Opini  

Mengantisipasi Gejolak Harga Komoditas Strategis di NTB di masa PPKM Darurat

Oleh : Herman Rakha

Peneliti Lombok Research Center

 

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Mataram serta PPKM skala mikro di beberapa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata mempengaruhi harga beberapa komoditas pangan meskipun tidak terlalu ekstrim. Fluktuasi harga tentunya harus diwaspadai apalagi menjelang Idul Adha dimana biasanya menjelang hari besar keagamaan terjadi permintaan yang tinggi terhadap sejumlah komoditas.

Mengutip data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) yang terpantau per 15 Juli 2021 harga cabe merah di Kabupaten Lombok Timur mencapai Rp20.500/kg, sedangkan harga cabe merah di Kota Mataram mencapai Rp22.400/kg. sedangkan untuk jenis cabe rawit, harga di Kabupaten Lombok Timur mencapai Rp45.000/kg dan untuk Kota Mataram mencapai 37.650/kg. Tingginya harga cabai di Lombok Timur disinyalir karena tingginya permintaan pada beberapa daerah lainnya di NTB.

Harga cabe rawit per 9 Juli 2021 sebelum pelaksanaan PPKM darurat menyentuh harga Rp 38.750/kg dan untuk harga cabe merah Rp.23.100/kg. harga cabe ini tentunya dipengaruhi oleh banyaknya usaha kuliner yang terbatas operasionalnya dan penjualan untuk konsumsi rumah tangga juga tidak mampu untuk mengatrol penjualan.

Kenaikan harga produk pertanian ini tentunya tidak hanya datang pada saat pandemi Covid-19 saja namun, peringatan dini kekeringan meteorologis yang dikeluarkan oleh BMKG pada bulan Juni yang lalu patut diwaspadai, mengingat potensinya gangguan pada produksi dan distribusi pangan dan pertanian guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan FAO telah memberikan peringatan mengenai potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Covid-19 dan kekeringan.

Untuk menyikapi fenomena ini maka, seharusnya pemerintah daerah harus mampu untuk mengendalikan mekanisme pasar yang seringkali tidak mampu berlaku adil baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Apabila suatu permintaan terjadi secara alami dan berjalan normal, pastinya kegiatan pasar akan berjalan dengan stabil dan kondusif, tetapi sebaliknya bila pasar berjalan tidak normal dan penuh rekayasa, maka akan rusak.

Keberadaan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang merupakan wadah koordinasi berbagai instansi pemerintah selama ini hanya fokus pada rekomendasi dalam rangka menjaga ketersediaan pasokan, mendukung kelancaran distribusi sekaligus meminimalkan gangguan-gangguan (supply shocks) yang dapat mengganggu pasokan dan distribusi. Apabila ingin maksimal harusnya setiap Pemprov NTB serta pemerintah Kabupaten/Kota di dalam memiliki suatu lembaga pengawas pasar yang berperan untuk mengatur mekanisme pasar atau sebagai regulator atau pengawas yang bertujuan untuk mengontrol harga dan para pelaku pasar. 

Pemerintah daerah tidak harus menyerahkan sepenuhnya harga bahan pokok dan komoditas pertanian strategis lainnya pada mekanisme pasar, karena dapat dipastikan akan terjadi ketidakstabilan atau fluktuasi harga sehingga, akan mengganggu daya beli masyarakat, apalagi di tengah pandemi Covid-19 dengan aturan PPKM didalamnya seperti sekarang ini.

 

Kemampuan Adaptasi

Masyarakat NTB secara umum sama dengan masyarakat Indonesia yang seringkali menghadapi fluktuasi harga ketika musim-musim tertentu terlebih lagi pada hari-hari besar keagamaan. Namun, adanya pandemi ini tentunya memiliki kisah yang berbeda dan menyebabkan pemerintah menghadapi kendala di dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Lombok Research Center (LRC) terkait dengan rantai pasar beberapa komoditas pertanian di Kabupaten Lombok Timur, rantai pasokan atau distribusi produk pertanian masih dikuasai oleh “tangan-tangan” yang tak terlihat dan menguasai serta menjadi kunci atau penentu harga.

Bantuan-bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya membantu masyarakat bertahan di masa pandemi ini merupakan solusi jangka pendek namun, yang perlu dipikirkan adalah dampak jangka menengah dan jangka panjangnya. Pemerintah tentunya tidak selalu bisa memberikan bantuan sosial dalam bentuk uang disaat keuangan negara yang “belum sehat”, selain itu, pemberian bantuan sosial dalam bentuk uang tunai juga tidak efektif karena tidak mengedukasi masyarakat untuk mandiri.

Untuk jangka menengah, sebaiknya Pemprov NTB mendorong terbentuknya Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) pangan. Pemberian bantuan pada input pertanian  dan alsintan juga dapat menjadi solusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah dapat menjamin kepastian harga produk pertanian masyarakat NTB. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pemerintah daerah untuk menahan laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Data BPS menyebutkan luas panen padi di NTB pada tahun 2020 mencapai 272,193 ha, lebih sedikit dibandingkan tahun luas panen tahun sebelumnya yaitu 281,666 ha (2019) 289,368 ha pada tahun 2018 (BPS, 2021).

Akhirnya, kita semua tentunya berharap persoalan kenaikan harga beberapa komoditas strategis pertanian dapat kembali normal melalui suatu solusi yang terbaik, dan semoga pandemi Covid-19 ini cepat menghilang dari Indonesia terutama di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) agar perhelatan motogp cepat terlaksana. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *