wisata Ekas Buana. Dengan catatan tentunya, perencanaan penataan tersebut sesuai dengan konsep pariwisata yang berkelanjutan. Karena kalau dilihat dari konsep yang ada sekarang ini, maka pariwisata yang akan dibangun adalah pariwisata massal (eng: mass tourism). Pariwisata massal ini adalah penyelenggaraan pariwisata (perjalanan wisata) yang melibatkan wisatawan dalam jumlah banyak. Tentunya ini juga didukung dengan tersedianya akomodasi penginapan yang ada di Ekas Buana maupun Desa di sekitarnya.
Patut dicatat, penataan pariwisata yang demikian masif, sampai menelan biaya sekitar Rp. 2,819,950,000 (sumber: Dishub Lotim), jangan sampai meminggirkan masyarakat desa setempat. Penataan dengan anggaran sebesar itu harus tetap memperhatikan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang mengusung konsep pemberdayaan masyarakat setempat. Pariwisata yang di dalamnya menjadikan masyarakat sebagai objek sekaligus pelaku wisata itu sendiri. Dengan demikian maka hajatan peningkatan ekonomi masyarakat melalui pariwisata bisa terwujud.
Di samping itu, penataan yang dilakukan ini juga harus tetap memperhatikan infrastruktur pariwisata yang sudah ada. Hotel dan akomodasi lainnya juga harus mendapat manfaat yang positif dan banyak dari proyek penataan ini. Jangan sampai sebaliknya, merugikan akomodasi yang sudah lama ada, yang notabene dikembangkan oleh investor. Yang mana investor bidang pariwisata ini bisa jadi mengusung konsep yang segmen pasarnya khusus, yaitu wisatawan yang tidak ingin berbaur dengan wisatawan lokal (private tourism). Karena dari sektor yang dikembangkan oleh investor ini pun Pemerintah Daerah bisa mendapat PAD yang tidak sedikit.
Kita meyakini bahwa, perencanaan penataan ini tentunya sudah dilakukan kajian sebelumnya sehingga lahir perencanaan dengan pengerjaan oleh kolaborasi lima OPD sekaligus. Dengan demikian maka manfaat sebesar-besar untuk rakyat setempat pada khususnya dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk pembangunan di Lombok Timur bisa diraih tanpa harus ada yang dirugikan dan merasa terzalimi oleh pemerintah itu sendiri. (editorial)