Oleh: Imron Hadi, S.HI., M.HI.
(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Mataram)
SAMUEL P. HUNTINGTON dalam bukunya yang berjudul “The Clash of Civilization and Remarking of The World Order”, menyatakan bahwa “a central focus of conflict in the immediate future will be between the West and several Islamic-Confuse states” yang memprediksi konflik bakal terjadi di masa depan yakni antara Barat dan Islam serta sebagian penganut ajaran Confucius atau Cina. Lebih tegas lagi Huntington “menuduh” Islam (dengan doktrin jihadnya) akan menjadi ancaman serius bagi peradaban Barat dan Amerika pasca Perang Dingin” dengan Uni Soviet. Hipotesis tersebut secara tidak langsung memproyeksikan pandangan Barat terhadap Islam sebagai agama atau kelompok yang kerap dianggap “radikal” selama ini. Pemaknaan Islam sebagai ancaman (threat) membuat masyarakat Barat paranoid dan anti terhadap setiap simbol yang melambangkan identitas dan entitas Islam.
Menurut Karen Armstrong dalam “the Biography of Muhammad” menyatakan dalam pandangan Barat, Islam identik dengan agama pedang (the sword of religion), agama kekerasan (the cruel religion), ketidak-beradaban (uncivilized), intoleran, kebodohan dan tidak demokratis. Walaupun hal itu sudah dibantah habis oleh Jhon L. Esposito dalam bukunya “Holly War” yang mengatakan bahwa, Islam (dengan konsep jihadnya) bukan merupakan ancaman, tetapi mitra bagi Barat untuk membangun peradaban dunia yang lebih baik di masa depan. Konsekwensi logis stigma “radikal” tersebut membuat Barat membatasi secara ketat hubungan internasional dan kebijakan luar negerinya terhadap negara-negara Islam dan pendukungnya di dunia, serta mencurigai setiap orang yang menyandang simbol Islam, baik dari pakaian, nama dan identitas lainnya ketika memasuki negara Barat dan Amerika.
Menurut Nurcholis Majid dalam bukunya “Islam dan Peradaban Dunia” menegaskan, kondisi tersebut otomatis menjadikan ummat Islam dibatasi dan didiskriminasi dalam segala hal oleh Barat, dalam hal ini Amerika yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan itu. Sikap acuh dan anti seperti itu dilakukan karena Barat sangat hawatir terhadap doktrin jihad Islam yang selama ini disalahartikan. Barat memandang bahwa Islam dengan doktrin jihadnya telah mengkonstruksi dirinya menjadi agama “radikal” yang setiap saat bisa melakukan tindakan radikalisme dan terror, seperti meledakkan bom bunuh diri di tempat-tempat publik. Padahal jika dikaji secara konprehensif bahwa makna jihad yang sesungguhnya tidak seperti yang disangkakan demikian.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah aksi radikal ummat Islam tersebut merupakan perilaku asli ummat Islam, atau mungkin merupakan respon balik terhadap agresi dan prilaku Barat yang “arogan”, diskrimintaif dan selama ini anti-pati terhadap Islam?, Sebagaimana ditegaskan oleh Preed Vonder Mehden dalam ”The Amirican Perception of Islam”, di mana Barat (dalam hal ini Amerika) selalu menginginkan setiap pikiran dan perilaku ummat Islam harus sesuai dengan kepentingan ekonomi dan geo-politik mereka sendiri. Hal ini mendeskripsikan bahwa tindakan ummat islam yang dikatakan “radikal” oleh Barat tersebut merupakan reaksi atas perilaku Barat yang “arogan” dan sering memaksakan kepentinganya untuk mengatur dan mengintervensi urusan rumah tangga negara-negara muslim tertentu agar tunduk dan taat kepada kepentingan geo politik Barat.
Makna Jihad dalam Islam
Secara bahasa, jihad adalah bentuk masdar dari kata jahada, yujahidu, jihaadan yang berarti berusaha secara keras dan sunggung-sungguh. Beberapa ulama dan pakar dari masa ke masa berusaha memformulasikan pengertian jihad ini. Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, bahwa jihad sebagai usaha sunggung-sungguh untuk menegakkan agama Allah dan mendirikan masyarakat yang Islami. Kemudian, Ibnu Manzur, jihad adalah mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu yang seorang mampu. Menurut al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, jihad ialah seruan terhadap agama yang benar. Sedangkan al-Asfahani, mendefinisikan jihad sebagai upaya mencurahkan kemampuan menahan musuh, berjuang menghadapi musuh, setan dan hawa nafsu. Sayyid Sabiq mendifinisikan jihad sebagai meluangkan segala usaha dan upaya dengan menanggung kesulitan dalam memerangi musuh dan menahan agresi. Sementara, Farid Essac, merumuskan jihad sebagai perjuangan mencurahkan daya upaya untuk melakukan tranformasi pada tataran individu dan masyarakat.
Munawar Ahmad Annes mendefinisikan jihad sebagai perjuangan kontinyu secara individual dan komunal kearah pembangunan dan peningkatan menurut struktur dan kerangka nilai Islam untuk mewujudkan nilai ideal yang tercantum dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad, yang merupakan konsep holistik bagi rekonstruksi sosial dimana anggota masyarakat terlibat dalam aksi positif untuk memperbaiki masyarakat. Kemudian Ashgar Ali Engineer mendefinisikan jihad sebagai perjuangan menghilangkan segala eksploitasi, korupsi dan berbagai bentuk kezaliman (panindasan). Dari pendapat para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, jihad adalah perjuangan orang beriman secara individual maupun komunal, dengan mencurahkan segala kemampuan moril maupun matriil berupa tenaga, fikiran maupun harta untuk menegakkan agama dan Allah SWT. Idealnya jihad yang dimaksud oleh para ulama dan pakar di atas lebih kepada jihad untuk melakukan perbaikan individual dan sosial, tidak mesti harus dengan berperang.
Reduksi Makna Jihad Kelompok ISIS
Dalam konteks kekinian, terkadang jihad sering difahami keliru oleh sebagian kalangan muslim dan non-muslim. Kalangan muslim juga seringkali memahami jihad secara sempit sebagai perang (qital) melawan musuh-musuh Islam. Banyak kelompok Islam yang sering disebut Islam radikal atau Islam garis keras seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam, Laskar Jihad dan yang terbaru adalah Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau yang sealiran dengannya, sering memandang jihad secara sempit dengan makna perang (qital). Makna sempit jihad tersebut kemudian didiseminasi dan disebar-luaskan ke masyarakat muslim secara massif dan sistematis sebagai doktrin teologi islam, sehingga pemahaman ummat islam tentang jihad juga berkonotasi perang. Secara umum, psikis manusia takut dan tidak ingin terjadi kekerasan dan perang, hal ini kemudian direspon dan dimanfaatkan oleh Barat dengan mengalamatkan setiap tindakan kekerasan dan teror yang terjadi di dunia selalu dikaitkan dengan Islam dan berkonotasi jihad serta disimpulkan sebagai suatu tindakan radikalisme ummat Islam.
Kondisi tersebut diperparah lagi dengan hegemoni Barat (Yahudi dan Kristen) melalui globalisasi dan perlakuan tidak adil terhadap ummat Islam, seperti terjadi perang antara Israel dan Palenstina sejak 1967 sampai sekarang, kemudian perang Iraq pada tahun1991 dan 2003, disusul dengan perang Afganistan 2001 dan yang terbaru adalah pembunuhan dan pembantaian oleh kelompok ISIS terhadap orang yang tidak berdosa. Dalam konteks terebut, terkadang jihad digeser maknanya menjadi perang (qital), jihad selalau dimaknai sebagai pertumpahan darah dan agresi militer. Konsolidasi ummat Islam untuk melawan Barat sebagai respon terhadap hegenemoni Barat, selalu dilakukan dengan mengobarkan kata Jihad sebagai simbol militansi melawan Barat, akibatnya Islam semakin dituding sebagai agama pedang, galak, tidak toleran dan bahkan agama bagi kaum teroris.
Chaiwat Satha-Anand, mengatakan, Bagi kalangan non-muslim, jihad sering dikonotasikan dengan tindakan mati-matian dari orang tidak rasional dan fanatik yang ingin memaksakan pandangan mereka kepada orang lain. Karena hal itulah yang pernah terjadi dalam sejarah Islam klasik ketika kaum Khawarij menggunakan terminologi “jihad” untuk memaksakan pendapat mereka kepada komunitas Muslim lainnya atas nama idealisme transenden dan ekstrim. Mereka bersikukuh dengan dalil bahwa Nabi Muhammad menghabiskan hidupnya untuk berperang, maka orang orang beriman harus mengikuti jejak teladannya sehingga negara Islam harus mengatur urusan perang, dan semua orang dipaksa untuk melakukan keyakinan seperti itu, kalau tidak, akan distigmatisasi “kafir” dan bahkan dibunuh. Dalam keyakinan kaum Kawarij bahwa mandat al-Qur’an untuk “amar ma’ruf nahi mungkar” harus diterangkan secara tekstual, ketat, tanpa syarat atau pengecualian. Benih-benih radikalisme kaum Khawarij inilah yang kemudian ditranformasikan dan diaplikasikan di zaman sekarang ini, yang melahirkan banyak aksi-aksi kekerasan dan radikal dilakukan atas nama jihad fi sabililillah terutama oleh kaum radikalis ISIS.
Tudingan terhadap Islam sebagai agama radikal dan terorisme ini diperparah lagi dengan maraknya aksi bom bunuh diri, penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok extrimis atas nama jihad. Di Indonesia terjadi beberapa aksi bom bunuh diri, mulai dari Bom Bali I dan II, Bom JW Marriot, dan Bom Kedutaan Australia dan yang terbaru bom Thamrin di Jakarta. Sementara di Iraq terjadi pembunuhan, penganiayaan dan pembantaian terhadap orang Islam dan non-Islam oleh kelompok ISIS secara membabi buta. Kondisi tersebut sepertinya memperkuat dan meyakinkan tudingan terhadap Islam sebagai agama radikal atau teroris oleh Negara Barat dalam hal ini Amerika dan sekutunya. Ironisnya aksi bom bunuh diri tersebut dipahami dan dimaknai sebagai bentuk jihad fi sabilillah yang imbalannya adalah mati syahid dan surga. Konsekwensinya, pemahaman sempit itu kemudian dipersepsikan oleh kalangan non-Muslim dan Barat sebagai bentuk kekerasan dan radikalisme.
Bernard Lewis mengatakan, para kaum orientalis sering memandang Islam sebagai sebuah agama yang militan, malah agama yang militeristik, dan pemeluknya dipandang sebagai serdadu-serdadu fanatik yang siap menyebarkan agama serta hukum-hukumnya dengan kekuatan senjata. Tidak heran jika Muhammad Sa’id al-Asymawi sampai mengatakan bahwa, jihad adalah kata yang paling sensitif dalam kosa kata Islam. Jihad selalu didengar, dipahami dan digunakan dengan cara emosional. Apalagi saat ini dengan munculnya ISIS, menambah lagi deretan permasalahan yang harus dihadapi oleh ummat Islam secera internal. Kelompok ISIS yang didirikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi dan pengikutnya yang menginginkan membentuk Negara Islam (daulah Islamiyah), menganut Islam garis keras serta banyak melakukan peperangan, penculikan, dan pembunuhan terhadap siapapun yang terindikasi menghalangi terbentuknya Negara Islam, baik orang Islam atau non-Islam. Kondisi tersebut semakin parah dengan banyaknya aksi pembunuhan oleh ISIS terhadap orang yang tidak berdosa sama sekali. Terlebih dengan sudah masuknya kelompok ISIS ke wilayah asia tenggara dan Indonesia serta mulai merekrut anak-anak muda Islam sebagai sasaran untuk dijadikan jaringan sel-sel baru, atau serdadu-serdadu yang mengatasnamakan jihad sebagai justifikasi atau “pembenaran” perang melawan musuh Islam (taghut).
Majelis Ulama Indonesia dan ormas Islam lainnya, mengutuk tindakan ISIS karena bertentangan dengan Islam dan dapat merong-rong NKRI. Terlebih seluruh tokoh Agama di Indonesia bersepakat, melarang keberadaan ISIS, karena banyak melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa sama sekali dan mengnacurkan artefak-artefak hazanah warisan budaya Islam di baghdad. Dengan mengatasnamakan jargon agama untuk menghalalkan darah seorang, jelas sangat bertentangan dengan konsep jihad dan aqidah syariat Islam yang sesungguhnya.
Islam Rahmatan Lil-Ālamîn
Hasan al-Banna mengatakan, jika kembali kepada konsep ajaran Islam, sesungguhnya makna jihad dalam Islam sangatlah mulia, yaitu membendung serangan atau agresi musuh, menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa diktator. Hal itu diperkuat oleh Hasan Hanafi pengagas “Islam kiri” (al-Yasr al-Islami), bahwa substansi jihad ialah mengeluarkan dan membebaskan manusia dari segala bentuk “penghambaan” kepada selain Allah, mengeluarkan dan membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju luasnya Islam dan menjauhkan kaum muslimin dari segala bentuk kezaliman, baik dari dalam maupun luar ummat Islam menuju keadilan Islam yang hakiki, dengan syarat sepanjang pihak lain tidak memulai permusuhan dengan Islam dan ummatnya. Dari pernyataan tersebut setidaknya membantah tesis Samuel Huntington tentang ancaman Islam kepada Barat. Kecurigaan Huntington dan Barat terhadap Islam karena tidak memahami substansi dari makna terminologi jihad sesungguhnya. Bahwa makna jihad secara substansi tidak harus dengan berperang atau agresi militer, tetapi lebih dari itu, berjuang mencari nafkah untuk keluarga adalah jihad, berjuang mencari ilmu juga jihad, berjuang melalui profesi pegawai, dosen, guru, petani, buruh, aktivis, ibu rumah tangga, guru ngaji selama dalam konteks kebenaran dan kebaikan adalah merupakan jihad fi sabilillah yang sebenarnya.
Bukankah Rasulullah SAW, pernah mengatakan sepulang dari perang Badar yang merupakan perang (jihad) terbesar dalam sejarah ummat Islam, “bahwa jihad yang sudah kita lakukan ialah jihad kecil, namun jihad yang paling besar adalah memerangi hawa nafsu. Hal ini mengindikasikan bahwa Jihad dalam bentuk peperangan merupakan bagian terkecil dan terakhir dari jihad yang sesungguhnya, yang perlu diperangi adalah hawa nafsu, nafsu serakah, zalim, korupsi, menjajah, memperkosa hak orang, dan segala hal negatif yang berpotensi merugikan orang lain.
Sementara itu, Ashgar Ali Engineer tidak memaknai jihad sebagai agresi militer, tetapi sebagai aktifitas dinamis, progresif untuk melakukan pembebasan, bukan untuk melakukan agresi, karena semua perintah perang dalam al-Qur’an hanya dimasud untuk mempertahankan diri (defensif) dan tidak untuk tindakan agresi militer. Dalam Islam, jihad merupakan upaya terakhir untuk menyatakan Islam tidak suka ditekan, tidak suka diperlakukan tidak adil dan diskriminatif. Kalau memang demikian, kenapa kelompok Islam garis keras seperti ISIS melakukan aksi kekerasan atas nama jihad fi sabilillah? kenapa terminologi jihad selalu dijadikan “jargon” dan alasan pembenaran dalam melakukan tindakan destruktif?. Menurut penulis, karena ISIS telah mereduksi makna jihad yang sesungguhnya, dan telah menyimpang dari ajaran Islam yang universal. Sebab makna jihad dalam konsep Islam adalah ingin menghadirkan ketenteraman, kerukunan, kedamaian abadi bagi ummat manusia dan dunia, sebagaimana ditegaskan bahwa Islam dalah agama rahmatan lil alamin.
Wallahu a’lamu Bisshawab.